Di tengah hutan Death Valley, seorang lelaki dengan rambut putih keabuan dan mata kuning keemasan memandangi kursor kedap kedip di layar ponselnya.
[Nama : … ]
Ponsel tersebut menunggunya untuk segera memberikan nama untuk toko dalam permainan yang baru saja didapatkan.
Lelaki tersebut, Cien, memandangi kursor tersebut dengan tatapan kosong. Di tengah hutan yang sangat mematikan di mana monster-monster bisa saja menerkamnya kapan saja, dia harus berdiri kebingungan menentukan nama untuk permainan ponsel.
Dihadapkan pada permasalahan nama, Cien tidak tahu harus mengetikkan nama apa!
Mungkin dia bisa saja memberikan asal nama, tapi dirinya tidak nyaman jika memberikan nama yang asal-asalan, walaupun itu hanya untuk sebuah permainan ponsel.
Pada akhirnya, Cien mengeluarkan napas panjang. Tiba-tiba disuruh menuliskan nama, sungguh membuat pikirannya kosong. Setelah beberapa saat, akhirnya Cien mengetikkan nama pada layar ponsel.
[Nama : Kirana]
[Ya/Tidak]
Cien tidak pikir panjang lagi, langsung menekan tulisan ya.
Ding!
[Memulai persiapan aplikasi, mohon tunggu!]
Pada layar ponsel, Cien kembali melihat bar yang tampaknya sedang memproses sesuatu.
'Kirana…'
Pikirannya lalu membayangkan gadis kecil pemilik nama tersebut. Gadis yang merupakan putrinya, yang sudah sepuluh tahun ini tidak pernah ditemui.
Cien mengingat betul akan kehidupan masa lalunya sewaktu berada di Bumi. Tapi, umurnya ketika dia meninggal di sana hanyalah 24 tahun. Sedangkan di dunia ini, dia telah hidup selama 43 tahun.
Jadi sesungguhnya, saat ini Cien lebih merasakan kalau hidupnya di Bumi sekadar mimpi sesaat. Dan hidupnya di sini lebih mempengaruhinya, oleh karena itulah, rasa rindunya kepada istri dan putrinya tidak hilang sama sekali walaupun dia tahu kalau dirinya adalah seorang reinkarnator.
"Sigh~"
Cien kembali menghembuskan napas panjang, meratapi hidupnya saat ini. Walaupun kondisi tubuhnya telah kembali prima. Hal ini tetap tidak akan membuatnya dapat keluar dari tempat terkutuk Death Valley ini.
Ding!
Suara pemberitahuan ponsel kembali terdengar. Cien mengangkat ponselnya, melihat pada layar halaman utama hanya terdapat satu ikon.
Ikon tanpa nama dengan gambar sebuah rumah kayu.
Cien mengerutkan keningnya, jarinya mencoba menggeser-geser layar untuk melihat akan hal lain yang ada di dalam ponselnya.
Namun nihil. Tidak ada apa-apa!
Ponsel tersebut mempunyai fitur kamera, tapi tidak ada aplikasi yang bisa menjalankannya! Mau menggeser ke pengaturan layar pun tidak ada!
"Ponsel murahan macam apa ini?"
Bzzt!
"Agh!"
Seperti mendengar keluhan darinya, ponsel itu tiba-tiba mengeluarkan aliran listrik yang menyetrum dan membuat Cien kembali menjatuhkan ponselnya ke tanah.
"…"
Cien memandangi tangan kanannya yang tersetrum, tangannya terasa mati rasa. Dia lalu mengalihkan pandangan ke ponsel yang tergeletak di tanah.
Setelah sekian detik melihat ponsel itu hanya terbaring tidak berdaya. Dia pungut kembali ponsel dengan hati-hati. Membalikannya dan melihat layar yang masih menyala, menunjukkan satu ikon aplikasi permainan yang dia dapatkan.
Sungguh, Cien ingin mematikan ponselnya dan berpindah dari tempatnya saat ini. Dia berdiri di tempat yang sangat berbahaya, sangat beruntung sekali selama sepuluh hari terakhir ini tidak ada monster yang menyantapnya.
Namun, melihat aplikasi di layar tersebut. Rasa penasaran mengalahkan rasa keinginannya untuk segera bergerak ke tempat aman.
Ibu jarinya menekan ikon aplikasi permainan pada layar.
