Clara sedang menyesap Wine di tangannya ketika aku menyelonong masuk. Aku memasang wajah menyesal yang justru membuatnya memutar bola mata kemudian membuang muka. Aku melemparkan tas ke sembarang tempat, mendekat dan merebut gelas di tangannya. Meneguk isinya hingga tandas.
"Sedang apa kau di sini?" semburnya, kesal. Merebut kembali gelas kosong dariku. Wajahnya kusut seperti pakaian yang tidak pernah dilicinkan.
"Ayolah, Clara. Kau tak perlu marah begitu. Baru kali ini aku tidak menepati janji, 'kan?!" Kupeluk tubuh mungilnya, membuatnya meronta.
"Don't! Jangan seperti itu lagi! Orang akan mengira kita pasangan sesama jenis."
"Kita, kan, sedang di rumahmu. Lagi pula, memangnya kenapa jika iya? Itu hanya anggapan mereka, kenyataannya kau masih bernafsu pada lelaki, begitu pun diriku. Semua pria bisa melihat, kau cantik aku juga cantik. Mereka akan tetap tertarik pada kita." Aku tergelak. Ia mendaratkan tepukan di lenganku.
"Kau ini! Ke mana saja kau tidak merespons panggilan dan pesanku? Kau mampir di ranjang siapa lagi?" Ia memberengut. "Aku menunggumu lama dan seperti orang bodoh."
"Maafkan aku, Clara. Ada sesuatu yang terjadi padaku. Sebuah kecelakaan." Aku mendesah lelah. Membanting tubuh di atas sofa empuk milik Clara.
Clara menutup mulut dengan tangan ketika mendengar kalimat dariku. Ia kemudian menyadari keningku yang tertutup plester.
"Oh, Tuhan! Apa kau baik-baik saja? Apakah ini sakit?" tanya gadis itu berusaha menyentuh benda yang melekat di dahiku. Aku menghindari tangannya.
"Jangan! Itu sakit!" pekikku. "Aku tidak apa-apa. Namun harus menerima beberapa suplemen karena kadar sel darah merah yang rendah."
"Ah, itu pasti berhubungan dengan keluhanmu sering berkunang-kunang dan pingsan."
Aku hanya mengangguk, kemudian mengurut kening yang tiba-tiba kembali terasa berat.
"Sebaiknya aku pulang saja, kepalaku sakit." Aku bangkit, mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin dan meneguknya. "Sampai jumpa di kelas," pamitku pada Clara yang hanya dijawab dengan lambaian tangan.
***
Aku keluar dari mobil, tergopoh-gopoh. Tidurku terlampau nyenyak malam tadi, sampai tak sadar sudah melewatkan satu mata kuliah. Mulutku menggigit selembar roti yang tak sempat kutelan, bahkan sejak tadi makanan itu masih berada di sana. Aku tak menghiraukan beberapa mahasiswa yang menggodaku dengan panggilan-panggilan tak sopan. Tetap fokus ke mana arah tujuanku sekarang. Mereka bisa kuurus nanti. Aku akan buat perhitungan pada mereka.
Tiba di depan pintu ruang kelas Anatomi, kuhempaskan roti di mulutku ke keranjang sampah tak jauh dari tempatku berdiri sekarang. Merapikan rambut yang acak-acakan kemudian membuka pintu kelas setelah mengetuknya sebanyak tiga kali.
"Permisi, Pak, maaf saya terlam ... bat—" Kalimatku terbata saat melihat siapa yang berdiri di depan kelas memberi teori pada sekumpulan mahasiswa yang memperhatikan dengan saksama.
Dokter itu ... aduh, siapa namanya? Aku tidak benar-benar mengingatnya. Hanya tubuh tinggi tegap dengan kulit bersih, tatapan mata tajam, dan kaca mata yang menggantung di tulang hidungnya.
Ia pun seperti mengenaliku. Matanya memicing dan alis yang berkerut menandakan ia sedang berusaha mengingat. Entah mengingat namaku atau ....
"Nona Jameson, silakan masuk."
BINGO! Ia menyebut nama belakangku dengan tepat. Bagus juga ingatannya. Sayang sekali aku tak mengingat nama Dokter ini kecuali ciri fisiknya.
Aku mengangguk kemudian mengambil tempat tersisa di sebelah pojok belakang.
Aku baru tahu kalau Dokter itu adalah Dosen kelas anatomi. Setahuku Dokter Jane Lanford yang menjadi dosen untuk kelas ini. Apakah beliau sudah tidak mengajar lagi lalu digantikan pria ini?
Kucari keberadaan Clara yang duduk jauh di depan. Ia mahasiswa yang cerdas jadi akan selalu memilih tempat duduk pada baris terdepan. Sementara aku, tak tahu mengapa terdampar di tempat ini. Hanya karena ujian Biologi yang meraih nilai nyaris sempurna saat Senior High School. Padahal itu hasil menyontek karena aku sering kali tidak belajar sebelum ujian.
Atau aku hanya tak tahu tujuan yang sebenarnya sehingga lebih mudah mengekor saja pada sahabatku.
