Kecemasan Nyonya Debora tentang kondisi kejiwaan Luna sangat tak terbendung. Hal tersebut terbukti kala beliau meminta sang putri untuk segera mengantarnya bertemu dengan Alice guna membuktikan ucapan Luna tentang keluarga Marck. Wanita paruh baya itu, bukannya meragukan pernyataan yang diutarakan putrinya. Hanya saja ia takut jika terjadi sesuatu dengan kondisi emosional sang putri yang menyebabkan kejiwaannya terguncang.
"Luna, Ibu sudah selesai bersiap. Apakah kamu sudah selesai ganti baju?" teriak Ibunya.
"Sebentar Bu, aku sedang mengikat rambutku," jawab Luna.
"Baiklah Nak, ibu tunggu kamu di teras ya," sahut ibunya.
"Baik Bu," teriak Luna.
Nyonya Debora pun menunggu sang putri di teras rumah mereka. Beberapa menit kemudian, Luna mulai melangkahkan kaki meninggalkan kamarnya.
Ia bergegas menuju teras untuk menghampiri sang ibu.
"Bu, mari kita ke rumah Alice sekarang," ajak Luna.
"Baiklah Nak, apakah engkau akan menunggangi Charlie?" tanya ibunya.
"Bagaimana kalau kita berjalan kaki saja Bu, rumah Alice tak jauh dari sini," saran Luna.
"Baiklah Nak," ucap sang Ibu menyetujui.
Keduanya pun mulai menghentakan kaki dan melangkah menuju rumah Alice.
"Ibu, sebenarnya kelak aku ingin menikah dengan pria yang aku cintai," celetuk Luna di tengah jalan.
"Apakah kamu sudah menjumpai pria itu?" tanya sang ibu tersenyum
"Belum," jawab Luna.
Pasangan ibu dan anak itupun saling melempar tawa.
"Kamu itu sudah beranjak dewasa Nak, tidak ada salahnya jika kamu jatuh cinta," ucap ibunya.
"Tapi aku belum pernah merasakan rasa itu Bu, teman-teman sebayaku banyak perempuan tak hanya di rumah di sekolah pun begitu," tandas Luna.
"Suatu saat kamu pasti merasakannya," ucap sang ibu.
"Tapi aku tidak mau meninggalkan ayah dan ibu," ucap Alice memeluk ibunya.
Atap rumah Alice mulai terlihat, mungkin butuh waktu beberapa menit untuk sampai kesana.
"Itu rumah Alice Bu," kata Luna.
"Oh itu rumah Alice," jawab ibunya.
Sang bunda pun semakin cepat melangkahkan kakinya, sepertinya Nyonya Debora sangat penasaran dan sudah tidak sabar mendengar jawaban dari Alice.
"Ibu tunggu aku, langkah ibu cepat sekali," teriak Alice.
"Bukan langkah ibu yang terlalu cepat, tapi jalanmu yang lambat Lun," kilah Nyonya Debora.
Akhirnya mereka tiba di halaman rumah Alice, rumahnya tampak sederhana dari Luar namun suasananya sangatlah asri.
"Permisi," teriak Nyonya Debora.
"Permisi," teriaknya lagi.
Namun tak ada jawaban dari penghuni rumah tersebut.
"Lun, sepertinya tidak ada orang di rumah Alice," ucap sang Ibu.
Luna yang masih dalam keadaan terengah engah karena mengejar langkah ibunya itupun menerobos memasuki halaman rumah Alice.
"Alice, aku datang," teriak Luna.
"Luna, tidak boleh masuk ke rumah orang dengan cara seperti itu," teriak sang ibu.
Tak berapa lama, tampak Alice keluar dari rumahnya.
"Masuk Lun, ada Bibi Debora juga. Mari masuk Bi, aku sedang di kamar mandi tadi," ucap Alice.
Luna dan ibunya pun mengikuti langkah Alice memasuki rumah sederhana milik keluar Alice itu.
"Duduk dulu ya Bi, Alice ke dapur sebentar," ucap Alice.
"Terima kasih Alice," ucap Nyonya Debora.
Alice meninggalkan keduanya di ruang tamu, dan ia segera menuju dapur untuk membuatkan keduanya teh hangat. Beberapa menit kemudian, Alice datang menghampiri keduanya dengan membawa dua cangkir teh hangat.
"Silahkan Lun, Silahkan Bi," ucap Alice.
"Tidak perlu repot-repot Alice. Bibi kesini hanya mau bertanya sebentar," ucap Ibu Luna itu.
"Bertanya tentang apa Bi?" tanya Alice.
"Duduklah dulu Alice, Bibi hanya ingin bertanya tentang keluarga Marck yang kamu ketahui," jawab Nyonya Debora.