Dan hal pertama yang keluar setelah dia tekan adalah suatu perintah baru.
[Pindai satu bangunan yang akan dijadikan tokomu!]
"Huh? Pindai?"
Di bawah tulisan instruksi itu, terdapat ikon kamera. Cien menekan ikon tersebut, dan kamera pun menyala.
"Oooo!"
Cien agak takjub, karena dia benar-benar bisa menggunakan kamera pada ponselnya. Sebuah teknologi kamera di dunia fantasi! Walaupun dirinya sudah biasa akan kamera ponsel di dunia sebelumnya, namun di dunia ini, dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang cukup bangga akan teknologi.
Cien lalu mengarahkan kamera ke salah satu pohon yang tidak jauh ada di sampingnya. Setelah dia arahkan tepat pada pohon tersebut, ponselnya secara otomatis memindai hal yang direkam.
[Tidak cocok dijadikan bangunan toko.]
Mata kanan Cien berkedut-kedut membaca tulisan yang ada di layar.
'Memangnya siapa yang mau menjadikan pohon sebagai toko?!'
Cien mengeluh di kepalanya, lalu memijit-mijit jidatnya yang mulai terasa pusing. Dia mencoba memproses kembali intruksi yang diberikan oleh aplikasi pada ponsel.
Memindai sesuatu yang merupakan bangunan. Ada poin penting yang baru disadari setelah mengingat kembali instruksi tersebut.
Poin di mana toko yang ada dalam permainan ponselnya harus memindai bangunan dalam dunia nyata.
Banyak hal yang muncul di pikiran Cien saat ini. Kemungkinan pertama yakni toko dalam permainan akan memakai desain bangunan yang ada dia pindai. Lalu kemungkinan kedua, bangunan yang dia pindai nanti akan benar-benar menjadi toko yang akan dimainkannya dalam dunia nyata.
Sebagai reinkarnator, tentu Cien pernah membaca dan menonton beberapa cerita tentang tokoh yang bereinkarnasi di dunia fantasi. Satu kesamaan dari para tokoh tersebut adalah mereka mempunyai kemampuan luar biasa yang diberikan oleh dewa atau dewi.
"Kalau tidak salah sebutannya itu… cheat? Golden finger? Hack?"
Cien lalu memandangi kembali ponsel yang ada di tangannya. Mengingat cerita-cerita fiksi tersebut, dia yakin kalau ponsel yang telah ada sejak dia masih bayi tersebut merupakan cheat yang dimilikinya.
Tapi…
'Pemilik toko… seriusan?'
Cien menggelengkan kepalanya. Dia masih belum bisa menentukan nilai dan tujuan dari ponsel yang dimilikinya.
Untuk saat ini dia harus mencari bangunan yang bisa dia pindai agar dapat menyelesaikan instruksi aplikasi. Dan untuk itu, dia tahu tempat yang cocok untuk dipindai.
Tempat yang dibuat oleh jerih payah tangannya sendiri dan menjadi rumah berteduh selama dirinya terjebak selama sepuluh tahun di Death Valley.
Cien memutuskan untuk segera kembali ke gubuk yang dibuatnya. Dia lalu meraba-raba permukaan ponsel mencari tombol untuk mematikan layar. Namun, dia tidak menemukan tombol itu sama sekali.
"Bagaimana caraku mematikan layar ini?"
Seperti menjawab pertanyaannya, pada layar ponsel tiba-tiba muncul instruksi kecil baru. Instruksi yang menyuruhnya menekan simbol home selama tiga detik yang ada di bawah layar.
Cien melakukan sesuai instruksi dan layar pun berhasil padam. Dia masukkan ponsel ke saku celananya yang usang dan dengan tenaga yang telah segar, dia mulai berjalan kembali ke tempat tinggalnya.
Daerah yang dilewatinya merupakan daerah yang sudah familiar. Sehingga Cien dengan mudah menentukan arah letak di mana gubuknya berada.
Sesekali ketika berjalan, Cien akan bersembunyi di semak-semak, balik bebatuan, balik pohon, bahkan menguburkan dirinya di dalam tanah, bila dia mendengar suara monster yang cukup dekat darinya.
Bertahan hidup selama sepuluh tahun di tempat terkutuk itu membuat Cien menjadi petualang hutan yang cukup handal.
