アプリをダウンロード
7.76% Jerat Pernikahan Kontrak / Chapter 32: 32 Pertemuan yang memilukan

章 32: 32 Pertemuan yang memilukan

Dengan segera, Wili mengambil tas yang berisi uang lima ratus juta kemudian pergi meninggalkan ruangan Jefri sebelum kakaknya itu berubah pikiran.

'Akhirnya kalah juga, Mas Jefri.' Wili bergumam dalam hatinya sambil berjalan meninggalkan kantor. Wajahnya kini tampak semringah meski pun ia belum tahu keberadaan Jeni dan belum tahu apa yang harus dilakukan dengan uang lima raju juta yang berada dalam genggaman tangannya itu.

Kini Wili sudah berada dalam mobilnya. Memasang safety belt, namun ia tampak bingung harus kemana ia menyerahkan uangnya untuk membayar hutang Jeni.

Wili masih mematung dalam kursi mobilnya. Ia akan mencoba menghubungi Jeni sekali lagi. Berharap kalau nomor ponselnya kali ini bisa dihubungi.

Wili tampak merogoh saku celananya. Ia mengambil ponsel yang ada di dalamnya lalu mengusap layarnya. Ia segera menghubungi nomor telepon Jeni.

Begitu benda pipih itu ia dekatkan pada daun telinganya, Wili tampak menyeringai senang saat nomor Jeni yang ia tuju terdengar bunyi pertanda kalau nomor Jeni sedang aktip.

"Akhirnya, kamu bisa dihubungi juga, Jen." Wili berkata sambil menghela nafas leganya saat sambungan teleponnya telah dijawab oleh nomor tujuan yakni Jeni.

"Maaf, Wil. Nomor aku memang baru aktip," balas Jeni diujung sambungan teleponnya.

"Kamu kemana saja, Jen? Apa yang telah terjadi denganmu? Aku sudah datang ke rumah kamu, rumah kamu kosong. Tetangga kamu bilang kalau kamu pindah. Kamu pindah kemana? Kenapa tak memberi tahu aku, Jen?"

Deratan pertanyaan yang keluar dari mulut Wili seakan tak berjeda. Ia bertanya segera saat Jeni mulai mengeluarkan suaranya. Wili sudah tidak sabar ingin segera mendengar penjelasan dari kekasihnya itu.

"Aku akan menjelaskannya. Temui aku di taman kota sore ini," pinta Jeni begitu singkat. Tak banyak bicara lagi, Jeni segera memastikan sambungan teleponnya. Ia tak ingin berbicara banyak dengan Wili karena isi dadanya terlalu pedih tatkala mendengar suara orang yang sangat ia cintai.

"Oke, Jen. Tapi-" Belum sempat Wili menyelesaikan ucapannya, bunyi di dalam sambungan telepon itu sudah menandakan kalau nomor tujuan telah mengakhiri teleponnya.

Wili pun menurunkan benda pipih itu dari telinganya. Meski pun ia merasa aneh dengan nada suara Jeni saat ini, namun ia begitu bahagia karena akhirnya yang ditunggu-tunggu bisa bertemu juga. Ia kembali memasukan ponselnya di saku celana jins yang ia pakai hari ini.

Dengan semangat, Wili kemudian melajukan kendaraan roda empatnya. Ia akan segera menuju taman kota, titik lokasi bertemunya dengan Jeni sore ini. Karena waktu memang sudah menjelang sore.

"Tenang saja, Jen. Aku akan membantumu menyelesaikan hutang itu. Kamu tidak usah pindah kemana-kemana lagi, kamu tidak usah lari atau pun takut, Jen. Aku akan selalu menjadi garda terdepan dalam membelamu." Wili tampak berbicara sendiri sambil mengemudikan kendaraan roda empatnya. Ia tampak antusias karena setelah ini berharap tak akan ada masalah lagi yang bisa menghalangi hubungan mereka.

Dengan antusias dan wajah semangat, Wili tampak sudah tidak sabar ingin segera sampai. Ia datang sedikit terlambat karena macet, namun ia tetap sabar akan hal itu.

Sesampainya di taman kota, terlihat dari kejauhan seorang wanita berwajah oriental tengah duduk dengan wajah sedu di sebuah kursi besi berwarna hitam. Ia duduk sendirian sambil memegang tas selempangnya diatas pangkuan, menatap tak tentu arah. Tidak salah lagi kalau wanita itu adalah Jeni dan Wili bisa melihatnya.

"Jeni!" Wili memanggil namanya. Wili meletakan tas yang berada dalam genggamannya di samping Jeni, Segera ia raih tubuh mungil itu dan memeluknya begitu erat.

"Akhirnya aku menemukanmu, Jen. Aku sampai kalut, aku tidak bisa membayangkan kalau aku sampai kehilangan jejakmu," ucap Wili ditengah-tengah memeluk Jeni.

Jeni kemudian melepaskan pelukan Wili dengan halus, dan Wili tak curiga. Jeni ternyum manis menatap wajah kekasihnya itu. Ia berusaha tetap santai.

Mereka kemudian duduk berdampingan di kursi itu. Sementara posisi duduk Wili tampak memiring menghadap Jeni.

