"Kenapa semuanya mesti jadi begini!" pekik Bu Alin.
Bingung, cemas, marah dan takut, semuanya melebur jadi satu dalam hatinya. Tangisnya semakin mengeras dan memukuli diri sendiri saking frustasinya.
Ceklek!
Pintu kamar dibuka dari luar, Pak Ferdi yang sudah lebih tenang masuk ke kamar. Melihat istrinya dengan kondisi yang begitu menyedihkan ada rasa sesak menelusup ke dalam hatinya.
Berjalan cepat kemudian memeluk Bu Alin yang masih terisak dari arah belakang.
"Maafkan Papa, Ma. Tapi, tolong mengerti," ucap Pak Ferdi lirih.
Bu Alin mengangguk pelan, tangisnya mereda meski masih terdengar lirih. Sakit di hatinya tak bisa begitu saja lenyap, namun rumah tangga dan keluarganya lebih berharga saat ini.
"Oma akan datang," ucap Pak Ferdi lirih nyaris tak terdengar.
Bu Alin memejamkan mata, Oma adalah panggilan untuk ibu mertuanya. Ia menggigit bibir bawahnya, sejak dulu tak pernah bisa akur dengan ibu mertuanya itu. Sementara ayah mertuanya telah meninggal sejak Pak Ferdi masih kecil.
"Ada apa Oma ke sini?" tanya Bu Alin pelan, tapi jelas nampak tak suka.
"Ia ingin mempersiapkan acara lamaran dan nikahan Fira," jawab Pak Ferdi.
"Kenapa bisa tahu? Kita belum memberi tahukannya 'kan?" selidik Bu Alin, matanya menyipit menatap suaminya.
"Ta—tadi Papa menelepon Oma," jawab Pak Ferdi gugup.
Bu Alin menarik napas dalam seraya memejamkan mata. Kini pikirannya melayang ke-27 tahun silam. Ketika semuanya terjadi.
***
"Kapan kalian punya anak?!" tanya Bu Nani—ibu Pak Ferdi— pada anak menantunya. "Sudah delapan tahun ini!"
"Sabar, Ma," ucap Pak Ferdi menenangkan.
Pertanyaan itu sudah sering sekali dilayangkan oleh Bu Nani. Namun, jawaban Pak Ferdi tetap sama yaitu sabar.
Bu Alin mendelik tak suka setiap pertanyaan itu diungkapkan.
'Bagaimana mau punya anak, Mas Ferdi aja mandul!' gerutu Bu Alin dalam hati, tapi tak berani mengungkapkan.
"Sabar terus, kapan hasilnya ...?!" Bu Nani semakin marah.
"Kita sedang berusaha, Ma," jawab Pak Ferdi masih dengan suara pelan.
"Usaha terus! Kapan hasilnya?!" pekik Bu Nani semakin tersulut emosi.
"Jangan-jangan ... istrimu ini mandul, Fer! Ceraikan saja dan menikah lagi!" Bu Nani melanjutkan ucapannya sambil menunjuk wajah Bu Alin.
"Ma!" bentak Bu Alin, tangannya langsung dicengkeram Pak Ferdi dengan kuat agar tak melanjutkan ucapannya.
"Lihat, istrimu semakin kurang ajar! Mama mau pergi arisan dulu." Bu Nani melenggang pergi tanpa peduli pada menantu yang tadi diejeknya.
"Mas," ucap Bu Alin sambil menatap manik hitam suaminya dengan mata berkaca-kaca.
"Aku sudah dapat solusinya," ucap Pak Ferdi mantap dan menarik tangan istrinya menuju ke kamar mereka.
Sesampainya di dalam kamar, mereka duduk di samping tempat tidur.
"Sampai kapan kita harus begini terus, Mas .... Aku enggak kuat," ucap Bu Alin dengan air mata yang menganak sungai.
"Nanti kalau sudah punya anak, kita pindah ke rumah baru." Pak Ferdi menangkupkan tangan di wajah istrinya.
Bu Alin tersenyum getir, pasalnya mereka telah beberapa kali ke dokter kandungan dan hasilnya tetap sama. Tak ada benih hidup dalam cairan semen Pak Ferdi.
"Bagaimana caranya kita punya anak sedangkan dirimu saja mandul, Mas. Kenapa enggak jujur saja 'sih, sama Mama," cerocos Bu Alin karena kesal tapi masih dengan suara pelan.