Dia tahu kapan harus bersembunyi, berlari, mencari jalan yang aman dari kondisi alam sekitar, dan tentu saja mencari makan dan minum di tempat terkutuk tersebut. Peristiwa sepuluh hari lalu di mana dia diserang oleh monster rank lima bisa dikatakan suatu kesialan semata.
Saat itu Cien terpeleset di batu yang licin dan menyebabkan dirinya tidak sadarkan diri selama beberapa menit. Ketika dia membuka matanya, dia melihat dua mata yang melihatnya sebagai santapan makan siang.
Cien beruntung bisa berhasil kabur, namun dengan bayaran kedua kakinya patah akibat serangan monster tersebut.
Butuh waktu sekitar dua jam sebelum akhirnya Cien sampai di tempat gubuk buatannya berada. Dia tidak tahu letak tepat gubuknya itu berada di dalam Death Valley, walaupun sudah sepuluh tahun di tempat menyeramkan itu, Cien tidak pernah berani menyusuri Death Valley secara keseluruhan.
Namun, Cien tahu, kalau pada arah tenggara gubuknya berada. Sekitar tiga hari perjalanan, dia bisa keluar dari Death Valley. Cien tahu karena pada awal jatuh kemari, dia berusaha mencari jalan keluar.
Dia berhasil menemukannya, hanya saja, suatu lapisan penghalang menghentikan langkahnya untuk keluar dari Death Valley.
Entah mengapa, dia sama sekali tidak bisa keluar dari sini. Seperti ada sesuatu yang menghalanginya. Bukan itu saja, bila dalam dua minggu dia berada jauh dari letak gubuknya. Suatu tarikan misterius akan menarik tubuhnya dengan cepat dan membawanya kembali ke letak tempat tinggalnya ini berada.
Cien merasa dirinya bukan saja terjebak, tapi juga terkurung di sini.
Cien mendekati gubuknya yang terbuat murni dari susunan batang kayu. Gubuk itu berada di tanah datar yang ditutupi oleh rindangan pohon yang menutupi cahaya matahari. Tepat berada di belakang gubuk, sekitar seratus meter jaraknya, terdapat sebuah gua kecil.
Melihat gubuk yang semakin reyot termakan waktu, Cien hanya bisa tersenyum masam mengingat betapa susah payahnya dia membangun tempat itu dari nol.
Dia keluarkan ponsel dari sakunya lalu menyalakan kamera dan memindai bangunan gubuk kecil yang dibuatnya.
Ding!
[Bangunan berhasil dipindai. Jadikan bangunan sebagai toko?]
[Ya/Tidak]
Cien menekan 'Ya' tanpa segan.
[Dikonfirmasi. Memulai perenovasian toko, harap tunggu sebentar!]
Tiba-tiba dari arah depan, suatu cahaya yang silau membutakan matanya. Dia halangi sinar tersebut dengan tangannya, lalu mengintip akan peristiwa yang terjadi dari sela-sela jarinya. Sayangnya dia tidak bisa melihat apa-apa. Hanya sinar yang menyilaukan mata yang bisa dilihatnya.
Cien melirik ke layar ponselnya, melihat proses bar pada layar akan segera selesai.
Ding!
[Perenovasian selesai!]
Seiring dengan nada pemberitahuan dari ponsel, cahaya pun meredup. Cien menurunkan tangannya, dan terkejut dia ketika melihat gubuk kecil reyotnya, kini telah berubah menjadi bangunan besar seperti sebuah kabin mahal dengan plang 'Toko Kirana' menggantung di depan kabin tersebut.
Dengan tatapan kosong dan mulut agak menganga, Cien memandangi tempat tinggal barunya. Kabin dengan tinggi dua lantai dan besar yang sekiranya empat kali lebih besar dari gubuk kecil dua ruangan yang dibuatnya.
'Toko Kirana…'
Sebuah plang dari kayu menggantung berayun dari atap teras, memberitahukan pengunjung akan nama tokonya.
Hanya saja…
Bak!
Cien membanting ponselnya ke tanah dengan keras.
"Toko di Death Valley?! Apa kau bercanda? Siapa orang gila yang bakal belanja di sini?!"
Huff… huff… huff…
Dadanya kembang kempis dengan cepat. Dia bersyukur mendapatkan tempat tinggal yang lebih nyaman, tetapi menjadikan tempat itu sebagai toko? Cien merasa kalau Tuhan sedang mempermainkannya.
