"Ayah, kita mau kemana?" tanya Carissa saat dalam perjalanan.
"Ayah punya kejutan untukmu," jawab Stefan tersenyum.
"Kejutan?"
"Ya, lihat saja sebentar lagi Ayah akan membawamu kemana,"
Carissa mengerutkan dahinya pertanda penasaran. Sambil menikmati makanan ringannya, tiba-tiba Carissa menanyakan Ibunya.
"Ayah?"
"Ya, sayang?"
"Apa Ibu benar-benar pergi?"
Wajah cerah Stefan seketika menjadi mendung kembali. Carissa pun merasa menyesal setelah menanyakan hal itu.
"Aku heran padamu, Carissa. Mengapa kau masih mencarinya setelah apa yang dia lakukan padamu?"
"Karena aku yakin, sebenarnya Ibu sangat sayang padaku," jawabnya polos.
"Sayang bagaimana? Apa yang membuatmu yakin?"
"Yakin kalau setiap orang tak selamanya jahat, Ayah,"
Jawaban Carissa sejenak membuat Stefan termenung. Pikirnya, ucapan putri kesayangannya itu ada benarnya juga. Namun masih kalah jika dibandingkan dengan rasa sakit yang Maya berikan selama ini.
"Aku merasa, kehadiranku di rumah Ayah membuat suasana menjadi runyam,"
"Aku mohon, jangan lagi berkata seperti itu, Carissa. Aku tidak suka," balas Stefan dingin.
"Maafkan aku, Ayah," Carissa menunduk.
"Kau gadis yang sangat mulia, Carissa. Andai saja masih ada beberapa manusia yang memiliki sifat sepertimu," ucap Stefan dalam hati.
Beberapa menit kemudian, sampailah mereka di tujuan. Yaitu sebuah tempat wisata Carnival terbesar di kota ini. Stefan mengetahuinya dari Claire bahwa dahulunya sebelum Ibu kandung Carissa berpisah dengan suaminya, ia seringkali ke tempat itu.
Stefan sempat merasa khawatir ketika mempunyai rencana untuk mengajak Carissa kesana. Takut Carissa mengingat masa lalunya kembali. Namun Claire berkata tidak masalah, justru tempat wisata itu malah membuatnya ceria.
"Carissa? Lihatlah sekelilingmu,"
Carissa pun mendongak bahkan sampai membuka jendela mobilnya. Senyum cerah Carissa menyertai pemandangan wisata permainan hingga ia tak dapat berkata-kata. Setelah itu, ia memandang Stefan yang sedang mencari tempat parkir untuk mobilnya. Lalu tersadar, ketika Carissa memandangnya dengan senyum.
"Ehm..., kejutan?" ujar Stefan canggung.
Kemudian Carissa menyerangnya dengan pelukan serta kecupan di pipi Stefan yang sedang mengemudikan mobilnya, hingga mobilnya hampir saja menabrak seorang pria disana. Beruntung Stefan tak lepas kendali dan dengan sigap mengarahkan kemudinya kembali.
"Hei! Bisa mengemudi tidak?!" bentak pria itu dari luar mobilnya.
"Sorry, pak!" balas Stefan sambil menahan tawa.
Sementara Carissa masih dalam posisi memeluk erat Stefan dan tampak terkejut atas peristiwa yang baru saja terjadi.
"Kau hampir saja membunuh kita, sayang," ujar Stefan santai seolah tak terjadi apa-apa.
Akhirnya mereka berdua tertawa bersama, seperti halnya kepanikan barusan adalah sebuah kekonyolan semata.
Mereka berdua pun bersenang-senang disana. Membeli sesuatu seperti boneka, gula kapas dan juga memainkan semua wahana permainan yang ada di Carnival itu. Mereka berdua semakin dekat layaknya seorang ayah dan anak, seperti keluarga lainnya. Hanya saja tanpa seorang Ibu.
Stefan dan Carissa bermain disana hingga hampir menjelang petang. Mereka pun istirahat sejenak di kursi kayu yang terletak di dekat taman dan cukup jauh dari keramaian. Sambil menikmati es krim, mereka berdua memandang pemandangan matahari yang akan terbenam di hadapannya.
"Mau lanjut lagi?" tanya Stefan pada Carissa yang sedang bersandar di lengan kanannya.
"Aku masih lelah, Ayah. Tapi aku senang sekali hari ini," jawab Carissa tersenyum.
"Aku juga senang bersamamu disini," ucap Stefan disertai kecupan di keningnya.
"Jujur saja, aku tidak pernah ke tempat seperti ini sebelumnya,"
"Hah? Serius, Ayah? Waktu Ayah masih kecil mungkin?" Carissa sedikit heran.
"Tidak, serius, aku tidak pernah. Masa laluku berbeda denganmu, Carissa. Aku di didik keras oleh kedua orang tuaku. Aktifitasku sehari-hari hanyalah sekolah dan belajar bisnis sejak dini. Terkadang aku juga merasa bahwa hidupku sangat hambar. Rasanya, percuma aku punya segalanya, tapi aku tidak merasakan hidup yang sebenarnya selama ini,"
"Setidaknya, kedua orang tua Ayah tidak meninggalkan Ayah, kan?"
