"Dia itu maksudnya siapa pak?" tanyaku dengan ragu.
"Laki-laki kekar yang memakai keris." jawab Ayahku dengan pelan.
Aku diam sejenak, mencoba menelaah bahwa ternyata Ayahku bisa melihat makhluk astral.
Walau merasa ragu, aku akhirnya membalas perkataan ayahku.
"Hmmmm, iya pak, Rama bisa ngelihat dia." ucapku dengan pelan.
"Tapi, apa bapak bener-bener bisa ngelihat makhluk halus?" tanyaku untuk memastikan.
Tetapi Ayahku tak menghiraukan ucapanku dan malah menanyaku balik, "Sejak kapan kamu bisa ngelihat mereka?" ucap Ayahku dengan tatapan yang serius.
"Awal-awal masuk kuliah aku baru mulai bisa ngeliat mereka pak." jawabku.
"Hmmm, jadi gimana perasaanmu? Masih bisa nyaman atau tidak?" tanya Ayahku masih dengan tatapan matanya yang tampak sangat serius.
"Waktu awal pertama kali bisa lihat, memang rasanya susah buat adaptasinya. Apalagi kalo ngeliat wujud mereka yang jelek dan hancur. Tapi untuk saat ini sih aku udah terbiasa, jadi udah gak begitu masalah lagi." jelasku
Mendengar jawaban dariku, tampak raut wajah Ayahku yang sangat heran, hingga dia pun bertanya "Emangnya kamu udah bisa ngekontrol mata ketigamu?"
Aku tak mengerti kenapa wajah Ayahku tampak sangat heran seperti itu. "Apa yang kualami ini terasa sangat tidak wajar?" tanyaku dalam hati.
Lalu aku menjawab pertanyaan Ayahku dengan pelan, "Iya pak, makanya tadi sengaja aku aktifin karena penasaran."
Ayahku tampak berpikir sejenak sambil mengelus-elus dagunya, lalu dia berkata "Kalo kamu masih ga nyaman, bapak mau coba nutup mata ketiga kamu lagi."
"Ha? Emangnya bisa? Dan kok pake lagi? Emangnya mata ketigaku pernah ditutup?" tanyaku bertubi-tubi karena merasa sangat terkejut dan bingung.
"Dulu waktu kamu masih umur empat tahun, bapak sama eyang sempat nutup mata ketiga kamu. Soalnya dulu kamu itu sering ngelamun dan suka dideketin sama makhluk-makhluk halus." jawab Ayahku
"Tapi kok aku ga ingat sama sekali ya?" tanyaku yang merasa semakin bingung.
"Mungkin efek dari mata ketigamu yang ditutup, memori kamu kayaknya juga jadi ikut lupa." jelas Ayahku.
"Terus kalo bapak, sejak kapan bisa ngelihat makhluk halus?" tanyaku penasaran.
"Sudah bawaan lahir, tapi bapak ga suka dan ga berminat buat nerusin tugasnya eyangmu." ucap Ayahku dengan tatapan mata yang kosong.
Entah kenapa, aku merasa ada suatu penyesalan dan kesedihan saat Ayahku mengucapkan perkataan itu.
Lalu Ayahku lanjut berbicara, "Sebenarnya eyang kamu itu dulunya orang yang dihormati didesa. Soalnya eyang kamu itu sering bantu dan ngobatin orang-orang yang butuh bantuan. Entah itu dari penyakit fisik atau penyakit yang berhubungan sama ghoib."
"Kemampuan eyangmu itu sebenarnya udah turun temurun dari nenek moyang. Tujuannya untuk nugasin keturunannya sebisa mungkin mengabdi dan membantu orang lain yang kesusahan. Dan Kemampuan itu juga akhirnya menurun juga ke bapak."
