Zaya menatap lurus ke jalanan. Pria yang baru berkata dengan santainya hal yang sangat membuatnya tak nyaman baru saja pergi. Lia yang melihat Zaya tampak melamun, berjalan menghampirinya dan menepuk bahunya. "Kamu kenapa? Jangan melamun gitu, Zay. Nanti kesambet, loh!" tegur Lia padanya.
Gadis itu melirik Lia, lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak sedang melamun. Hanya melihat jalanan yang sedikit sengang saja hari ini," alibinya.
Lia menatapnya tak yakin. "Benarkah? Lalu siapa lelaki tadi? Kau sempat duduk menemaninya makan, tadi. Tidak biasanya aku melihatmu begitu?"
"Ah, tadi? Dia salah satu teman dari temanku. Hanya sapaan formal saja, dan sepertinya aku salah karena terlalu baik membalas sapaanya tadi,"
"Maksudmu?" tanya Lia tak paham.
"Sudahlah, jangan dipikirkan. Aku ke dapur dulu, mau cuci piring, oke?" Zaya menepuk bahu Lia beberapa kali seraya tersenyum tipis yang membuat teman kerjanya itu semakin bingung. Lia menggaruk keningnya. "Sikap Zaya yang seperti ini. Mungkinkah lelaki itu membuatnya tidak nyaman?" pikir Lia. "Ah, entalah. Bukankah Zaya juga memang selalu tidak nyaman dengan pria manapun yang tidak dekat dengannya. Harusnya aku tidak terlalu heran dengan sikapnya yang seperti ini," decaknya.
Sementara itu Zaya berada di dapur restoran membantu beberapa orang yang sedang mencuci piring sedangkan dia membantu untuk mengelap piring basah yang baru selesai di cuci.
Meski tangannya terus bergerak melakukan tugasnya. Gadis itu menundukan kepalanya menatap piring yang sedang di lapnya. "Harusnya aku tadi tidak bertanya seperti itu dan tidak usah duduk di sana. Huhft, kenapa aku selalu membuat sikap yang selalu aku sesali. Bukankah jauh lebih baik jika aku tidak terlibat terlalu jauh lagi dengan pria itu," batinya gusar.
"Zaya?"
"Ya?" sahut Zaya ketika karyawan lain yang lebih tua darinya memanggilnya.
"Kamu sudah selesai. Mau berapa lama kamu terus mengusapnya?"
"Huh?" Zaya memiringkan kepalanya dengan raut wajah bingung.
"Itu, piring di tanganmu. Kau sedari tadi hanya mengusap itu saja dan kami sudah menyelesaikan yang lain,"
Zaya terperanjat kaget. "Ah, maaf!"
"Kamu sedang banyak pikiran kah?" tanya wanita paruh baya berusia 40 tahun itu. Yang bekerja sudah lama di restoran Puspa.
"Tidak, buk. Maaf, Zaya akan membantu Lia di depan saja ya?"
"Ya, pergilah." Balas wanita itu.
Zaya menarik nafas dalam. "Lupakan itu Zaya. Jangan mengacaukan pekerjaanmu karena memikirkan hal-hal yang tidak penting!" gerutunya. Gadis itu melirik jam tangannya, dan masih tersisa 3 jam lagi sebelum akhirnya dia bisa pulang dan beristirahat di rumahnya. "Bismillah! Semangat, hanya tinggal sebentar lagi! Jangan mengacaukan pekerjaan apapun!" ujarnya bersemangat.
Beberapa jam kemudian, akhirnya dia pun menyelesaikan pekerjaanya. Gadis itu pulang dengan membawa beberapa lauk dari restoran untuk makan malamnya. Selama bekerja di sana, Zaya bersyukur dia tidak pernah kesulitan dalam hal makanan. Karena setiap orang yang bekerja di restoran Puspa pasti akan dizinikan mengambil lauk apapun yang dinginkan atau bahkan di bawa pulang.
Pulang dengan rasa lelah di seluruh tubuhnya dan juga rasa puas di hati karena dia bersyukur bisa menyelesaikan pekerjaanya hari ini dengan sangat baik dan bisa mengontrol kembali dirinya agar tidak mengacaukan pekerjaannya.