Clara sendiri sejak dulu sudah pintar. Namun karena kami berteman sejak kecil, terlihat tak terpisahkan. Beberapa kali orang mengira kami pasangan lesbian hanya karena terlihat tidak memiliki kekasih dan ke mana pun selalu berdua. Padahal sebenarnya, Clara adalah gadis idola sejak dulu. Ia selalu berganti kekasih. Berpacaran hanya sebulan atau dua bulan, lalu sudah. Ia bahkan melepaskan keperawanan saat usia 15 tahun.
OOPS! Maaf aku keceplosan. Semoga Clara tidak tahu aku sedang membicarakannya.
Bagaimana denganku? Jangan tanya. Aku berpacaran hanya satu kali selama hidup hingga saat ini. Lainnya hanya teman kencan semalam.
Jadi, apa bedanya dengan Clara? Dan siapa yang sebenarnya jadi idola para pria? Tetap Clara. Ia cantik, girly, rapi, cerdas ... dan banyak kelebihan yang ia miliki. Berbeda denganku yang terkesan boyish dan tidak terlalu suka dengan hubungan percintaan yang bertele-tele dan memuakkan.
Meski pernah mengalami jatuh cinta, tapi bagiku berpacaran di usia muda itu membuang waktu. Karena itu aku lebih suka menikmati kesenangan hanya untuk satu malam. Dan satu lagi, setelah satu malam, aku tak akan mengulang dengan orang yang sama.
Aku memperhatikan penjelasan Dosen dengan saksama tentang anatomi manusia. Mengenai struktur, susunan, dan bla bla bla. Entahlah. Berapa jam lagi mata kuliah ini akan berakhir? Rasanya waktu berjalan sangat lambat. Perutku sudah keroncongan sejak tadi.
"Baiklah, perkuliahan hari ini saya akhiri. Untuk pertemuan berikutnya saya harap tidak ada yang terlambat karena kita akan melakukan praktik langsung dengan menggunakan alat peraga," terang pria yang sedang berdiri di depan kelas.
Mata elangnya tiba-tiba menatap ke arahku. "Nona Jameson, usahakan datang lebih awal." Ia mengulas senyum simpul di wajah tegasnya yang dihiasi bulu halus.
"Baik, Dok," jawabku, malas. Pria itu kemudian mengemasi barang-barangnya dan keluar meninggalkan kelas.
Sepeninggalnya, aku berlari kecil menuju kafetaria kampus untuk mengisi perut yang sudah menjerit sejak tadi. Tanpa menyapa ataupun mengajak Clara bersamaku. Jika lapar, aku sering kali melupakannya. Tak apa, ia nanti akan menyusul jika mau.
Tak berapa lama, aku sudah duduk di kursi menghadap salad sayuran dan ayam, juga segelas jus jeruk. Melahap makanan tanpa menunggu aba-aba dari siapa pun. Aku hanya seorang diri. Entah mengapa Clara tak juga menyusul kemari. Ia mungkin sedang bersama Darren, mahasiswa Farmasi yang naksir padanya sejak tahun pertama.
Sudahlah, biarkan saja ia menikmati kencan bersama siapa pun agar tak lagi dikira kekasihku. Dan aku akan menikmati salad sayuran lezat di hadapanku.
Sedang asik dengan makananku, seseorang mengambil tempat dan duduk di seberang meja yang kutempati. Aku mendadak gelagapan dan menelan salad di mulutku sekuat tenaga.
"Tak usah terburu-buru, aku tidak datang untuk menghukummu karena terlambat." Pria itu menyunggingkan senyum, kemudian menghirup kopi di tangannya.
"Aku tidak tahu kau kuliah di sini. Bahkan mengambil jurusan ini," komentarnya.
Aku—yang akhirnya berhasil menelan seluruh makanan di mulut, hanya tersenyum kecut.
"Memangnya kenapa dengan orang sepertiku? Apakah aku tidak terlihat pantas berada di jurusan ini?"
Pria itu hanya mengedikkan bahu. Sialan! Meski pelajaran biologi hasil menyontek, tapi tidak seluruhnya. Kalau hanya anatomi dalam bahasa Inggris saja aku bisa. Jangan tanyakan jika dalam bahasa ilmiah, aku harus membuka kamus anatomiku untuk itu.
"Ada mayonaise di sudut bibirmu," ucapnya sembari menunjuk bibirnya sendiri. Aku membersihkan pada tempat yang ia tunjukkan. "Bukan di situ."
Tangannya menyeberangi meja dan mengusap ujung bibirku dengan selembar tissue. "Nah, sudah. Baiklah kau bisa lanjutkan makan siangmu, kau terlihat sangat lapar jadi aku tak ingin mengganggumu. Sampai jumpa."
Pria itu bangkit kemudian berlalu. Kuikuti kepergiannya dengan ekor mataku. Ia berjalan santai dengan tangan kiri berada dalam saku celana sementara tangan kanan yang masih memegang gelas berisi kopi. Aku menghela nafas. Kenapa jantungku jadi berdegup tak karuan begini, ya? Apakah aku sedang sakit? Aku meraba kening, dan memeriksa denyut nadi di pergelangan tanganku. Semua normal.
Oh, mungkin aku hanya masih lapar. Aku akan memesan seporsi pancake saja untuk pencuci mulut, tapi nanti setelah menghabiskan salad ini, kemudian kembali ke kelas untuk mata kuliah selanjutnya.
***