Ayahku menghela nafas sejenak, lalu melanjutkan ceritanya, "Tapi dulunya waktu bapak masih muda, bapak gak suka dan gak mau nerusin tugas itu. Karena bapak gak suka sama pandangan teman-teman dan orang lain yang menganggap kalau eyangmu itu adalah dukun. Bapak juga gamau nantinya dipanggil orang-orang dengan sebutan dukun. Karena dulu bapak cuma mau hidup normal kayak orang lain, tanpa harus dicap dengan panggilan dukun."
"Emangnya eyang pernah minta bapak buat nerusin tugasnya?" tanyaku memotong pembicaraan.
"Pernah satu kali, tapi bapak langsung nolak dengan keras. Makanya setelah itu Eyangmu ga pernah minta dan nanya lagi tentang itu." jawab Ayahku pelan.
Mendengar ucapan Ayahku membuatku teringat dengan sosok Eyang yang sangat lembut, baik itu saat berbicara ataupun bersikap. Sosok Eyang yang selalu tersenyum dan selalu berusaha menghiburku. Aku masih bisa ingat semua tentang Eyang, dimana dulunya aku selalu meminta uang untuk membeli jajanan disaat Eyang datang berkunjung. Ada juga dikala Eyang selalu menegur orangtuaku saat mereka sedang memarahi dan ingin memukulku.
Mengingat semua memori itu, membuatku spontan berkata, "Apa bapak gak merasa nyesal?" tanyaku pelan.
"...." Ayahku hanya diam membisu lalu memejamkan kedua matanya.
Melihat respon ayahku yang tampak sedih, aku pun berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
"Kok dari dulu bapak gak pernah cerita kalo bisa ngeliat makhluk halus?" tanyaku.
Ayahku perlahan membuka kedua matanya, lalu berkata "Ya karena sebenarnya bapak ga suka berurusan sama yang ghoib-ghoib. Bapak cuma mau hidup tenang kayak orang pada umumnya. Lagian menurut Bapak kemampuan ini bukanlah hal yang spesial dan patut dibanggakan." jelas Ayahku datar.
Mendengar ucapan dari Ayahku membuatku bingung, sebab aku merasa kemampuan dan indra keenam itu adalah sesuatu hal yang spesial hingga banyak orang yang ingin mendapatkannya. Tapi di sisi lain aku juga merasa bahwa sejak memiliki kemampuan ini, aku mulai menghadapi banyak masalah yang memaksaku keluar dari zona nyamanku.
"Hmmm, terus laki-laki mirip raksasa yang jagain bapak itu sebenarnya siapa?" tanyaku lagi, karena masih penasaran akan kemampuan Ayahku.
"Khodam turunan yang udah ngikut sejak lahir. Sama kayak ular merah yang ngikutin kamu." jawabnya dengan santai seraya menatap ke layar televisi.
Aku terkejut mendengar jawaban Ayahku, sebab aku tak menyangka dia mengetahui eksistensi pria berjubah merah yang mengikutiku. Aku menjadi makin penasaran, sebab sepertinya Ayahku memahami dan menyembunyikan banyak hal yang tak kuketahui.
"Ular merah yang bapak maksud itu sebenarnya asalnya darimana dan ditugasin sama siapa pak?" tanyaku dengan penuh harapan.
"Kamu cari tahu sendiri aja, Bapak mau nonton tv dulu." jawab Ayahku dengan nada yang tak tertarik.
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku saat mendengar respon dari Ayahku. Sepertinya Ayahku sebenarnya tahu jawabannya, tetapi dia tak ingin memberitahuku.
Di sisi lain, aku juga tak ingin memaksanya untuk memberitahuku, sebab aku mengerti sifatnya yang sangat keras kepala. Jika mengutarakan sesuatu, Ayahku pasti akan memegang ucapannya dan tidak akan mengubah pikirannya dengan mudah. Oleh sebab itulah aku tak ingin memaksanya, sebab tak ada gunanya dan yang ada malah aku akan terkena omelan panjang nantinya.
Dengan terpaksa aku harus mengubur rasa penasaranku dalam-dalam. Aku pun menyerah dan langsung berniat pergi masuk ke dalam kamar.
