Aria mengantar Agatha ke luar. Saat dalam perjalanan di koridor rumah sakit, pandangan Agatha berubah gelap dan dia berhenti sejenak untuk menstabilkan keadaannya yang tiba-tiba berkunang-kunang. "Aria..." panggil Agatha sedikit panik, lantaran dia kini tidak dapat melihat apapun. Sedangkan Aria yang mendengarnya, berbalik badan dan terkejut melihat Agatha tampak membungkuk berpegangan pada dinding.
"Agatha!" Tepat saat Aria berseru, keseimbangan Agatha runtuh. Gadis itu jatuh pingsan di lantai koridor yang dingin. Aria yang panik meminta pertolongan, hingga seorang dokter yang kebetulan melewati lorong itu langsung berlari ke arah mereka. Kemudian dengan sigap memindahkan Agatha yang kehilangan kesadaran ke ruangan.
Dokter itu menggendongnya sampai mereka berpapasan dengan perawat. Sehingga dalam waktu singkat Agatha mendapat pertolongan yang tepat sebelum hal buruk terjadi.
Aria yang sedari tadi mengikutinya, kemudian bertanya pada sang dokter muda itu. "Apakah sesuatu yang serius terjadi padanya?" Wajah Aria tampak khawatir sembari menatap pria berkacamata kotak tersebut.
"Dia mengalami anemia. Dia hanya perlu makan yang banyak dan berisitirahat. Apa kau kerabatnya?" timpal dokter itu bertanya.
"Ya. Aku sahabatnya," jawab Aria. "Terima kasih sudah menolong sahabatku, dokter."
Tepat setelah itu kelopak mata Agatha membuka. Pandangannya buram ketika pertama kali membuka mata. Namun dua bayangan orang mulai terlihat menjelas secara perlahan. Saking jelasnya sampai membuat Agatha terheran-heran melihat pria berjas putih dengan kacamata bening di sampingnya itu.
Wajah tampannya terlihat tidak asing lagi bagi Agatha. Lantas direspon kerja memori otaknya membuka ingatan yang telah berlalu. Agatha teringat kejadian belum lama ini sewaktu di dalam bus yang mengerem tiba-tiba, dan dia hampir tersungkur jatuh jika tidak ada tangan yang menahannya. Perangai kalem pria berkacamata di bus itu, dengan rupa pria berjas putih di sini, keduanya terlihat sama tanpa cela.
Agatha menyimpulkan, mereka pernah bertemu sebelum hari ini. Hanya saja waktu itu pria ini tidak mengenakan jas putih dan hanya memakai kemeja rapi sambil menggendong tas punggung, yang membuatnya tampak seperti mahasiswa cerdas. Ternyata, dilihat dari penampilannya sekarang, Agatha sudah paham bahwa yang menatapnya dengan mata kuning kristal ini merupakan seorang dokter.
"Apa kau masih merasa pusing?" Suara renyah dokter itu menanyakan kondisinya.
Agatha tampak sedikit linglung untuk mengerti dimana dirinya berada sekarang. Apakah dia pingsan di bangsal tadi? "Ya, kepalaku terasa berat," jawab Agatha memegang kepalanya. Lalu dia menyadari tangannya yang terangkat, tampak ditempeli sesuatu, bahwa sebuah jarum infus terpasang di tangannya. Agatha terkejut-- "Apakah aku akan baik-baik saja?" --sebab dia belum pernah dirawat di rumah sakit apalagi dipasang infus.
"Kau mengalami anemia. Sebaiknya kau banyak beristirahat dan makan makanan yang berprotein tinggi," pesan dokter itu.
Siapa namanya?
Agatha ingin mengetahui namanya. Namun dia merasa sedikit malu untuk menanyakan nama. Alih-alih berkata to the point, Agatha punya cara lain untuk membuat pria itu menyebut namanya sendiri tanpa diminta. Dia harap cara ini berhasil memancingnya.
"Bukankah kita pernah bertemu?" kata Agatha. Dia mengungkit kejadian di bus pagi itu, mencoba membuka ingatan sang dokter mengenai pertemuan pertama mereka.
"Ya. Aku memiliki ingatan yang sangat baik. Kau seorang mahasiswi," jawab si dokter dengan ramah.
"Aku tidak menyangka kita bertemu lagi di sini," sambung Agatha. Ayo Agatha! Jangan putus topik!
"Terima kasih sudah menolongku pagi itu, dan juga hari ini. Aku harus berterima kasih pada siapa?" Agatha melempar kode tersirat dalam kalimatnya. Sedangkan lawan bicaranya adalah orang yang cepat tanggap. Sehingga pria itu lantas mengerti dengan mengatakan. "Namaku Lean. Kau bisa memanggilku kapan saja jika butuh pengobatan." Seraya tersenyum sangat ramah sampai membuat kedua matanya seakan menyipit.
