"Bapak baru masuk ke Liga 2 pas ada tawaran melatih bagian pelatihan strategi, sebenernya bapak di Liga 3 udah jadi manajer dan berhasil membawa tim kecil itu Juara 3, walau masih susah tapi udah lumayan udah dipercaya."
Raka benar-benar terkejut dengan apa yang ia dengar, ingin sekali dia masuk ke dalam tim itu, tim muda untuk masuk ke Liga 1, tapi apa boleh buat, mereka hanyalah seonggok manusia yang tidak mampu membuat apapun.
"Kontrol bolamu benar-benar buruk," kata Pak Riyan yang kali ini harus berkata apa adanya melihat hal-hal yang sepertinya tidak adil.
Sefa yang biasanya membela Arya tidak mampu berbuat apa-apa, karena memang dia memiliki kontrol bola yang buruk seperti yang tadi ia lihat. Tapi, sedetik kemudian pandangan Pak Riyan berubah ke arah lain, memastikan siapapun tidak melihatnya akan menampar orang tersebut.
Tiba-tiba tamparan berlangsung begitu saja ke muka Arya, Sefa yang melihatnya benar-benar kaget dan tanpa berpikir panjang lagi langsung berkata, "Bapak kok nampar teman saya?"
"Kamu bangga sekali dengan permainan bodoh ini, saya masih tahan kalau kamu ngata-ngatain saya di luar sepak bola, tapi untuk kali ini saya benar-benar malu melihat kualitas seorang pemain yang akan bermain untuk U-17, kontrol bola saja tidak bisa!" kata Pak Riyan yang kali ini benar-benar jujur.
"Bapak bukan pelatih saya dan bapak berkata seperti itu kepada saya, apa maksud bapak? Ditambah anda nampar, kelas anda tahu maka bisa jadi bapak yang kena, lho."
"Saya akan tegaskan sekali lagi kepada kalian! Bagi saya sepak bola adalah sesuatu vital untuk saya, menjadi wali kelas memang tugas saya, tapi saya lebih malu ketika ada seorang anak didik saya yang tidak bisa bermain bola, mungkin saya memaklumi sepak bola hanya untuk pelajaran olahraga, tapi untuk seorang pemain muda untuk timnas, anda masih jauh dari kata baik."
Pak Riyan kini benar-benar marah, dia tidak bingung lagi alasan dia gugup di depan orang-orang setadi pagi.
"Bapak hari ini ada jadwal ngelatih, nggak?" tanya Raka yang sepertinya sangat antusias ingin melihat pertandingan yang bermodelkan U-17 itu.
"Hahaha kalau hari kerja saya gak pernah datang, tapi nanti kalau ada kegiatan seleksi U-17 bakal dateng kok."
Arya dan Sefa kemudian mulai penasaran dengan apa yang ingin dia dengarkan dari orang tersebut, tapi sepertinya dia tidak akan mendengarkan cuitan Raka lebih banyak lagi mulai sekarang, karena dia akan ungkapkan semuanya.
"Raka, kalau dirimu mau gabung gapapa kok, nanti kalau kalian bisa dapat bagian ke U-17 itu malah jadi peluang besar lho."
"Red Chamber FC, sama Persija Jakarta lebih besaran Persija kan? Saya gak begitu yakin sebagai tim muda dapat ambil bagian dulu di Persija, mungkin kalau pakai sistem promosi bisa dapat."
"Asal lo tau ya!" ujar Raka yang mulai tegas dengan mereka berdua. "Dunia sepak bola sangat jelas berbeda dengan sepak bola dewasa, lu masuk klub pro pun belum menjamin bakal dapat timnas U-17, karena kakak gue dan kakak lu adalah korban penolakan hasil seleksi itu."
Pak Riyan yang sepertinya benar-benar mengamati Raka dari raut wajahnya yang sepertinya penuh ambisi namun disembunyikan itu langsung menanyakannya. "Kamu mau gabung, Raka? Tadi belum dijawab pertanyaan saya tadi."
Raka terdiam dan menundukkan kepalanya ke bawah, dia benar-benar merasa sore ini adalah sebuah hal yang benar-benar menyedihkan, usai kejadian itu dia merasa bahwa mimpinya harus ia kubur dalam-dalam.