Baru beberapa langkah kupijakkan, Ayahku tiba-tiba berkata, "Jangan pakai buat yang gak bener."
Mendengar ucapan Ayahku membuatku tertegun sejenak. Lalu melanjutkan langkahku menuju kamar dalam diam.
***
Tak terasa, hari demi hari pun mulai berlalu dengan cepat. Selama di rumah, aku tak begitu banyak berkomunikasi dengan orangtuaku. Kami hanya berkomunikasi dan berinteraksi seadanya saja, sama seperti hari-hari biasanya.
Sampai akhirnya tibalah hari dimana aku akan mengikuti Putra untuk menangani pasiennya yang katanya terkena santet. Seperti yang kemarin dikatakannya, dia yang akan menjemput langsung ke rumahku.
Sebelum dia datang, dia sudah mengirimkan pesan agar aku bersiap-siap sebab dia akan segera berangkat. Sementara itu, sebenarnya aku sudah lama bersiap-siap dan tinggal menunggunya datang saja.
Saat dia tiba, aku langsung izin pamit ke kedua orangtuaku untuk pergi keluar. Dan tentu saja mereka mengizinkannya dengan mudah, sebab dari dulu mereka tidak pernah mengekangku sama sekali. Aku merasa orangtuaku memberiku kebebasan penuh untuk melakukan aktivitas yang kuinginkan, sebab tampaknya mereka sangat percaya akan diriku.
Tanpa memakan waktu yang lama, aku langsung keluar rumah dan memasuki mobil yang digunakan Putra. Disepanjang perjalanan, kami hanya berbicara basa-basi dan bercanda seadanya saja. Bisa dibilang aku lumayan cocok akan sifatnya, sebab walaupun dia lebih tua, dia tetap bersikap ramah layaknya teman sebaya.
"Gimana kabarnya? Sehat?" tanya Putra sebagai basa-basi
"Sehat kok, omong-omong lokasi pasiennya jauh dari sini Put?" balasku
"Nggak terlalu jauh kok, yang penting nantinya disana lo harus tenang dan waspada aja OK?" jawab Putra
"Oh, oke." balasku dengan singkat
Setelah melewati perjalanan yang cukup lama karena macet, akhirnya kami sampai disebuah perumahan yang tampak cukup elit. Sebelum masuk, Putra harus izin dan ditanyai terlebih dahulu oleh satpam yang menjaga gerbang masuk disana. Tak memakan waktu yang lama, setelah diarahkan oleh satpam akhirnya kami sampai didepan rumah yang tampak cukup mewah.
Tanpa basa-basi, Putra langsung menelpon pasien yang dimaksudnya dan mengatakan bahwa kami sudah sampai didepan rumahnya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya seorang pria paruh baya yang mengenakan kacamata membuka pintu rumah dan mempersilakan kami berdua masuk ke dalam rumah.
Sebelum masuk ke dalam rumah, aku sudah terlebih dahulu mengaktifkan mata ketigaku untuk mengecek keadaan dan kondisi rumah pasien tersebut. Jika dilihat dari luar, memang tampak aura dan kesan gelap yang terpancar dari rumahnya. Disekitarnya hanya ada beberapa sosok-sosok hantu liar seperti mbak kunti dan om gondo yang sedang berkeliaran. Aku belum melihat sosok-sosok dominan yang memang bertujuan mengganggu dan menyerang penghuni rumah tersebut.
"Kenalin pak, ini Rama temen yang saya minta ikut buat bantuin." ucap Putra dengan ramah
"Salam kenal pak." ucapku dengan seramah mungkin lalu menjulurkan tanganku kearahnya.
"Salam kenal juga mas, nama saya Agus. Silakan duduk dulu mas." balasnya sambil tersenyum dan menyalam tanganku.
