Akuji melihat pengawas itu sekali lagi. Dia, seorang gadis anggun yang tengah duduk menghalangi pintu kecil itu saat tengah memakan sandwichnya seorang diri di tempat terpencil semacam ini. Bahkan jika tempat ini ditunjukkan dalam denah, orang lain tidak akan sadar jika mereka tak memperhatikannya dengan teliti.
Gadis itu mendongak, melihat Akuji dan berkata, "Oh, ternyata itu kamu Akuji."
... Seolah itu adalah pertemuan yang biasa. Apa dia tidak risih ditemukan orang lain dalam keadaan ini? Dengan penampilannya, bagaimana bisa dia hanya menjadi seorang anti-sosial?
"Apa yang kamu lakukan di sini?" lanjutnya tanpa banyak kekhawatiran di wajahnya.
Akuji tidak memikirkannya terlalu jauh dan segera kembali normal begitu melihat reaksinya. "Meminjam sebuah buku. Sebelum itu siapa namamu?"
"Apa aku belum pernah memberitahukannya?"
"Kurasa belum." Akuji berkata sebelum duduk di sampingnya. Sejak dia telah menemukannya, Akuji berpikir lebih baik membawanya ke Blaise agar orang tua itu tak mengganggunya lagi. Bahkan jika dia tidak berminat menyelesaikan quest tersebut, dia tahu lebih baik menyelesaikannya selagi terdapat kesempatan.
Mengambil gigitan lain pada sandwich di tangannya, dia mengunyah pelan sebelum menyebut namanya ringan, "Aku Naurel."
"Jadi kau dipanggil Aurel?"
"Tidak, Urel lebih tepatnya," jawab Naurel santai yang membuat alis Akuji sedikit terangkat. Bukankah itu hampir tidak memiliki perbedaan? Dan bukankah Urel lebih seperti nama untuk laki-laki?
Akuji tahu bahwa Naurel benar-benar seorang perempuan sejak dia memiliki itu di dadanya dan mengalami penerimaan dengan mudah. Mengingat bagaimana Charista sempat bergulat dengannya hanya karena cara dia memanggil, Akuji memilih diam untuk itu.
"Apa yang kau lakukan dua hari ini?" Naurel bertanya, menyebabkan helaan napas panjang muncul dari Akuji mengingat bagaimanapun dia belum mati satu kali pun. Dan usahanya untuk bunuh diri hanya digagalkan, baik di dunia nyata maupun game.
Melihat bagaimana Akuji bereaksi, Naurel berkata, "Sepertinya tidak berjalan baik."
Naurel tidak memiliki banyak simpati untuk Akuji, namun bukan berarti dia tidak memiliki hati. "Kau dapat mengambil beberapa sandwich ini," katanya menyodorkan kotak bekal yang hampir habis.
"Terima kasih," jawab Akuji mengambil sandwich dan mulai memakannya. "Ahh, aku benar-benar ingin mati sekarang," desahnya. Dia hanya berharap bahwa Blaise dan gangguannya tidak akan pernah muncul dari awal.
"Coba masukkan saja racun ke dalam sandwich itu. Walau itu tak akan berhasil sejak aku pernah mencobanya."
"????"
"???? "
Mereka berdua saling memandang saat berpikir apa mereka tidak salah dengar sebelumnya.
"Kau pernah memakan racun?"
"Kamu ingin mati?"
Tanya mereka pada saat yang sama ...
"...."
"...."
... Membuat keduanya kembali terdiam sebelum mata mereka berbinar cerah. Teman!
"Bagaimana rasa racun itu? Apakah itu membuat tubuhmu mati rasa?"
"Tidak. Itu bahkan tidak banyak berefek padaku." Naurel menjawab santai, "Lebih daripada itu, apa yang telah kamu lakukan Akuji?"
"Yah, aku hanya mencoba lompat dari ketinggian dan menenggelamkan diri tapi itu gagal sejak orang lain melihatnya dan menyelamatkanku."
"Terkadang orang lain bisa benar-benar berbuat sesuatu yang tidak diperlukan, ya?"
