"Seharusnya kau berani bertindak!"
"Kau jangan berdiam diri dan menerima semua perlakuan kasar dari Tuan Hittler! Sampai kapan kau akan mengalah dan mengalah?"
"Mana mungkin aku berani dengan Tuan Hittler? Aku tidak mungkin melawannya."
"Ah, sudahlah. Sama saja, bicara denganmu di telefon hanya akan membuatku semakin kesal. Nanti petang aku akan menunggumu di restoran pinggir jalan dekat rumah Tuan Hittler."
"Aku tunggu petang nanti Lalisa!"
"Hey, tap-tapi...."
TUT... TUT... TUT....
Leonar langsung menghembuskan nafas panjang begitu telfon dimatikan sepihak. Belum sempat ia mengatakan tidak, tapi temannya sudah mematikannya. Ia sendiri bingung, nanti petang harus bagaimana. Keluar rumah tentu tidak mungkin. Ia sudah tahu Jonathan tidak akan memberi izin.
"Aghh, dia benar-benar keterlaluan," ucap Leonar sembari berbalik badan. Betapa kagetnya dia saat melihat Hittler sudah berdiri tegap di hadapannya. Pandangannya mengintimidasi, menatap tajam dua bola mata Leonar. Sejurus kemudian Hittler menarik tangan Leonar dengan kasar, lalu membawanya ke ruangannya di lantai satu.
Pria itu menjatuhkan Leonar di atas kursi putar di hadapannya. Sementara Leonar diam tak berkutik. Menunduk takut dengan jantung yang berdegup kencang. Tak sedikitpun ia berani mengangkat pandangan, bahkan sekedar bertanya mengapa ia tiba-tiba dibawa ke ruangan tuan besar.
"Selamat siang, Tuan." Jonathan baru saja masuk. Dia langsung berjalan menghampiri tuannya. Ia berdiri di samping Hittler.
"Leonar, siapa Lalisa?"
'Haa?' tanyanya dalam hati. Bingung dengan pertanyaan tidak masuk akal yang terdengar sangat tiba-tiba.
"Ada hubungan apa kau dengan Lalisa!"
"Jawab!!"
"Jangan sekali-kali kau berhubungan dengannya. Tugasmu di dalam rumah ini tidak lebih dari seorang pembantu, jadi tidak usah macam-macam. Jangan berusaha membantu Lalisa."
"Tuan? Saya adalah Lalisa."
'Lalisa?' batin Hittler.
"Nama saya Lalisa Leonara."
Mendengar itu Jonathan langsung terdiam. Ia menatap ragu wajah Hittler. Pandangannya penuh tanya, hanya saja mulut Jonathan masih terkunci.
"Apa? Kenapa menatapku begitu?" Hittler langsung mendahului begitu Jonathan menatapnya. Seakan ia tahu apa yang sedang Jonathan katakan dalam hati.
"Mau menyalahkanku?"
"Ti-tidak, Tuan. Saya yang salah... saya yang tidak mencari informasi terlebih dahulu."
Leonar menundukkan kepala, menyembunyikan senyum puasnya. Senang melihat Jonathan tak berkutik di hadapan Hittler. 'Ini lucu sekali!'
"Leonar, lain kali jangan sampai nama Lalisa terdengar lagi di lingkup rumah ini," kata Jonathan memberitahu.
"Emm, i-iya, Tuan Jonathan. Maafkan teman saya yang tadi menggunakan nama itu saat berbicara di telepon."
Mata Hittler bergerak, memberikan isyarat pada bawahannya. Sejurus Jonathan membawa Leonar keluar dari ruangan itu. Lagi-lagi Leonar dijatuhkan dengan kasar!
"Kenapa temanmu musti menggunakan nama Lalisa!"
"Itu memang panggilan saya."
"Kenapa dia tidak memanggilmu Leonar?"
'Ya, terserah mereka mau memanggil saya apa. Kenapa musti dipermasalahkan?'
"Gara-gara ulah temanmu di telepon aku jadi kena!"
"Maaf...."
"Kau tahu? Tuan Hittler benci dengan seseorang bernama Lalisa. Dia tidak ingin mendengar nama itu lagi."
"Waktu itu saya mendengar Tuan Hittler mengigau."
Jonathan melirik kanan kiri, mengamati kondisi sekitar. "Oh, ya? Dia bilang apa?"
"Tuan Hittler memanggil-manggil nama Lalisa saat saya berdiri di sampingnya. Kemudian... saat saya hendak pergi dia memegang erat tangan saya dan memanggil-manggil nama Lalisa lagi."
"Lalu?"
"Lalu Tuan terbangun."
"Ahh, kupikir...."
"Kau tahu? Lalisa adalah wanita yang sangat cantik. Dia adalah model internasional dengan tubuh yang sangat indah."
"Sayangnya dia bukan wanita yang baik. Tuan Hittler memergokinya di hotel. Bodohnya lagi tempat wanita itu menginap di hotel milik Tuan Hittler sendiri."
