Ku hembuskan nafas berat, kali ini aku akan mencoba kembali. Tanpa bantuan siapapun, tanpa sesiapa yang menyemangati. Aku sudah bertekad untuk berubah, ada banyak hal yang membuatku ingin kembali ke dunia luar sekarang, aku tidak akan kalah dengan rasa takutku!
Ku lirik jam dindingku yang berdetak sunyi, jam 3 pagi, tentu, tidak ada yang spesial bagiku mencoba keluar kamar jam segini, toh biasanya aku memang keluar di waktu begini untuk ke kamar mandi atau mengambil cemilan di kulkas. Tapi kali ini, aku bertekad lain. Aku akan mencoba keluar rumah dan mungkin berjalan di sekitar, anggap saja percobaan sebelum aku benar-benar keluar di jam orang-orang beraktifitas.
Begitu mengenggam kunci pintu, semua kenangan buruk ku di luar kembali menyeruak. Untuk kali ini, untuk kali ini saja, kunci emosimu Galih! Jangan biarkan dirimu di kalahkan lagi! Benar, ada banyak kemungkinan untuk terluka di luar sana, tapi, jangan lupakan kalau ada banyak kemungkinan untuk bahagia juga!
"Aduh, ngapain sih? Udah terima aja nasibmu dan membusuk lah di sini!"
Kau kira aku akan mendengarkanmu terus-menerus?
Cklek!
Sudah, kini kunci pintu sudah kubuka! Dengan tangan bergetar ku putar kenop pintu perlahan…
Gelap, kegelapan malam kini menyambutku. Selain lampu teras dan lampu luar, biasanya seluruh lampu di rumah ini memang di matikan jam segini, kecuali kamarku tentu saja heheheheh. Ku beranikan diri melangkahkan kaki. Pelan-pelan saja, satu kaki di depan kaki lainnya, pelan-pelan. Mataku yang entah bagaimana terbiasa dengan gelap melangkah dengan perlahan, bergerak mendekati tangga.
Kamarku yang terletak di lantai dua memberikan ekstra privasi memang, makanya aku menyukainya. Ku gengam pegangan tangga kuat, kan gak lucu kalau besok pagi aku di temukan pingsan di bawah tangga, kemudian perlahan berjalan menurun. Segera setelah sampai di bawah, kulihat ke sekekeliling, sunyi, semua sudah tertidur sepertinya. Akupun bergerak mengendap menuju kulkas, heem, roti ini terlihat lezat! Sambil mengunyah roti ku lanjutkan perjalananku, kini menuju pintu utama…
Sial, pintu ini terlihat lebih mengintimidasi! Bukan saja ukurannya yang lebih besar, tapi pintu ini memisahkan aku dari dunia luar, selama lebih dari tiga tahun aku tidak pernah keluar dari pintu ini lagi…
Segera setelah memutar kunci, ku gengam kenop pintu mewah ini. Perlahan, ku putar dan ku dorong keluar, membuka angin dingin yang kini menerpa tubuhku. Mengigil, ku katupkan gigiku rapat, kemudian memaksakan tubuhku melangkah keluar.
Menjejakan kaki di ubin teras yang dingin, membuatku sadar aku tidak menggunakan alas kaki. Melihat sekitar, ku lihat beberapa pasang sandal. Salah satunya pasti milik Gilang, dia sedikit lebih tinggi dariku tapi ukuran kaki kami tidak beda jauh. Ku kenakan sandal yang terlihat usang itu, dan bergerak menuju pintu pagar. Di perjalanan, hamparan paving yang terawat menemani langkahku. Ayah pasti merawat taman kecil kami ini dengan penuh perhatian. Bahkan rumput murah yang di tanam ayah itupun terlihat di potong dengan rapi.
Ini dia, ini batas terakhir rumah ini dengan dunia luar. Setelah aku membuka pintu pagar ini, aku akan berada di dunia luar. Ku teguk ludahku pelan, kembali mengumpulkan keberanian yang kumiliki, kemudian membuka kunci pagar, yang kulanjutkan dengan membuka pintu pagar perlahan.
