Kedatangan polisi bernama Iqbal itu tak hanya mimpi buruk belaka, melainkan kenyataan pahit yang harus kutanggung sendiri akibatnya. Ia masih dalam posisinya sedia kala, menyandarkan diri pada punggung kursi sambil menatap manusia didepannya penuh curiga.
Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku?
Aku tak berani berkata apa-apa sebelum bibirnya sendiri yang mulai berbicara.
"Malam itu, au ditemukan di UGD dengan luka sayatan pergelangan tangan, sekejap saja terlambat nyawamu sudah melayang,"
Lebih baik begitu - pikirku sendiri.
"Tak ada siapapun yang melihatmu digendong kemari, bagaikan sihir, hebat bukan?"
Ya, dimulai dari sini aku mulai penasaran bahkan oleh diriku sendiri. Jika itu benar terjadi, siapa yang membawaku ke rumah sakit? Tidak, siapa yang sungkan menyelamatkan nyawaku? Mungkinkah... Tidak. Bagaimana bisa orang yang telah jelas-jelas berusaha membunuhku adalah orang yang sama yang tak rela membiarkanku mati.
Iqbal mengangguk hampir tanpa makna,
"Mungkinkah orang yang telah melakukan itu adalah orang yang sama yang menghabisi nyawa Giny Kumalasari?"
Aku tertegun.
"So bad your deduction,"
"Jikalau dia tega untuk membunuh temanmu, bagaimana bisa dia sungkan untuk melepaskanmu? Kecuali, jika ini semua hanya drama yang seolah menempatkanmu menjadi korban,"
Damn!
"Drama? Dengan memotong urat nadiku sendiri? Dasar gila!"
Sengaja kualihkan pandanganku ke sisi tembok agar terhindar dari mata Iqbal yang terus merasuk dalam. Namun, lelaki itu hanya menyunggingkan salah satu ujung bibir sembari mendorong wajahnya kian mendekat.
"Lantas, apa yang sebenarnya terjadi malam itu?"
Dan... akhirnya. Persoalan yang tidak ingin kujawab apalagi kudengar muncul juga. Bulir-bulir keringat dingin mencuri keluar dengan sembrono ditambah bibir yang kelu sukses menjadikanku tak ayal boneka bisu.
Tatapan Iqbal perlahan berubah, dari semula bak manik elang menjadi manik serigala. Senyumnya yang kaku pun tiba-tiba mekar bak tulip belanda mencium musim semi. Ia bangkit dari duduknya, lalu menempelkan tangan di pundak.
"Kau tak perlu khawatir nona Aster, jika bibirmu tak sanggup mengucap kebenaran, biar wku sendiri yang mencarinya," kata-kata itu berakhir diiringi tepukan di bahu kiriku.
Aku melenguh, sesaat setelah polisi tak berseragam itu melangkahi pintu. Andai saja kejadian hari itu tak pernah terjadi, pasti rasa bersalah ini tak pernah singgah sekian tahun lamanya.
***
Kerlipan manja bintang-bintang di langit malam menghibur pandangan orang dalam sudut gelap yang suram. Serbuan angin mengacaukan uraian rambut perempuan yang tergerai. Cahaya purnama tampaknya tak begitu sumringah menuntun penglihatan yang mulai kusam. Berlapis palto kulit coklat dan sepatu bot selutut, aku memberanikan diri melangkahi jalanan yang jauh dari kata ramai.
Di tengah dinginnya malam, kueratkan kembali jemari yang memegang tali tas selempang tua peninggalan kakek buyut. Kalau tidak salah, dua semester sudah setelah kasus tak mengenakan hati itu terjadi. Entah ini kesempatan kedua atau bukan yang jelas aku masih dibiarkan bernapas lagi di bumi. Dan berjanji pada diriku sendiri untuk menemukan alasan mengapa Tuhan memberikan kehidupan kedua ini?
Petikan senar-senar kecapi perlahan menguasai heningnya malam, kurang lebih lima meter dari kakiku berada, seorang seniman sedang beraksi dengan membiarkan topinya menghadap ke angkasa. Aku mendekat.
"Selamat malam," sapaku memulai dengan si tuna netra.
Namun, dentingan itu tak memilih berhenti demi meladeni sapaan murahku. Sembari merogoh isi tas selempang tua, aku merapikan rambut-rambut kecil di sekitar telinga. Tak lama kemudian, dua buah lempengan logam meluncur tepat ke dalam topi yang terbuka.