Setelah sampai di kosannya. Gadis itu meletakan makanan yang di bawanya ke dalam lemari es berukuran sedang miliknya. "Hufttt…Badanku pegal-pegal semua. Aku harus segera mandi, lalu makan malam dan tidur. Besok akan lebih sibuk lagi," desahnya.
Keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang basah terlilit oleh handuk. Gadis itu sudah memakai pakaian lengkapnya yang selalu dia bawa ke kamar mandi. Gadis itu memanaskan lauknya. "Mungkin aku bisa membawanya untuk bekal besok. Jadi tidak perlu ke kantin lagi. Hmmm, lebihkan saja untuk Mira. Siapa tahu dia mau,"
Sendirian di kosan sederhana dan meja berukuran sedang dia menikmati makan malamnya seorang diri. Zaya makan sambil memainkan ponselnya. Beberapa saat kemudian sebuah panggilan video call masuk ke ponselnya membuat senyum lebar terbit di bibirnya,.
Itu adalah panggilan dari keluargnya. Dengan cepat Zaya menjawab panggilan itu, rasa kesepian, kerinduan dan rasa lelahnya terobati setelah mengobrol dengan kedua orang tau dan juga kedua adik perempuan dan laki-lakinya.
Gadis itu bahkan tidak sadar sudah mengorbol dan bercerita banyak hal kepada mereka sampai larut malam. Ketika berada di dalam kamar dan memutuskan panggilan barulah dia menyadarinya. "Pada akhirnya aku tidur jam 23:00," kekehnya. "Semoga saja aku tidak tertidur di kampus besok!"
***
Ke esokan harinya. Seperti biasa Zaya datang ke kampus dan bertemu dengan sahabatnya Mira. "Wahhh! Kamu bawa bekal hari ini!" pekik Mira senang. "Jatah akua da nggak?"
"Nggak ada!" jawab Zara cepat.
Bibir Mira langsung maju beberapa senti sambil berdecak sinis. "Wah, parah kamu An! Masa aku nggak kebagian! Fix, definisi sahabat yang pelit bin medit!"
Zaya tertawa mendengarnya. "Bercanda loh, ini punyamu!"
Mira menyengir dengan senyum lebar menerima satu kotak bekal dari Zaya. "Nah, gitu dong. Nanti kita makan sama di kelas ya,"
"Kamu makan sendiri aja ya,"
"Eh, kenapa? Tunggu! Mukamu lesu banget? Pasti kurang tidur ya?" terka Mira.
Zaya mengangguk, sambil memijat bahu dan juga lehernya sendiri. "Ah, aku baru ingat kamu bantu Kak Puspa di restoran kan?" Zaya kembali mengangguk. "Sahabatku yang malang," desah Mira.
"Nggak apa-apa. Aku mau makan di taman belakang aja, biar bisa sekalian merem sebentar di bawah pohon. Cuaca hari ini juga sepertinya tidak terlalu panas. Kalau di kelas malah nanti aku tidak bisa tidur,"
"Yaudah deh, tapi jangan lupa balik! Ntar keterusan tidur lagi kamu!" peringat Mira.
"Aman! Jangan khawatir, aku kan selalu stel alaram kalau tidur. Lagi pula aku tidak tidur terlalu lelap. Hanya beristirahat sejenak saja,"
"Iya, tahu. Btw---"
"Hmmm?"
Mira menatap Zaya. "Nggak-nggak jadi,"
"Apa sih, Mir. Nggak jelas banget kamu," dengus Zaya.
"Hehehe… Ya maaf!" Sebenarnya Mira ingin kembali bertanya soal Zayn Trivanza. Tapi melihat wajah kelelahan Zaya, gadis itu tidak tega untuk menanyakannya dan nanti malah mengusik pikiran sahabatnya itu.
Jam makan siang, Mira dan Zaya berpisah. Gadis dengan balutan gamis biru muda dan pashmina putih yang menutupi kepalanya itu berjalan dengan cepat menuju ke belakang. Dia hanya ingin menyelamatkan dirinya dan menghindari seseorang.