Agatha langsung terpana pada pandangan kedua. Ya, karena ini adalah pertemuan kedua mereka. Dia terpesona untuk pertama kalinya pada seorang pria yang baru ditemui karena sebuah senyuman manis itu.
"Terima kasih dokter Lean," kata Agatha sambil menarik kedua sudut bibirnya tersenyum.
"Kalau begitu silakan berisitirahat lah." Kemudian Lean pamit meninggalkan mereka berdua. Setelahnya, hanya membuat Agatha mendapat cecaran dari Aria.
"Kau kenal dokter itu? Bagaimana kalian bisa bertemu sebelumnya? Kenapa kau tidak ceritakan hal itu padaku? Kau tahu kan, kalau aku suka pria tampan, termasuk dokter itu!"
Agatha meringis. "Bertanyalah satu persatu."
Aria menghela napas. "Daripada itu, bagaimana kau bisa anemia? Kau tak pernah cerita padaku kalau kau punya penyakit khusus?" ujar Aria.
"Ini juga pertama kalinya bagiku. Mungkin aku hanya kelelahan dan belakangan ini kurang makan dan minum," sahut Agatha mengakuinya.
"Kupikir kau punya penyakit tertentu," kata Aria khawatir.
"Tidak, aku sehat sejak lahir," sanggah Agatha dengan santai.
"Ah! Bagaimana dengan keluargamu? Apa perlu menelepon mereka?" usul Aria.
"Tentu tidak! Aku tidak mau membuat mereka jadi kepikiran. Aku sudah berusaha keras membujuk mereka agar aku bisa hidup mandiri di kota. Kalau mereka tahu aku kenapa-kenapa, aku tak yakin mereka akan mengizinkan aku tinggal sendirian lagi," kata Agatha menjelaskan.
***
Dua jam setelah bangun dari pingsan, Agatha diperbolehkan untuk pulang. Maka dia melakukan pembayaran ke meja administrasi kemudian pamit pergi dari Aria. Sahabatnya itu hanya bisa mengantarnya sampai di lobi. "Berhati-hati lah di jalan. Kuharap kau tidak pingsan lagi," kata Aria mengucap salam perpisahan.
"Terima kasih atas perhatianmu, Aria," sahut Agatha kalem.
Aria melambaikan tangan ke jalan, dan taksi segera berhenti di depan mereka. Agatha terkejut dan ingin protes maksud Aria. "Aku tidak naik taksi," kata Agatha menolak dengan alasan biaya. Karena membayar biaya rumah sakit tadi, membuat dompetnya sedikit terkuras. Apalagi jika ditambah dengan biaya taksi yang harganya dua kali lebih mahal dibanding bus umum.
"Aku yang membayarnya sebagai ucapan terima kasihku dan maafku karena tidak bertanggung jawab mengantarmu sampai depan rumah," ucap Aria pengertian. Inilah yang Agatha suka dari Aria. Meskipun gadis itu terkadang bersikap egois, akan tetapi sebenarnya dia mempunyai kepekaan yang baik.
"Baiklah, terima kasih, Aria," balas Agatha, kemudian menyelinap masuk ke dalam taksi. Dia duduk di kursi belakang supir saat Aria menyerahkan beberapa lembar uang pada pengemudi.
"Tolong menyetirlah dengan baik untuk sahabatku, sir!" pesan Aria.
Mobil sedan taksi itu pun melaju dengan kecepatan stabil.
***
Ketika Agatha sampai di rumah, rumah dalam keadaan gelap. Lampu dinyalakan satu persatu seraya dia berjalan masuk ke ruang dapur. Agatha membuka kulkas dan menarik napas dalam ketika melihat isi kulkasnya kosong. Kecuali beberapa botol air mineral dan soda yang masih utuh.
"Aku lupa kalau tidak ada makanan di kulkas!" keluhnya. Lalu pandangannya melirik ke arah jam dinding. Malam menunjukkan pukul tujuh.
Tiba-tiba Agatha teringat kembali pesan dari Niall dan Calix. Mereka sama-sama mengingatkannya agar tidak keluar larut malam, khususnya malam ini, karena akan terjadi bulan purnama.
Namun, apakah Agatha peduli perkataan orang asing itu?
Agatha mendengus. "Sekarang belum larut malam untuk keluar. Jadi tidak akan ada apa-apa padaku," putus Agatha. Dia pun pergi ke luar rumah, melewati jalanan komplek yang sepi seperti biasa untuk menuju ke minimarket terdekat.
***