Kami langsung duduk di ruang tamu sambil melihat dan memperhatikan sekitar rumah secara perlahan. Sementara itu, Istri pak Agus datang dan langsung menyuguhkan kami makanan serta minuman. Putra pun mulai berbicara basa-basi dengan pak Agus dan istrinya, hingga pada akhirnya pak Agus mulai menanyakan tentang kiriman ghoib.
"Jadi gimana mas, apa masnya ngeliat sesuatu yang gak beres?" tanya pak Agus
"Sebentar ya pak, saya cek semuanya dulu." balas Putra lalu memejamkan matanya.
Selagi Putra memejamkan mata dan menerawang kondisi rumah pak Agus, aku juga mencoba untuk fokus merasakan sensasi energi negatif yang menyelimuti rumah ini. Sebab dari tadi aku tidak melihat wujud makhluk yang sedang mengganggu rumah ini, sepertinya dia bisa menyembunyikan keberadaannya dengan sangat baik.
Sementara itu, pak Agus dan istrinya cuma duduk diam dan memandang kami dengan tatapan penuh harap. Sepertinya selama ini mereka benar-benar sangat terganggu dan tersiksa akan santet kiriman dari orang yang tak mereka kenal.
Perlahan-lahan aku mulai memejamkan mataku dan terhanyut dalam sensasi, aku mulai merasakan hawa negatif yang makin lama semakin membesar. Hingga tiba-tiba aku melihat sosok makhluk berbentuk manusia dengan warna kulit berwarna merah, seluruh tubuhnya bersimbah darah, tatapan matanya yang ganas tampak sangat mengerikan. Aku memperhatikan darah yang secara perlahan-lahan menetes dari sekujur tubuhnya.
Dia menatap kearah pandanganku dengan senyum berseringai di mulutnya, hingga tiba-tiba dia pun tertawa dengan suara yang berat secara histeris. Aku merasa entitas ini adalah makhluk yang sangat haus darah dan ganas, tampak dari wujud dan sikapnya yang sangat eksentrik.
Perlahan aku membuka kedua mataku dan langsung melihat Putra yang masih memejamkan matanya. Karena sudah melihat wujud entitas tadi, aku mulai bisa merasakan keberadaannya yang berada di sebuah ruangan disamping kami. Aku tak tau itu sebenarnya ruangan apa, jadi aku memutuskan untuk menanyakannya ke pak Agus.
"Pak, ruangan yang itu ruangan apa ya?" tanyaku sambil mengarahkan jariku ke suatu pintu.
"Itu ruangan kamar saya mas, emangnya ada apa ya?" balas pak Agus dengan raut wajah curiga.
"Hmmmm, nanti tunggu mas Putra yang ngomong saja pak." ucapku setelah berpikir sejenak, sebab aku tak mau mendahului Putra.
"Oh ok mas Rama." balas pak Agus dengan pelan.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Putra membuka kedua matanya yang sejak tadi terpejam. Dia mulai menggelengkan kepalanya sambil memasang raut wajah yang serius. Sementara itu, melihat reaksi dari Putra membuat pak Agus dan istrinya tampak menjadi gelisah dan ketakutan. Perlahan akhirnya mereka memberanikan diri untuk bertanya kepada Putra.
"Gimana mas Putra? Sebenarnya ada kiriman apa ya?" ucap pak Agus dengan nada pelan.
"Saya ngeliat ada kiriman berupa makhluk yang tujuannya bukan ngeganggu aja pak, ini soalnya bahkan sampai ingin mengambil nyawa." ucap Putra secara perlahan
Mendengar ucapan Putra membuat raut wajah pak Agus dan istrinya semakin ketakutan.
"Jadi solusinya harus bagaimana mas Putra? Soalnya saya sudah panggil beberapa paranormal tetapi hasilnya tetap nihil." ucap pak Agus dengan lesu.
"Begini saja pak, sekarang kita berdua coba bantu buat ngusir makhluk yang nyerang keluarga bapak. Habis itu kita masang pagar ghoib supaya kirimannya gak bisa masuk lagi. Tapi yang paling penting saya akan lacak dulu siapa yang ngirim, supaya masalahnya kelar sampai akar-akarnya." jelas Putra secara perlahan-lahan.