Selama sepuluh tahun dia terjebak di Death Valley, dia masih bisa menghitung jumlah orang yang ditemuinya dengan sepuluh jari di tangan. Oh, kurang tepat, lima jari di satu tangan.
Ya, Cien hanya pernah bertemu dengan lima orang. Dua orang ditemuinya sepuluh tahun lalu, ketika dia pertama kali pergi ke perbatasan Death Valley. Setelah tahu kalau dirinya tidak bisa keluar, Cien diam di perbatasan menunggu orang untuk datang menolongnya.
Dua orang datang, dan berjanji akan membawa bantuan dari guild. Tapi, sayangnya sebelum bantuan itu datang, Cien sudah ditarik oleh rantai tidak terlihat di tubuhnya dan ditarik ke tempat tinggalnya.
Sejak saat itu, dia tidak pernah bertemu dengan dua orang itu lagi.
Ketiga orang lainnya, Cien temui sewaktu dia berburu makanan di sekitaran gubuknya. Tiga orang yang merupakan adventurer dari guild. Ketiga orang itu tersesat di Death Valley, namun alasan mengapa mereka ada di sana tidak pernah Cien tanyakan. Dia tidak terlalu peduli.
Cien memberi tahu rute keluar dari Death Valley namun dengan syarat kalau mereka harus membawakan pesan darinya kepada keluarganya di Kerajaan Westya. Ketiga adventurer itu menerima permintaan Cien.
Namun ayal, sekitar dua minggu kemudian ketika dia menelusuri hutan untuk melihat situasi di sekeliling gubuknya. Hanya berjarak sekitar tiga jam dari gubuk, dia menemukan mayat ketiga adventurer yang telah membusuk.
Jadi, lima orang yang ditemui selama sepuluh tahun. Dua tiada kabar, tiga mati.
"Mm, percuma membangun toko di sini."
Cien memungut kembali ponselnya, dengan perasaan yang melankoli. Sudah tidak bisa ditarik kembali putusannya memindai gubuk. Yang sudah terjadi, biarlah terjadi, dia hanya harus hidup dengannya.
Cien amati ponselnya yang tadi terbanting keras. Tidak ada goresan sedikitpun di permukaan tubuh ponsel. Dia lalu melihat layar yang kini sudah tidak lagi hanya menunjukan tulisan dan proses bar.
Terdapat gambar bagian depan tokonya dengan gaya animasi dan beberapa ikon yang menghiasi. Melihat tampilan baru di layarnya, dia langsung tahu kalau ini adalah halaman utama dari permainan tokonya.
Terdapat empat ikon yang berada di bagian paling bawah layar. Empat ikon itu adalah; Toko, inventori, resep, dan kotak hadiah.
Pada bagian kanan terdapat tiga ikon, yaitu status, achievement dan kamera. Sedangkan pada bagian kiri terdapat satu ikon, yakni kalender.
Di bagian atas layar, terdapat simbol koin berwarna perak kebiruan dengan angka 14 di samping simbol koin tersebut. Melihat hal itu, Cien langsung menyadari kalau simbol itu menandakan mata uang yang dipakai di Benua Kastia. Koin Tia. Dan 14 adalah jumlah koin yang dimilikinya sekarang.
Jumlah yang tidak pernah berubah sejak dia terjebak selama sepuluh tahun. Koin yang dimilikinya sama sekali tidak berguna di Death Valley.
Cien ingin melihat fungsi detail dari setiap ikon yang ada di halaman utama. Namun, dia menahan keinginannya, dan memilih untuk melihat dahulu rumah atau toko barunya.
Sembari tetap memegang ponsel, Cien berjalan mendekati tempat tinggal barunya.
Bagian bawah toko, setinggi perutnya dibangun dari bebatuan. Bagian atasnya terbuat dari kayu, dan gentengnya terbuat dari tanah liat.
Cien meraba permukaan kayu pada dinding depan rumah, sangat halus dan bersih. Dia sungguh tidak percaya, kabin sebagus ini bisa muncul begitu saja dari gubuk jeleknya.
Cien lalu membuka pintu dan memasuki kabin.
Baru masuk, Cien mendapati sebuah ruangan luas dengan etalase kaca yang ditata bagai huruf 'U' dengan rak-rak kayu berada tidak jauh di belakang etalase. Sekadar melihat tata ruang di depannya saja, matanya sudah mulai berkedut-kedut.
"Ini benar-benar sebuah toko."