"Itu benar ...," balas Akuji seolah ringan seolah tengah membicarakan cuaca hari ini. "Lagi pula, kita tidak dapat marah pada mereka sejak mereka tak berniat jahat."
"Namun itu benar-benar tidak adil." Naurel membalas. "Di mana kebebasan kita! Dengan adanya dasar kebebasan untuk hidup bukankah itu berarti kita juga bebas untuk mati?!" sambungnya membuat Akuji mengangguk setuju dengan keras.
"Kematian sendiri adalah bagian dari kehidupan!" teriak mereka pada saat yang sama sebelum melakukan tos satu sama lain.
Ikatan aneh telah terbentuk!
Mereka berdua masih tersenyum puas, menemukan seseorang yang dirasa dapat memahami pola pikir aneh mereka sebelum Akuji teringat akan quest miliknya.
"Urel, apa kau mau pergi sejenak?"
"Hm? Ke mana itu?"
"Ke cafe di bawah," jawab Akuji. "Dan apa aku boleh meminta racun yang kau gunakan bila masih ada?"
Naurel tertawa kecil seolah mengetahui niat Akuji sebelum melemparkan sebuah botol hijau lumut kecil padanya. "Tentu, itu bukan masalah."
Pintu kecil itu terbuka, mengantar mereka menuruni tangga yang segera mencapai tanah sebelum menuju ke cafe tempat Blaise berada. Dan ...
"Ternyata itu benar-benar Anda, Nona Urel."
... Blaise segera menyapa Naurel begitu dia dapat melihatnya sebelum berbalik ke arah Akuji. "Ternyata kamu benar-benar mengenal Nona Urel, Nak."
Blaise bahkan telah memberi tanda pada Akuji untuk mengetahui lokasinya jika dia kabur, tapi sejak mereka telah bertemu tanda itu tidak diperlukan lagi.
"Oh, Blaise," ucap Naurel sebelum melihat Akuji. "Apa kamu mengenalnya Akuji?" Meragukan tujuan Akuji sebenarnya.
"Tidak, dia hannyalah Orang Tua yang menggangguku untuk mati." Akuji menjawab." Dia juga seorang pemaksa yang membuatku harus menemukanmu atau Pak Tua itu hanya akan terus mengganggu usahaku," sambungnya dengan keluhan lain yang dibalas anggukan oleh Naurel seolah memahami itu sebelum keduanya menghela napas di waktu yang sama.
"Akuji, karena kamu telah menemukan Nona Naurel, terimalah ini." Blaise berkata, mengabaikan keluhan keduanya tampilkan saat dia melemparkan sebuah batu kuning kecil ke arah Akuji.
Namun—
"Ck, ck, ck. Tak ternyata kamu sepelit itu ya, Blaise." Naurel segera mengkritiknya begitu dia menangkap apa yang Blaise coba berikan. "Bukankah kamu seharusnya memberi Akuji sesuatu yang lebih baik karena telah menemukanku? Jika itu kamu mungkin aku sudah akan pergi dari kota ini bukan?"
"Hah ... tentu saja," jawabnya lemah. Tidak ingin berdebat dengan Naurel dan merogoh kantong penyimpanannya lagi sebelum tersenyum.
"Akuji, sejak kamu sangat ingin tahu apa kematian itu kurasa kristal memori ini akan sangat cocok untukmu." Blaise berkata, memberikan kristal merah itu secara langsung ke Akuji.
[Memory Crystal of Assassination
Attack : 0 ❖ Defense : 0
Jenis : Konsumsi
Berat : 0,1 kg
Daya Tahan : 10
Syarat Penggunaan : Tidak Ada
Kristal itu sendiri berisi tentang kenangan dari seorang pembunuh, saat digunakan akan membuat adegan pembunuhan yang telah 'dia' lakukan diputar ulang dan membuka seluruh skill Tier 1 dan Tier 2 dari Pohon Skill Assasin]
'Pohon Skill Assasin?' Akuji berpikir saat melihat apa yang muncul dari hasil penilaiannya.