"Hei, kau yakin? Hei? Dengarkan aku sialan!"
Dunia luar, dunia yang sangat kutakuti kini ada di depanku. Aku tahu aku seharusnya tidak setakut ini, tapi ayolah, kukira siapapun akan bereaksi sama setelah terkurung selama tiga tahun, terpisah dari dunia luar.
Perlahan, dengan gemetar ku langkahkan kakiku, bergerak maju ke dunia luar. Kaki kananku kini sudah di luar pagar, menyentuh teras jalan. Rerumputan lembab yang menyambut kakiku memberikan sensasi nostalgia yang lama tidak kurasakan. Perasaan rindu asing yang kurasakan entah darimana ini memberi sedikit dorongan, memberiku keberanian untuk menjejakan kaki kiriku. Setelah sepenuhnya berada di luar pagar, rasa ketakutan yang menyelimutiku perlahan luntur, tergantikan rasa penasaran.
Jalan aspal yang sunyi terlihat mengoda, bergerak ragu, ku dekati dan kujejakan kakiku ke sana… "Keras" gumamku pelan, sambil tersenyum konyol kupandangi sekitar, benar-benar sunyi. Huh, tidak ada orang asing untuk menghakimiku, tidak ada tetangga super penasaran yang selalu menghujani dengan pertanyaan, tidak ada sesiapa.
Ini tidak ada bedanya dengan sendiri, hahahahahaha.
Yah, setidaknya ini sebuah kemajuan. Dalam percobaan ini aku tidak mau mencoba terlalu jauh. Aku mulai berjalan pelan, menuju sebuah bundaran kecil di dekat area perumahan ini. Sambil berjalan, ku lihat sekeliling, memandangi rumah-rumah di sekitar. Rumah-rumah yang aku yakin penuh dengan kehidupan di jam sibuk itu terlihat sunyi, dan sedikit seram jujur saja. Suara angin pelan yang berhembus di temani riakan serangga menemani perjalanan sunyiku subuh itu.
Kini aku sudah sampai di bundaran kecil, dengan monumen berbentuk guci tradisional di tengah-tengahnya. Kupandangi sejenak guci raksasa itu, memegangnya, mencoba merasakan gesturnya. Sial, catnya luntur di tanganku hahahaha. Yah, kualitas proyek pemerintah.
Setelah puas melakukan hal random di bundaran itu, aku kembali berjalan pulang, melewati langkahku sebelumnya. Semua terasa aneh dan tak nyata bagiku, maksudku, setelah tiga tahun, ternyata semua ini tidak sesusah yang kutakutkan?
"Coba saja nanti kalau sudah ada banyak orang!"
Yah, untuk kali ini aku setuju dengan suara di kepalaku. Melakukan hal ini, dengan banyak mata di sekitar memandangku, bakal terasa sangat-sangat berbeda. Aku tidak yakin aku akan sanggup menghadapi semua tekanan itu?
Yah, mau tidak mau kan? Memang aku ingin selamanya begini? Menjadi pecundang yang bahkan tidak berani keluar dari kandangnya sendiri?
Kugelengkan kepalaku pelan, tidak, seberapa kecilnya pun itu, aku ingin memiliki harapan. Bahkan setitik cahaya bisa memberikan keberanian bagi orang yang tersesat di terowongan. Sedikit harapan bahwa ada jalan keluar dari masalah ini, terkadang sudah cukup kuat untuk memberikan dorongan yang di butuhkan…
Akupun kini kembali ke kamarku, melewati perjalanan balik yang cukup sunyi. Setelah termenung diam beberapa saat dalam pikiran, ku putar ulang kejadian hari ini dalam imajinasi. Mengulang-ulang skenario yang sama sampai membekas di ingatan. Ku tahu ini mungkin tidak cukup, tapi latihan imajiner begini mungkin akan membantu sampai nanti saatnya tiba…
Saat di mana aku akan meninggalkan rumah ini…