Dia mendesah pelan, harus kembali menerima kenyataan akan toko di tengan hutan terlarang. Dia lalu masuk berjalan melihat seluruh isi toko barunya.
Pada lantai pertama selain bagian toko, bila masuk ke pintu di sebelah kiri yang ada di balik etalase, maka dia akan masuk ke sebuah lorong dengan tiga pintu. Satu pintu yang di sebelah kiri, yang mengarah ke ruangan depan kabin adalah sebuah workhouse, dengan meja besar di tengah ruangan dan berbagai rak kosong dan dua meja kecil di sisi ruangan. Pada satu meja kecil terdapat satu mesin jahit.
Melihat ruangan tersebut, dia semakin tidak bisa berkata apa-apa. Jadi dia keluar dan menuju pintu di ujung lorong, yang ternyata mengarah ke kamar mandi.
Hanya sebentar saja dia melihat kamar mandi barunya, lalu berpindah pergi ke pintu yang ada di sebelah kanan lorong. Di mana dia malah keluar dari kabin, namun tidak jauh dari halaman belakang itu, terdapat bangunan lain. Jaraknya tepat berada di tengah antara kabin dan muka gua.
Penasaran, Cien berjalan ke tempat tersebut dan mendapati kalau di dalam bangunan tersebut terdapat tungku pembakaran, dan berbagai alat yang biasa digunakan pandai besi.
"Pandai besi…" Cien mengangkat ponselnya, "Jadi, bukan saja penjahit, pandai besi juga?"
Tidak pernah dalam hidupnya dia belajar untuk menjadi seorang pandai besi. Cien kembali hanya bisa mendesah pelan sebelum berjalan ke dalam kabin.
Dia kembali ke ruangan utama toko, dan di sisi seberang pintu yang menuju ke lorong. Terdapat dua tangga. Satu ke atas dan satu ke bawah.
Cien memilih untuk menelusuri bagian bawah tanah kabin dahulu, dan di sana dia mendapati dua ruangan baru.
Ruangan pertama adalah ruangan penyimpanan. Ketika Cien masuk, suhu di dalam ruangan tersebut terasa sangat dingin. Sebagai seseorang yang berasal dari dunia penuh teknologi, dia tahun benar kalau ruangan tersebut memiliki fungsi sama seperti sebuah kulkas.
Di dalam ruangan terdapat banyak rak kosong. Cien hanya memindai sejenak seluruh ruangan dari depan pintu sebelum menutup kembali pintu. Tidak ada yang menarik di dalam sana.
Satu ruangan lain yang ada di bawah tanah adalah ruangan dengan sebuah kendi besar di tengah ruangan. Serta rak-rak yang berisikan tabung-tabung kaca kosong.
"Alkemi… bukan saja penjahit dan pandai besi, tapi alkemi juga. Toko macam apa yang ingin dibuat aplikasi ini?"
Cien tidak tahu harus berkata apa. Dia secara perlahan menutup kembali pintu ke ruang alkemi tanpa mau melihat lebih jelas akan barang yang ada di dalamnya. Otaknya benar-benar pusing dengan apa yang harus dilakukan dengan berbagai ruangan baru tersebut.
Cien naik kembali ke lantai utama, lalu naik ke lantai kedua.
Melihat ruangan pada lantai tersebut, barulah senyum bahagia hadir di wajahnya karena lantai dua kabin adalah tempat di mana dia akan tinggal.
Pada lantai dua, selain ruang tengah, terdapat dua kamar tidur, satu dapur dan satu kamar mandi. Sederhana namun jauh lebih baik daripada gubuk yang dibuatnya.
Bukan cuma itu saja, semua ruangan sudah komplit dengan perabotannya! Ketika dia masuk ke satu kamar, dan menemukan terdapat kasur dari kapuk di sana. Cien merasa kalau air matanya tidak bisa lagi ditahan.
Dia menangis bahagia sekaligus menjatuhkan diri ke kasur yang empuk itu.
"Ahh~ inilah hidup…"
Sambil berbaring nikmat, dia keluarkan ponselnya. Kini dengan senyum lebar dia akan mencari tahu segala sesuatu yang bisa diperbuat oleh aplikasi barunya. Untuk saat ini, dia sudah yakin benar kalau ponsel dan aplikasi toko ini adalah cheat yang dimilikinya.
"Sekarang, mari kita lihat apa bisa dilakukan aplikasi ini."