"Kita lakukan donor benih." Pak Ferdi berkata dengan sangat yakin.
"Do—donor benih?" tanya Bu Alin tak percaya.
"Iya, aku anak lelaki satu-satunya di keluarga ini. Malu sekali rasanya kalau sampai semua orang tahu aku tak bisa punya keturunan." Pak Ferdi berusaha meyakinkan istrinya.
"Tapi bagaimana hukumnya?" Bu Alin masih ragu dengan usulan suaminya tersebut.
"Ilegal di negara kita, tapi legal di negara lain. Kita lakukan di Singapura dan mengambil donor dari sepupuku yang tinggal di sana," tutur Pak Ferdi.
Bu Alin menatap ragu. "Mas yakin?"
"Yakin, aku sudah memikirkan ini matang-matang dan telah menyiapkan semua rencananya dengan apik. Percaya padaku, kamu juga mau 'kan, segera pindah dari sini?" Pak Ferdi meracuni pikiran istrinya dengan ide gilanya.
Bu Alin mengangguk, dalam hati ia memang masih mencintai suaminya dan tak ingin berpisah. Juga, keinginannya untuk memiliki keturunan sendiri dari rahimnya, untuk membungkam mulut-mulut yang selama ini menghinanya.
"Sudah jangan banyak berpikir, sekarang kita refresh dan belanja kebutuhan karena tiga hari lagi berangkat ke Singapura." Pak Ferdi berujar dengan senyum yang mengembang.
Bu Alin membelalakkan mata, tak percaya akan secepat itu. Rencana Pak Ferdi telah disusun dengan matang.
Mereka kemudian pergi ke pusat perbelanjaan dengan supir pribadi Pak Ferdi. Membeli segala keperluan yang sekiranya akan dibutuhkan di negara tetangga yang akan disinggahi.
Setelah lelah belanja, mereka masuk ke sebuah restoran mewah untuk makan dan istirahat.
"Mas itu Mama 'kan?" tanya Bu Alin memastikan dengan suara pelan dan mata melirik ke arah samping.
Ada meja panjang yang disatukan dan dipakai oleh para ibu-ibu sosialita yang kelihatannya dari kalangan berada.
"Anakku sudah mau punya dua anak, loh, nambah cucu lagi bentar lagi. Tapi, tetep awet muda dong!" ucap salah satu dari mereka.
"Jeng Nani kapan punya cucu? Padahal nikahin anaknya paling duluan. Tapi, kok, belum punya cucu juga," ujar yang lain menimpali ucapan temannya.
"Sebentar lagi juga aku akan punya cucu!" Bu Nani bicara dengan sedikit keras karena kesal dengan ucapan teman-temannya.
"Halah, Jeng ini kesabaran! Padahal kalau memang menantunya enggak bisa kasih cucu, suruh si Ferdi nikah lagi aja." Seorang Ibu menimpali dengan wajah sinis.
Kesal dengan percakapan menyakitkan di hadapan mereka. Pak Ferdi dan Bu Alin memutuskan untuk pergi tanpa melanjutkan makan di restoran tersebut.
Mereka berjalan cepat keluar dari restoran dan menyusuri jalan menuju mobil mereka terparkir.
Melihat kedatangan bosnya Mang Udin segera keluar mobil dan membukakan pintu.
"Ke rumah," titah Pak Ferdi pendek.
Mood mereka sudah hancur setelah mendengar percakapan toxic Bu Nani dan kawan-kawannya.
Sesampainya di rumah mereka segera memasuki kamar. Sementara barang-barang belanjaan dibawa Mang Udin masuk.
"Cepat taruh saja di sana barang-barangnya, Mang!" Pak Ferdi memerintah dengan setengah berteriak.
Mang Udin segera menaruh barang yang dibawanya dan langsung kembali ke luar kamar.
Pak Ferdi menutup pintu.
"Tuh, kan, semua pada ngomongin kita dan nyalahin aku! Mereka kira aku yang enggak bisa hamil!" cerocos Bu Alin meluapkan kekesalan di hatinya.
"Tenang, sebentar lagi kita bungkam mulut nyinyir mereka dengan kehamilanmu," kata Pak Ferdi mantap.
Bu Alin mengangguk mengiyakan.
Tiga hari kemudian, mereka telah siap untuk berangkat ke Singapura.
"Kenapa mesti jauh-jauh, sih!" Protes Bu Nani ketika Pak Ferdi dan Bu Alin pamit.