"Saya pengen banget ikut main bareng Sefa sama Arya lagi, tapi...."
Helaan nafas yang berat, mata nya yang sedikit memerah, perasaan yang benar-benar menyakitkan itu begitu terasa dalam hatinya. Dia seolah sangat berat mengucapkannya. Akan tetapi akan ia tegas katakan, "Maaf, tapi orang tua saya udah ngelarang diri saya buat main bola lagi, terima kasih."
Pak Riyan yang mendengarnya terkejut, bahkan kalau boleh dibilang dia benar-benar menyanyangkan apa yang diucapkan tersebut. Pasalnya, dia tidak pernah berpikir untuk melakukannya untuk kesekian kalinya untuk kata yang sama, mengenai kekangan orang tua.
"Baiklah, saya mengerti kondisimu," ujar Pak Riyan yang menerima apa adanya terhadap perkataan Raka.
Sedangkan Arya dan Sefa sepertinya tetap ngotot untuk memaksa Raka untuk tetap ikut. "Tenang aja Rak, gue bikin lu bisa main lagi di lapangan, sejujurnya kita masih pengen liat lu main lagi," kata Arya yang sepertinya sangat bersemangat untuk menyuruh Raka melakukan itu.
Raka terdiam memendam rasa sakitnya setelah mengucapkan kata-kata yang menyedihkan itu, sepertinya orang tua dan kakaknya benar-benar tidak setuju lagi untuk bermain bola, sedangkan mereka tetap bersikeras untuk bertahan seperti itu, dia dijebak dilemma.
"Ayo, aku akan menemanimu untuk tetap bermain dan itu harus kita tegak-"
"LU GAK TAU APA APA TENTANG GUE, BERHENTI NGOMONG!!" ujar Raka yang emosi, lalu kemudian pergi ke arah yang lain untuk menghindari mereka karena takut akan menyakiti mereka lagi.
"Kalau kau berminat, hari Sabtu ini datang ke tempat yang tertera disini, mungkin akan terlihat jauh, tapi markas dan tempat latihan kami ada disini."
Kemudian, mereka melihat alamat yang tertera, walau cukup jauh, tapi mereka akan berusaha datang sambil membujuk Raka untuk pergi ke tempat latihan itu, walau sebenarnya mereka pada Sabtu pagi dihabiskan untuk bermain bola via PlayStation.
"Oke pak, dapat dibicarakan, makasih ya!" kata Raka yang sepertinya sangat bersyukur dia masih mendapatkan sedikit peluang.
"Oh iya, sekedar informasi, sepertinya pelatihan ini akan memungkinkan kalian melakukan karantina di daerah perkampungan yang sudah kami siapkan selama tiga bulan, tapi untuk masalah itu tugas sekolah sudah bapak atur semuanya."
Mendengar hal tersebut Arya dan Sefa akan sangat kesenangan, sehingga Pak Riyan menambahkan lagi, "Dengan syarat kalau kalian lolos seleksi, kalau gak ya gak dapet hehe."
Tiba-tiba semangat bola yang sudah lama padam itu muncul ke permukaan, tanpa ia peduli bahwa rasa sakit dan cedera di kakinya membuat dia berpikir bahwa harus memerlukan intensif yang lebih atas apa yang ia pikirkan, jadi ia tidak akan berpikir dua kali untuk kesempatan ini.
Raka yang pergi meninggalkan teman-temannya rasa sakit, berlanjut mengambil tasnya dan pulang sambil ditemani pemandangan matahari terbenam yang terasa merah di matanya, dia benar-benar menyesali perbuatannya dan menginginkan permainan bola yang ada, namun ia bingung cara menyelesaikan hal ini.
"Oh iya, semoga sukses, besok soalnya saya ada jam matematika, semangat belajarnya."
Guru tersebut memberikan bimbingan moral, sebelum pada akhirnya dia berpikir akan memarahi nya lagi untuk kesekain kalinya, kali ini guru tersebut menyita bolanya dengan tujuan agar tidak ada ekskur internal yang akan melakukan kelakuan semena-mena kepada juniornya.
"Semoga aja Raka benar-benar bisa masuk lagi ke bagian kita, gue gak mau kehilangan pemain sebaik dia."
— 次の章はもうすぐ掲載する — レビューを書く