Gadis itu bernafas lega saat dia sudah sampai di bawah pohon rindang yang menjadi tempat favoritnya. Dengan beralaskan rumput jepang yang melapisi tanah di bawahnya, Zaya hanya membutuhkan selembar kain sapu tangan miliknya untuk menjadi alas di rumput itu.
Dengan senyum mereka, gadis itu duduk bersandar di pohon dan mulai menyantap makan siangnya. Angin berhenbus membuatnya begitu tenang dan sejuk. "Aku rasa ini memang tempat terbaik di kampus ini," gumamnya.
Setelah makan dengan kenyang. Zaya menyamkan posisinya, hembusan angin membuatnya menjadi sangat mengantuk. Gadis itu mengambil sapu tangannya yang lain dari tas sakunya. Lalu meletakan sapu tangan itu untuk menutupi wajahnya. "Semoga tidak ada yang menganggu istirahatku kali ini," batinya.
Sementara itu seseorang sedari tadi menunggu dan menunggu hingga dia menjadi sangat kesal karena tidak melihat gadis pujaanya di kantin. "Lo kenapa sih bos?" tanya Riko.
"Diam aja, jangan ikut campur!" peringat Zayn.
Pria itu memicingkan matanya saat melihat Mira datang ke kantin. Namun dia tidak melihat Zayana di sana. "Kemana dia? Kenapa dia tidak datang ke kantin? Apa dia tidak makan lagi?"
Ketika Mira akan kembali ke kelasanya. Zayn bangkit dari kursinya membuat ketiga temannya keheranan. "Mau kemana lo, Zayn?" tanya Davi. "Pasti lo mau nemuin cewek itu lagi kan!" desis Davi terang-terangan dengan raut yang begitu tak suka.
"Bukan urusan lo, Dav!" senggak Zayn, dan berlalu pergi dari sana mengikuti Mira.
Pria itu menghentika Mira dan tentu saja bertanya tentang keberadaan Zaya. Meski pada awalnya Mira enggan memberitahunya, tapi dengan paksaan dan ancaman Zayn dan tatapan tajamnya itu membuat nyali Mira menciut.
Zayn menyeringai puas. Pria itu langsung memutar tubuhnya dan berlari menuju taman belakang. Langkah kakinya terhenti dengan nafas tersengal-sengal dan keringat mengucur di dahinya karena dia belari begitu cepat.
"Ah, di sini kamu sayang," desisnya.
Pria itu berdiri tegak, dan berusaha mengatur kembali nafasnya. Zayn berjalan dengan sangat pelan menghampiri gadis yang tengah tertidur itu. Melihat Zaya yang masih tidak menyadari kehadirannya.
Zayn berdiri tepat di hadapan Zaya, dengan mata yang menatap lekat padanya. "Kenapa dia menutup wajahnya seperti ini?" baru saja tangan pria itu terulur ingin menyingkirkan kain itu. Justru angin yang lebih dulu membuanya tersibak dari wajah Zaya. Dan membuat wajah cantiknya yang sedang terpejam terpampang jelas di hadapan Zayn membuat pria itu terpaku dengan begitu terpesonanya.
Matanya seakan tidak berkepip melihatnya. Bahkan dia juga tidak sadar ketika dia mengambil ponselnya, membuka kamera. Dan mengaharakannya pada Zaya, dan memotret gadis itu. Senyum manis yang begitu lembut terpancar di bibirnya. "Sangat cantik," desisnya penuh geraman.
Zayn dengan keberaniannya. Duduk di samping Zaya, sambil terus memperhatikan gadis itu lekat, dari sampingnya. "Kamu sangat berani, tidur sendirian di sini sayang? Bagaimana jika ada orang lain yang melihatmu begini? Haruskah aku menghukumu atau memarahmi saat kamu bangun? Ah, tapi sepertinya lebih baik aku menciummu saja nanti," pria itu memalingkan wajahnya.
Jantungnya berdebar semakin gila. "Aku pasti akan mendapatkanmu, cepat atau lambat, Zayana…" desisnya, menatap Zaya dengan sorot yang tajam.
#Bersambung…
— 次の章はもうすぐ掲載する — レビューを書く