Ia hanya ingin tahu apa yang membuat anaknya senyum-senyum, sembari berharap bukan Revan yang dipikirkannya.
"Enggak, Ma. Cuma ingat masa kecil aja. Apalagi aku yang dulu pingin banget punya adik," jawab Fira sambil terkekeh kecil.
Pak Ferdi seketika terbatuk mendengarnya. Ia segera mengendalikan diri dengan mengambil air minum kemasan botol yang ada di sampingnya.
"Papa, kenapa?" tanya Fira khawatir.
"Ah, tak apa-apa. Hanya tenggorokan Papa sedikit kering," jawab Pak Ferdi setelah meminum air yang tadi diambilnya.
Fira mengangguk, tak terasa mereka telah sampai di parkiran rumah sakit. Mobil diparkir dengan rapi oleh Pak Parmin. Keluarga kecil Pak Ferdi keluar dari mobil.
Mereka langsung berjalan memasuki areal rumah sakit. Tanpa bertanya pada resepsionis, Fira dan keluarganya langsung menuju ruang perawatan Revan yang lama.
Menaiki lift menuju ke lantai tiga rumah sakit. Saat pintu lift terbuka di lantai tiga, Pak Ferdi, Bu Alin, dan Fira keluar dari lift. Menyusuri lorong rumah sakit yang di bagian kiri dan kanannya adalah ruang perawatan pasien.
Sesampainya di ruangan paling ujung, mereka begitu heran karena mendapati ruangan itu kosong.
"Loh, kok, kosong, Ma?" tanya Fira yang mengintip dari kaca pintu ruangan.
Ruangan itu rapi tanpa ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Bu Alin pun ikut-ikutan mengintip.
"Mungkin Revan sudah sadar dan membaik, mungkin saja sudah pulang." Pak Ferdi berasumsi.
"Bisa jadi, mungkin saja Revan sudah pulang." Bu Alin berkata sambil menenangkan putrinya yang nampak khawatir.
"Kalau gitu, kita tanyakan saja pada perawat, Ma. Aku khawatir, kok, Tante Regina enggak mau banget ngabarin keluarga kita," gerutu Fira yang kesal.
Berbagai perasaan bercampur dalam hatinya, mulai dari takut, cemas, khawatir juga kesal. Ia benar-benar heran dengan perubahan sikap Bu Regina sejak mengenal keluarganya.
"Ya sudah, jangan khawatir begitu. Ayo kita ke sana. Sepertinya ada beberapa perawat yang berjaga di ujung sana." Bu Alin menunjuk ke ujung ruangan saat mereka memasuki lorong ruang perawatan.
Ada beberapa perawat jaga di sana. Mereka bergantian berjaga dan merawat pasien di lorong tersebut. Berusaha selalu sigap dan siaga ketika ada pasien atau keluarganya yang membutuhkan.
Mereka berjalan menuju ruangan para perawat jaga tersebut. Bu Alin memasukinya dan segera bertanya soal pasien bernama Revan.
"Sus, maaf. Pasien ujung yang bernama Revan di mana, ya? Apa sudah pulang?" tanya Bu Alin pada suster yang ada di sana.
Mereka saling tatap bergantian. Seakan ada hal yang disembunyikan oleh mereka.
"Em, pasien bernama Revan sudah tidak di rumah sakit ini lagi, Bu. Kami tak tahu dipindah ke mana," jawab salah satu suster yang duduk di kursi.
Bu Alin mengernyit, seperti tak percaya dengan ucapan suster itu.
"Memang pindah ke mana?" cecar Bu Alin semakin penasaran.
"Kami tidak tahu, Bu. Mungkin berobat jalan," jawab yang lainnya.
Nampaknya mereka tak dapat mengorek informasi lagi. Para perawat itu menyibukkan diri dengan buku dan obat-obatan di tangan mereka.
"Kalau begitu, terima kasih. Kami pergi dulu." Bu Alin pamit dengan dingin tanpa senyum.
Fira yang menyaksikan itu semakin ketar-ketir, kemanakah kiranya Revan pergi. Ia tak dapat berpikir ke mana kekasihnya dibawa pergi oleh kedua orang tuanya.
"Revan enggak ada, Pa. Katanya, sih, mereka juga enggak tahu dibawa ke mana atau mungkin berobat jalan katanya." Bu Alin menceritakan kejadian di dalam tadi pada suaminya.