"Aku melihat tubuh polos Lalisa yang mulus. Sungguh, indah sekali. Dia sedang terbaring di atas ranjang, di samping seorang pria hidung belang. Sekoper uang ada dekat tubuh Lalisa."
Leonar melotot. Dia waktu yang bersamaan ia juga menalan ludah, kaget mendengar cerita Jonathan. Juga kaget dengan sikap asli Jonatan. Tidak percaya jika pria itu sangat pandai menggibah, bermulut seperti wanita!
"Untungnya Tuan Hittler tidak menyebarkan vidio miliknya. Kalau aku jadi Tuan Hittler, sudah pasti aku akan menyebarkan semua vidio itu. Sayangnya dia masih berbesar hati untuk memaafkan wanita itu!"
"Benar-benar, Lalisa memang kurang ajar."
"Hey!!" Setelah sadar dengan sikapnya sendiri dia langsung membentak Leonar. Menyalahkan wanita itu sebagai penyebab ia membuka cerita!
"Pergi!!"
'Aneh!' batin Leonar kesal. Segera ia meninggalkan ruang tamu. Kakinya menaiki setiap tangga dengan langkah kecil. Cerita Jonathan masih terngiang-ngiang di telinganya. Ia membayangkan sosok Lalisa yang membuat Hittler benar-benar patah hati.
'Pasti Lalisa yang dimaksud Jonathan sangat cantik. Dia pasti punya kaki yang panjang, rambut tergerai rapi, dan bentuk tubuhnya pasti sangatlah bagus. Hmmm, sekelas Lalisa saja masih berani berpaling demi sebuah uang.' Leonar sampai tidak sadar jika ia sudah sampai di tangga paling atas di lantai dua. Ia juga tidak menyadari jika sejak tadi orang-orang yang melewatinya selalu memperhatikannya. Menatap aneh Lalisa yang melamun di ujung tangga.
"Leonar!"
Leonar memutar badan. Ia mendapati ayahnya berdiri di hadapannya dengan menenteng satu kresek kantong plastik bertulisakan salah satu brand cake terkenal. Nardo mengangkatnya tinggi-tinggi, memperlihatkan cake itu tepat di depan wajah putrinya. "Kau pasti lapar, kan? Ini adalah kue kesukaanmu. Kau pasti menyukainya, bukan?"
'Rasa Keju.'
Tulisan itu membuat senyum Leonar perlanan memudar. Dia pikir ayahnya benar-benar tahu makanan kesukaannya, ternyata tidak!
'Bahkan sejak kecil aku tidak makan keju.'
"Dengan senang hati aku menerimanya. Terimakasih, Ayah." Leonar mengambil kue itu dari tangan ayahnya. Berusaha untuk tidak mengutarakan apa yang ia rasakan, menahan rasa kecewanya.
"Leonar, Kate bilang kau punya gaun berwarna putih dan sepatu high warna putih juga?"
"Iya, itu adalah gaun pemberian Adolf."
"Kate akan pergi ke pesta malam ini. Dia bilang dia hanya ingin pergi jika menggunakan gaun dan sepatumu."
"Tap-tapi...."
"Pijamkan dahulu gaun dan sepatumu untuk Kate. Dia hanya meminjamnya untuk pesta malam ini saja."
"Tapi Kate punya gaun dan sepatu. Koleksi sepatunya bahkan sangat banyak dan bagus-bagus, Ayah."
"Ya, aku tahu itu! Namun sekarang dia hanya ingin meminjam gaun dan sepatumu. Meminjamkannya pada adikmu sendiri bukan jadi masalah, kan?"
"Tapi Adolf bilang, Leonar tidak boleh meminjamkannya pada siapapun."
"Alah, tidak usah menurut dengan omongan Adolf! Dia itu pria yang pelit! Jangan mau diatur olehnya. Lebih baik kau sudahi saja hubunganmu dengan Adolf. Dia juga miskin tidak punya apa-apa."
"Tapi dia punya cinta yang tulus."
"Kau benar-benar ya, Leonar! Kau pikir kau bisa kenyang dengan cinta? Cinta hanyalah sebuah perasaan, dan perasaan tidak bisa memenuhi kebutuhan realistismu di dunia. Jangan bodoh jadi wanita! Lihatlah Elsa dan Kate! Kakak dan adikmu itu sangat pandai mencari pasangan."
'Tapi, kan memang mereka berdua cantik.'
"Ah, ya aku baru sadar jika kau tidak memiliki paras yang anggun seperti mereka. Sulit bagimu untuk mendapatkan pria yang unggul!"
JLEP!!
'Itu adalah pernyataan terjujur yang paling menyakitkan yang pernah kudengar.'
"Ah, sudahlah! Masih banyak urusanku. Lebih baik ambil gaunmu sekarang. Aku akan menunggunya di sini."