"Baik mas, apa ada peralatan atau kebutuhan yang perlu disiapkan mas?" tanya pak Agus
"Saya sudah bawa perlengkapan sendiri, yang penting jangan biarin orang lain masuk dulu pak, terus jangan ada yang bikin keributan supaya kami bisa fokus." jawab Putra
"Oke mas, silakan jika mau dimulai." ucap pak Agus dengan pelan.
"Iya pak." ucap Putra dengan singkat.
Putra mulai mengambil posisi duduk bersila dilantai lalu mengeluarkan pusaka-pusaka yang dibawanya dari dalam tas. Dia mengeluarkan beberapa jenis pusaka, mulai dari golok, cincin batu akik, serta taring dan kulit harimau. Perlahan dia mulai berkomat-kamit dengan suara pelan sambil mengucapkan mantra yang tak kumengerti artinya.
Ketiga harimau yang dimilikinya tiba-tiba muncul dengan tubuh yang seperti diselimuti api yang membara. Tidak berhenti disitu saja, ternyata muncul seorang pendekar yang kekar dan berwajah sangar. Kulihat matanya tampak sama persis dengan pupil mata seekor harimau. Diwajahnya juga ada beberapa tato yang membuatnya tampak mirip seperti harimau loreng. Secara keseluruhan, bisa dibilang dia tampak seperti perpaduan antara manusia dan harimau. Aura yang dikeluarkannya terasa sangat tajam, hingga membuat orang yang bisa merasakan dan melihat wujudnya pasti akan merasa terancam.
Sementara itu, disampingku berdiri Lala yang sudah siap siaga sejak tadi. Sebenarnya aku merasa pasukan Putra sudah sangat kuat, tapi mengingat makhluk yang berada di kamar sana, aku tak berani membiarkan diriku untuk merasa lengah sedikitpun.
"KHAKHAKHAHKA!!!"
Tiba-tiba muncul suara tawa mengerikan. Suara tawa layaknya seseorang yang tenggorokannya sedang tercekik. Beberapa saat kemudian, makhluk yang kami nanti-nantikan sejak tadi akhirnya muncul juga.
Tapi masalahnya adalah bahwa dia tidak muncul sendirian, dia muncul dengan pasukannya yang memiliki wujud persis mirip dengannya. Yaitu wujud manusia berkulit merah yang bersimbah darah.
Perlahan-lahan bau busuk dan amis memenuhi ruangan yang kami tempati, mungkin dikarenakan efek dari jumlah mereka yang sangat banyak. Aku melihat mereka sudah memenuhi ruangan ini dengan posisi yang sedang mengelilingi kami semua.
Untungnya Putra sudah memasang pagar ghoib kepada pak Agus dan istrinya sebelum kami memulai pertarungan ini. Sehingga kami bisa lebih fokus dan leluasa untuk melakukan perlawanan.
"Pergi sekarang juga dan jangan ikut campur urusan kami." bentak pemimpin dari makhluk-makhluk itu.
"Siapa yang menyuruh kalian untuk menyerang keluarga ini?" tanya Putra dengan nada yang tenang.
Makhluk itu tak menjawab pertanyaan dari Putra, dia hanya tersenyum menyeringai lalu tertawa dengan sinis. Dia menatap Putra dengan tatapan yang mengerikan, aku merasa makhluk itu benar-benar haus akan darah. Lalu tanpa basa-basi, makhluk itu mengarahkan jarinya keposisi kami. Dalam seketika, para pasukannya pun langsung bergerak menerjang kami sambil tertawa dan berteriak secara histeris.
"Terpaksa kita harus perang Ram." ucap Putra sambil menghela nafas.
Aku hanya menggelengkan kepalaku sambil melihat khodam Putra yang sedang menghadang semua pasukan lawan.
"Lala, tolong bantu aku untuk melawan mereka." ucapku didalam batin.
Bersambung....