Aku memilih tersenyum, meski kutahu si seniman tak akan pernah melihatnya. Langkahku kembali beradu dengan kerasnya paving trotoar, beberapa kafe atau resto di depan sana tampaknya masih melayani pelanggan. Tiba-tiba terbesit keinginan yang entah dari mana datangnya memaksaku untuk mampir ke dalamnya. Aku langsung melirik arloji di tangan kiri,
"Jam sepuluh lebih lima," - batinku.
Tanpa pikir panjang kubawa diriku sendiri masuk ke dalam kafe bernuansa oriental. Seperti biasa, pantatku terlanjur mendarat mulus di bangku samping jendela. Meski langit lumayan cerah dengan rembulan dan taburan bintang, tiba-tiba tetesan air menyerbu kaca jendela. Dan seperti biasa, seorang wanita muda berseragam hitam-putih berdiri di sampingku,
"Nona, ada yang bisa kubantu?" tawarnya dengan kedua tangan siap bersama pena dan buku kecil.
Aku beralih dari pandangan luar jendela ke arah wajah porselen si wanita itu. Buku menu sengaja dibiarkan menutup sampai tangan pelanggan sendiri yang membuka. Aku hanya memegangnya.
"Apa masih perlu bertanya?" balasku sembari menggaruk telinga belakang dengan jari paling kecil.
"Tidak ada tambahan?"
Aku mengedarkan pandangan, deretan daftar makanan atau minuman di buku yang kupegang sama sekali tak mencuri perhatian.
"Kucing itu yang beruntung menarikku kemari, bukan karena inginku sendiri,"
Ya, boneka plastik berbentuk kucing yang dicat emas, di balik punggungnya ada ruang rahasia penyimpan baterai. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah menggerakkan tangan ke atas dan ke bawah. Stella, itu nama wanita berseragam hitam-putih yang kini masih berdiri di sampingku, ia selalu beranggapan kalau kucing jadi-jadian seperti itu yang membawa hoki untuk kafe milik ayahnya.
Namun, aku tidak sepenuhnya percaya, kecuali jika benda itu dibuat ulang dengan kemampuan bicara "Hey, mampirlah ke toko majikanku!" mungkin baru masuk akal.
"Baiklah, besok akan kusingkirkan benda itu dari matamu," jengkel Stella sebelum berlalu pergi meninggalkanku sendiri seperti sedia kala.
Keadaan kafe malam itu cukup sepi, hanya ada gerombolan laki-laki di dekat meja kasir dan juga sepasang sejoli di sudut yang lain.
Ya, aku terbiasa sendiri. Tak lama kemudian, tetesan air di jendela itu kian memudar karena gerimis berubah menjadi hujan. Beruntung ada atap yang melindungi selagi guyuran air itu menghantam tanah bumi.
"Benar juga, kucing itu sengaja menuntunku kemari," - batinku dalam hati.
Udara lembap bawaan air hujan mengalir masuk memenuhi setiap sudut ruangan, rambut yang sengaja tergerai tampaknya cukup membantu mengurai kedinginan. Dan orang-orang baru bergerombol masuk dengan rambut, baju, serta wajah yang agaknya sudah terlanjur basah.
Sialnya, gemericik hujan di luar sana melahapku habis dalam lamunan hingga sentuhan cangkir yang membakar kulit membuyarkan semuanya.
"Ini tehmu, kelihatannya orang-orang itu mengikuti jejakmu," ucap Stella dengan mata berbinar melihat calon mangsanya berdatangan.
"Hmm, jadi kau tidak perlu menyingkirkan kucing itu,"
Wanita dengan rambut dikuncir kuda itu langsung mendekati pelanggan dadakan satu per satu. Kuperhatikan kedua tangannya, memang dasar sudah terlatih cekatan sejak lama.
Setelah satu sesapan, gemericik hujan itu sengaja menyihirku lagi, kali ini bukan untuk lamunan kosong melainkan putaran memori beberapa bulan yang lampau. Di kafe ini, di bangku yang sama, di malam hujan dengan suasana yang sama, hanya saja aku tidaklah sendiri. Ada seseorang di hadapanku, seorang yang matanya selalu merasuk dalam padaku, seseorang yang hingga kini tak pernah kucari tahu keberadaannya.
Biarlah semesta menyembunyikannya dengan tenang untuk sementara, karena aku yakin takdir pasti akan mempertemukan Kita seperti sedia kala.
#bersambung#