Stefan merasa menyesal setelah mendengar perkataan Carissa. Tidak seharusnya ia bercerita tentang kisah hidupnya jika akhirnya membuat Carissa merasa iri terhadap kehidupan Stefan.
"Maafkan aku, Carissa. Aku tidak bermaksud membahas ini,"
"Tenanglah, Ayah. Sekarang aku sudah memiliki seorang Ayah yang baik dan penyayang sepertimu. Aku sangat bersyukur atas itu," jelas Carissa seraya melontarkan senyum manis padanya.
Lalu Carissa beranjak dari sandaran hangat sang Ayah dan berkata,
"Ayah, maukah Ayah berjanji satu hal padaku?"
"Apa itu?"
"Jangan pernah meninggalkan aku seperti kedua orang tuaku dulu,"
Stefan menjawab Carissa dengan merengkuhnya dalam pelukan. Namun Carissa melepas pelukan itu dan memandang wajah Stefan dengan jarak dekat.
"Ayah belum bilang janji padaku,"
"Karena aku rasa kau sudah tahu jawabanku,"
"Apa?"
"Kau adalah anugerah, jadi, mana mungkin aku menyia-nyiakan anugerah yang telah Tuhan berikan padaku?" sambil mengusap lembut kedua pipi Carissa.
Entah mengapa jantung Carissa berdetak lebih cepat dari biasanya setelah mendengar ucapan Stefan. Kedua tangannya terasa dingin dan berkeringat. Kemudian Stefan merasa heran ketika Carissa tiba-tiba saja sedikit menjauh darinya.
"Carissa, ada apa?"
"Tidak apa-apa," singkat Carissa membuang pandangannya ke arah lain.
"Carissa? Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Stefan sekali lagi saat melihat hembusan nafasnya yang tak beraturan.
"Ayah, aku ingin pulang," jawab Carissa seolah mengelak.
"Apa kau yakin? Kau tidak ingin mencoba wahana lain lagi disini?"
"Tidak, ayo Ayah kita pulang," ujar Carissa serius. Stefan pun mengiyakannya.
Anehnya, sepanjang perjalanan Carissa hanya diam merenung sambil melihat pemandangan jalan raya dari jendela mobil yang tertutup. Sesekali Stefan melirik ke arahnya dan masih bertanya-tanya. Ada apa dengannya? Mengapa sikapnya tiba-tiba berubah begitu saja?
Sesampai di rumah pun, Carissa langsung masuk ke kamarnya tanpa sepatah kata pun. Lalu Stefan menyuruh Carla untuk menyiapkan makan malamnya.
Di dalam kamarnya, Carissa sedang menatap dirinya sendiri di depan cermin. Terlihat jelas di matanya, seolah ia membenci dirinya sendiri, entah mengapa?
"Nona Carissa?"
Suara Carla di balik pintu kamarnya sempat membuat Carissa terjingkat kaget.
"Mohon maaf, Nona Carissa, sudah membuat Nona kaget," ujar Carla menyesal.
"Saya hanya ingin memberitahu bahwa malan malam sudah siap. Tuan Maroni sedang menunggu Nona di meja makan," lanjutnya.
"Ehm, iya, bibi Carla. Aku segera kesana sebentar lagi," balas Carissa sambil mengelus dadanya karena masih kaget.
"Baik, Nona," lalu pergi.
Sementara Stefan masih menunggunya cukup lama di meja makan. Sesekali melihat tangga, berharap Carissa cepat turun.
"Carla?"
"Ya, Tuan?"
"Carissa mana? Kok tidak turun-turun?"
"Katanya sebentar lagi Nona Carissa akan turun, Tuan,"
"Memangnya dia sedang apa disana?"
Setelah itu Stefan melihat Carissa turun melewati tangga secara perlahan. Ia takjub sekaligus heran dengan pakaian yang Carissa kenakan. Yaitu mengenakan gaun tanktop terusan berwarna merah dengan bagian roknya yang pendek diatas lutut, serta rambutnya yang berhiaskan pita bando berwarna merah pula. Tak lupa dengan riasan wajah yang rata dan halus serta lipstik merah yang tegas mewarnai bibir manisnya.
Carissa pun menempati tempat duduk tepat di depannya. Sementara kedua mata Stefan masih melebar melihat penampilan Carissa yang tak biasa malam ini.
"Carissa? Apa kau ingin jalan-jalan lagi malam ini?" tanya Stefan heran.
"Tidak, aku hanya ingin makan malam dengan Ayah," jawab Carissa genit.
"Oh, aku kira kau ingin jalan-jalan lagi," Stefan merasa canggung terhadapnya.
"Ayah kenapa?" Carissa tersadar saat Stefan merasa canggung.
"Tidak, tidak apa-apa. Ehm..., ayo kita makan saja, aku lapar sejak tadi menunggumu lama sekali," ujar Stefan gelagapan.
"Maafkan aku, Ayah," ucap Carissa manja sambil mengusap lembut tangan Stefan.
"Pasti ada yang salah dengannya," batin Stefan cemas.