Wili masih menggenggam erat tangan Jeni, tangan yang halus dan lembut yang sesekali ia kecup karena rasa bahagianya.

"Cukup, Wil." Jeni melepaskan tangannya dari genggaman Wili karena ia terasa semakin sedu. Entah pertemuan apa ini, sehingga perasaannya begitu sedih saat melihat wajah Wili yang tampak bahagia.

Wili mengerti lalu ia mengambil tas itu kemudian meletakannya di atas pangkuan Jeni.

"Kamu tidak usah pindah kemana-mana, Jen. Tetap di rumah. Ambil uang itu dan segera lunasi hutang kamu. Mas Jefri sudah memberikan uang itu untuk aku berikan padamu," ucap Wili dengan serius. Ia tak bisa memalingkan tatapan dari Jeni yang sedari dari menundukan wajahnya.

Tak ada sedikit pun senyuman yang terukir dari bibir Jeni. Ia malah semakin sedu saat mendengar ucapan Wili.

'Permainan apa lagi yang akan dibuat, Mas Jefri? Untuk apa dia memberikan uang ini pada Wili? Mas Jefri benar-benar licik. Aku semakin benci sama dia,' gumam Jeni dalam hatinya. Ia tampak menggerutu merasa kesal dengan Jefri.

Jeni sudah bisa menyangka kalau uang lima ratus juta yang diberikan Jefri pada adiknya itu hanyalah manipulasi semata.

"Tidak perlu, Wil." Jeni mengambalikan tas hitam itu kepada Wili tanpa senyuman sedikit pun.

"Kenapa, Jen? Aku mohon ambilah uang ini. Mas Jefri tidak akan menggugatnya lagi. Aku tidak mau sesuatu terjadi padamu, Jen." Wili bertanya-tanya dengan keheranan. Terlebih saat melihat sepasang manik Jeni yang tampak berkaca-kaca. Sudah bisa dipastikan kalau kekasihnya itu memang tengah dalam masalah besar.

Jeni masih diam dan memalingkan tatapan ke arah yang lain. Ia ingin segera bicara namun berusaha menelan saliva kesedihannya terlebih dahulu. Membendung air mata yang tak akan ia biarkan menetes di hadapan Wili.

"Jen? Kenapa? Bicaralah padaku," tanya Wili sambil berusaha meraih kembali telapak tangan Jeni yang berada di atas pangkuannya.

Namun sekali lagi, Jeni berusaha kembali melepaskan genggaman tangan Wili.

"Semuanya telah terlambat, Wil," jawab Jeni pelan dengan suara yang terdengar tersendat di tengah tenggorokannya.

"Apa maksudnya, Jen? Kamu masih bisa membayar hutang itu. Belum terlambat, Jen!" Wili tampak berusaha meyakinkan kekasihnya.

"Kamu terlambat, Wil. Aku sudah mendapatkan uang itu. Aku juga sudah melunasi hutangku." Jeni tampak serius. Namun ia berbicara dengan melihat ke arah yang lain tanpa berani menatap mata kekasihnya.

"Lalu, kenapa kamu harus pergi dari rumah? Bukankah kamu tidak usah kemana-kemana kalau hutang kamu telah lunas," tekan Wili.

"Aku akan tetap pindah rumah." Jeni menegaskan.

"Kenapa?" Wili semakin heran.

"Karena aku mendapatkan uang itu dari laki-laki lain," jawab Jeni pelan.

"Siapa laki-laki itu? Siapa yang telah berani membantumu selain aku?" tanya Wili mulai tersulut emosi.

"Kamu tidak usah tahu siapa lelaki itu. Yang pasti dia berkorban lebih cepat dari kamu. Maafkan aku, Wil. Hubungan kita nyatanya cukup sampai di sini saja," ujar Jeni seraya beranjak dari tempat duduknya. Dia sudah tidak kuat membendung kesedihannya. Ia ingin segera pergi, namun sikutnya ditahan Wili dan lelaki yang detik ini menjadi mantan kekasihnya itu menggagalkan niat Jeni yang akan segera pergi.

"Apa-apaan ini, Jen?" Wili kembali bertanya dengan bola mata terbelalak. Ia terkejut dengan keputusan Jeni yang seketika membuat denyut jantungnya melemah.


Load failed, please RETRY

ギフト

ギフト -- 贈り物 が届きました

    週次パワーステータス

    Rank -- 推薦 ランキング
    Stone -- 推薦 チケット

    バッチアンロック

    目次

    表示オプション

    バックグラウンド

    フォント

    大きさ

    章のコメント

    レビューを書く 読み取りステータス: C32
    投稿に失敗します。もう一度やり直してください
    • テキストの品質
    • アップデートの安定性
    • ストーリー展開
    • キャラクターデザイン
    • 世界の背景

    合計スコア 0.0

    レビューが正常に投稿されました! レビューをもっと読む
    パワーストーンで投票する
    Rank NO.-- パワーランキング
    Stone -- 推薦チケット
    不適切なコンテンツを報告する
    error ヒント

    不正使用を報告

    段落のコメント

    ログイン