"Kalau memang sudah pulang, kita bisa ke rumahnya saja," ujar Pak Andi tanpa beban.
Perasaan wanita memang berbeda dengan pria. Jika wanita lebih mengandalkan perasaan. Lelaki lebih menggunakan otak mereka. Pak Andi lebih percaya kalau Revan sudah membaik dan dibawa pulang.
Mereka lalu kembali ke parkiran dan pergi meninggalkan rumah sakit menuju ke rumah Pak Andi. Letaknya masih satu arah dengan rumah sakit itu, jadi tak memakan waktu lama.
Setibanya di depan pagar rumah mewah tersebut, ada satpam yang menghampiri mereka.
"Maaf, Pak. Mau bertemu dengan siapa?" tanya Satpam yang menunduk mensejajarkan wajahnya dengan jendela mobil.
"Kami mau menjenguk Revan. Apa sudah pulang dari rumah sakit?" tanya Pak Ferdi yang ada di jok depan.
"Belum, Pak. Den Revan dan kedua orang tuanya belum pulang ke rumah," jawab Satpam itu lagi.
"Lantas mereka berada di rumah sakit mana?" tanya Pak Ferdi lagi.
Ia juga penasaran sebenarnya ke mana perginya Revan dan orang tuanya.
"Saya kurang tahu, Pak, rumah sakit mananya," jawab Satpam itu cepat.
"Jangan bohongi kami, Pak. Tak mungkin anda tak tahu keberadaan majikan anda!" hardik Pak Ferdi yang sudah kepalang kesal mencari keberadaan Revan.
"Saya benar-benar tak tahu, Pak. Untuk apa juga Pak Andi ngasih tahu satpam dia mau ke mana," elak Satpam tersebut dengan wajah tak bersalah.
Meskipun begitu memang ada benarnya, untuk apa juga majikan harus laporan hendak pergi ke mana pada satpamnya.
Pak Ferdi kemudian menyuruh supirnya untuk melajukan mobil kembali ke rumah. Pak Parmin menurut, ia memutar balik mobilnya menuju ke arah rumah Pak Ferdi.
Fira nampak kecewa, wajahnya berubah masam dan cemberut. Ia juga tak menyangka kalau Bu Regina setega itu sampai tak memberi tahu kemana mereka pergi.
"Maaf, ya, Sayang. Mama dan Papa tak tahu kemana Revan dibawa pergi. Entah ke rumah sakit mana ia dipindahkan." Bu Alin berkata dengan sendu, ia merasakan kesedihan yang dirasakan anaknya.
"Enggak apa-apa, kok, Ma. Bukan salah Mama sama Papa juga, kan, memang mereka yang tak memberi tahu." Fira tersenyum kemudian merangkul pundak ibunya itu.
Mobil telah sampai di halaman rumah Pak Ferdi setelah hampir satu jam perjalanan. Keluarga kecil itupun turun dan berjalan memasuki rumah mewah tersebut.
Sepi, tak ada siapapun di ruang tamu maupun ruang tengah. Para asisten rumah tangga sepertinya tengah beristirahat di kamar mereka.
Biasanya jika pulang bepergian mereka akan ditanya dengan wajah masam oleh Oma Nani dan Sita. Semenjak kepergian mereka sepertinya rumah terasa lebih nyaman dan sepi.
"Pa, Ma, aku ke kamar duluan, ya," pamit Fira sambil berlalu menuju kamarnya.
Pak Ferdi nampak sedih melihat kesedihan anaknya. Ia pun berlalu memasuki kamarnya yang berada di lantai satu. Bu Alin mengikuti dari belakang.
"Pa, kok, bisa-bisanya Regina pergi tanpa mengabari kita," ujar Bu Regina pada suaminya.
Nampak jelas ada gurat kecewa pada nada bicaranya. Pak Ferdi mengembuskan napas kasar, sejujurnya ia pun kesal dengan Pak Andi yang merahasiakan kepergiannya darinya.
"Biar nanti Papa cari tahu, sekarang Mama istirahat saja dulu." Pak Ferdi mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Semantara Bu Alin merebahkan dirinya di tempat tidur. Meski tak melakukan apapun rasanya ia merasa lelah dengan hari ini.