Alice sedikit terkejut mendengar pernyataan ibunda Luna tersebut.
"Maksud Bibi, informasi yang kami dapat kemarin dari kota?" tanya Alice.
"Benar Alice, Bibi minta tolong ceritakan tentang keluarga Marck," pinta Nyonya Debora.
Gadis itupun menceritakan apa yang ia ketahui tanpa ada yang ia tutup-tutupi.
"Baiklah Bi, aku ke kota bersama adiku Eryk. Awalnya kami tahu tentang keluarga Marck dari Tuan John. Beliau berprofesi sebagai petani, ia mengatakan jika hasil panen petani di kota mereka harus dijual dengan paksa pada keluarga Marck dengan harga murah." ucap Alice.
"Yang kedua dari pemilik penginapan tempat dimana kami singgah selama di kota, pria itu bernama Tuan Henry. Beliau mengatakan selain kejam, keluarga Marck juga menganut ilmu Hitam. Dan hampir setiap bulan purnama tiba, datanglah segerombolan Serigala mencoba memasuki rumah mereka. Namun ketika hendak masuk, gerombolan Serigala itu terpental dan seolah meraung kesakitan," jelas Alice.
"Serigala? Mana mungkin dikota ada gerombolan serigala," sahut ibunda Luna.
"Entahlah Bi. Eryk adikku pun mendapati kejanggalan saat tak sengaja berada di depan rumah keluarga Marck," ucap Alice.
"Kejanggalan seperti apa? Tolong ceritakan pada Bibi," pinta Nyonya Debora.
"Bagaimana kalau Eryk saja yang bercerita Nyonya, saya panggilkan dia sebentar ya," ucap Alice.
Nyonya Debora hanya mengangguk, sedangkan sang putri hanya diam menyaksikan sang Ibunda dan sahabatnya berbagi cerita. Alice terlihat berjalan memasuki kamar adiknya, ia membangunkan sang adik yang masih dalam keadaan lelah selepas mengunjungi kota.
"Eryk, bangunlah. Nyonya Debora ingin berbicara kepadamu," pinta Alice.
Eryk seakan tak mendengar ucapan sang Kakak, ia masih terlihat pulas tidur diatas ranjangnya.
"Eryk, Kakak mohon bukalah matamu. Nyonya Debora meminta kita untuk mengunjungi kota lagi. Bersediakan kau ikut denganku kali ini?" rayu Alice.
Mendengar kata-kata kota sang adik pun terbangun, matanya terbuka lebar dan seketika itu badannya terasa bugar.
"Apa Kak, ke kota lagi? Baiklah aku ikut," balas Eryk.
"Itu hanya buaian Kakak untuk membangunkanmu, sana temui dulu Nyonya Debora. Beliau ingin berbicara denganmu," sahut Alice.
"Jadi Kakak membohongiku?" tanya Eryk kesal.
Sang adik yang masih dalam keadaan lelah itupun berbesar hati menemui Ibunda Luna.
"Selamat pagi Nyonya," sapa Eryk.
"Pagi anak tampan, duduklah Bibi ingin bicara," ucap Nyonya Debora.
Mendengar pujian dari Ibunda Luna itu, Eryk pun tersipu malu.
"Terima kasih Bi, apa yang ingin Bibi tanyakan kepadaku?" tanya Eryk lembut.
"Bibi ingin menanyakan tentang keluarga Marck yang engkau ketahui selama engkau berada di kota kemarin," ucap Nyonya Debora.
"Ceritakanlah tentang Wanita tua dan Liora, yang lain sudah aku ceritakan kepada beliau," sahut Alice.
Sang adik pun mengerti bagian mana yang harus ia ceritakan kepada Wanita paruh baya itu.
"Jadi ketika tak sengaja aku berhenti di depan rumah mewah keluarga Haugert, aku berjumpa dengan wanita tua menaiki kereta kuda. Ia sempat menyapa dan menyuruhku meninggalkan tempat yang aku pijaki. Namun ketika aku memperhatikan ia sampai di tengah halaman rumah Haugert, wanita tua itu menghilang bersama keretanya," papar Eryk.
"Tentang Liora, bisakah kau ceritakan Nak?" tanya Nyonya Debora lagi.
"Liora adalah anak angkat keluarga Haugert, mereka mengangkat Liora sejak kecil. Gadis itu sangat cantik, namun anehnya ia gemar mandi dengan darah rusa," jelas Eryk.
Ibunda Luna sangat lega mendengar cerita dari kedua anak itu, ternyata apa yang ia takutkan tentang putrinya tidaklah terjadi.
Namun hatinya kini bergejolak saat mendengar kebenaran kabar tentang keluarga Haugert.