Bagaimana Blaise, pemilik kristal memori ini tidak tahu efek apa yang kristal ini bawa dan senjata apa yang Akuji kenakan ketika dia menyadari ikat rambutnya? Seorang assasin dan elementalist tentu sangat bertolak belakang dan Akuji yakin Blaise hanya tak mau memberikan sesuatu yang sesuai dengannya.
"Terima kasih," ucap Akuji sebelum segera menggunakannya dan membuat kristal itu hancur!
Bahkan jika dia tidak terlalu berminat untuk menyelesaikan quest itu, mengapa dia menolak hadiah yang ada di depan matanya bahkan jika itu tak sesuai? Dia hanya akan menerimanya dan mencari tahu apakah pohon skill ini memiliki sesuatu yang dia butuhkan.
Visi Akuji sedikit berputar saat dia merasa seperti berada dalam bioskop saat adegan demi adegan diputar. Cara seorang pembunuh mendekati targetnya, serangan yang dia berikan, dan caranya mundur. Yah, itu saja.
Mungkin memang terdapat banyak adegan yang patut disebut 'berdarah' tapi Akuji hanya menguap saat melihatnya. Bukankah pengaturan visual deflaut Vivid telah cukup realistis hingga pemain bisa melihat darah dari luka yang ada?
Dan rekaman itu sendiri selesai secepat bagaimana itu dimulai. Membuat Akuji dapat melihat Blaise dan Naurel kembali.
"Ini sudah sepuluh tahun, Nona Naurel. Dan aku rasa Anda tahu bahwa ini waktunya Anda tuk mengganti cincin-cincin itu," kata Blaise.
"Hmm? Apa sudah sepuluh tahun? Waktu benar-benar cepat, ya?" Naurel berucap, melihat ke sepuluh cincin yang tersemat di jari-jemarinya sebelum menghela napas pendek. 'Sayang sekali, padahal aku ingin mendiskusikan beberapa hal lain dengan Akuji. Tunggu—'
"Baiklah, aku akan ke sana dengan syarat Akuji ikut," ucap Naurel, membuat pandangan Blaise tertuju pada pemuda itu yang menyetujuinya dengan ringan saat berkata, "Oh, jika boleh."
"Kalau begitu sudah diputuskan." Naurel mengetuk palu, mengabaikan pendapat apa pun yang mungkin Blaise miliki.
Dan—
"MASTER SIALAN!"
Sebuah pekikan segera terdengar di telinga mereka begitu seorang gadis masuk. Rambut emas mengalir, memperlihatkan telinga runcing dengan lekuk tubuh yang sedikit terlihat sebab pakaiannya masih sedikit basah oleh hujan. Membuat beberapa orang meneguk ludah mereka namun segera mundur begitu melihat tatapan tajam dari mata merahnya.
Langkahnya menderap, menghampiri mereka bertiga saat dia berkata pada Blaise. "Apa tidak ada sesuatu yang ingin kamu katakan atas perlakuanmu, Master."
Membuat Naurel dan Akuji saling berbisik.
"Kurasa Blaise benar-benar memiliki hobi aneh."
"Seperti yang diduga dari Pak Tua itu."
"...." Blaise mengambil napas dalam. Dia sadar dia telah salah meninggalkan muridnya ini seorang diri dan menjadi lebih merepotkan saat dia mendengar pertukaran kedua orang di depannya. "Ini tidak seperti yang Anda pikirkan Nona Urel."
"Tunggu?! Nona?!" teriak Arsy, melihat gadis berambut hitam di depannya. Satu-satunya pihak yang dapat dipanggil 'nona'. Dengan status gurunya itu, Arsy bahkan tidak memanggil seseorang ratu dari beberapa negara sebagai 'nona'. "Siapa dia, Master?"
"Ingatlah Arsy. Dia adalah orang yang harus kamu temui setiap sepuluh tahun, Nona Naurel Eugene," jawab Blaise sebelum mengambil napas dalam. Membuat Arsy melihat gadis berambut hitam yang tampak seumuran dengannya itu lagi saat rasa penasarannya semakin memuncak.
"Seorang Celestian."