Diana dengan takut beringsut bangun, dia mengusap air matanya dan merasa sangat gugup.
"Pergi…!! Jika tidak aku akan membunuhmu" Teriak Danny dari dalam sambil kembali melemparkan sesuatu ke pintu membuat Diana makin panik.
Diana memegang perutnya dengan khawatir, dan dengan cepat dia melangkah pergi. Barusaja berjalan beberapa langkah, dia berhenti. Memutar tubuhnya, dia perlahan berjalan kearah tas selempang yang tadi dia letakkan di atas meja teras rumah ketika barusaja sampai.
Dia menyampirkan tas di bahunya berniat untuk segera pergi, tapi dia teringat sesuatu. Membuka tasnya dia mengambil beberapa tes hamil yang tiga hari lalu di gunakannya yang membenarkan jika dia positif berbadan dua.
Air matanya kembali jatuh saat menatap tes-tes itu, hingga tanpa sadar tangannya menyentuh perutnya yang masih rata. "Maafkan Mama sayang, mama tidak bisa berbuat apa-apa. Papamu sepertinya sedang marah" Gumam Diana seraya mengusap perutnya dengan sayang.
Diana mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya, kemudian memasukkan semua tes hamil itu di dalam. Sebelum dia menutp amplop itu, dia membuat sebuah catatan kecil untuk Danny.
"Kak Danny, Maafkan aku karena membuat semuanya jadi begini. Maafkan aku karena hadir diantara hubungan kakak dan Maira. Baiklah.. anak ini hanya milikku. Tapi sekali lagi aku tegaskan, bahwa hanya Kakak satu-satunya pria yang pernah menyentuhku. Kedatanganku bukan untuk meminta pertanggungjawaban, aku hanya ingin agar kakak tau saja"
Mengusap air matanya seraya menarik nafas berat Diana melipat kertas itu dan memasukkannya bersama-sama dengan tes hamilnya. Kemudian Diana menyelipkan amplop itu di bawah pintu.
Diana menatap pintu rumah di depannya dengan perasaan getir, beberapa waktu lalu setelah menimbang selama tiga hari, dia bertaruh atas nama bayinya dan datang mengunjungi ayah dari bayinya. DIa sudah memprediksi reaksi Danny atas kabar ini, termasuk penolakan Danny terhadap dirinya dan anak mereka.
Tapi sikap Danny malam ini, benar-benar jauh dari perkiraannya. Karena dia telah mengenal Danny dan dekat dengannya selama lebih dari tujuh tahun ini, yang dia tau selama ini pria itu adalah pria ramah dan berhati lembut. Baik hati dan sangat pengertian.
Air mata Diana kembali jatuh, dia mengusap perutnya dan berbalik pergi dengan cepat membelah hujan yang masih turun dengan deras, seolah mewakili suasana hatinya saat ini.
***
Dua bulan sebelumnya
Suasana di ruangan temaram itu sangat menakutkan bagi Diana, dia gemetar di sudut sofa sambil sesekali menepis tangan seorang pria paruh baya berkepala botak dan berperut buncit yang selalu berusaha menyentuh pahanya.
Beberapa waktu yang lalu ayahnya memintanya agar mau menemaninya pergi ke acara temannya, tidak di duga begitu sampai di sini, dia malah diserahkan kepada pria paruh baya di sampingnya ini.
"Diana, baik-baiklah dengan Tuan Ramon. Dia sudah membelimu dari ayah" Ucap Jaka pada putrinya.
"Ayah.. apa-apaan ini?" Diana berteriak marah pada ayahnya. Pantas saja ayahnya meminta dirinya memakai gaun yang sedikit terbuka, ternyata ada niat yang tidak baik, untunglah dia tidak mengikuti kemauan ayahnya dan mengenakan pakaian yang dia suka.
"Kamu nurut sama ayah, anggaplah kamu sedang membalas budi pada ayah yang telah merawatmu dari kecil".
"Ayah.." Diana merasa geram. Bukankah sudah menjadi kewajiban bagi orang tua untuk merawat anak-anak mereka? Mengapa sekarang semuanya menjadi hutang budi?.
"Dian.. Aku memiliki hutang yang sangat banyak terhadap Tuan Ramon. Dan Tuan Ramon berbaik hati menghapusnya dari daftar hutang asalkan kamu mau menjadi istri ke enamnya"
"Aku tidak mau..!!"Pekik Diana marah. "Ayah saja yang melakukannya" Sumpah demi apapun, dia tidak akan pernah mau menjadi istri dari pria botak ini.
Plakk
"Dasar anak tidak tau di untung, kau dan ibumu sama saja.."Diana menatap ayahnya tak percaya, selama ini meskipun dia menjadi korban kekerasan ayahnya saat dia merasa kesal, tapi itu dilakukan ayahnya saat dirumah saja. Ini kali pertama ayahnya melakukannya di hadapan orang lain.
"Ayah keterlaluan…"Jerit Diana
Plakk
Sekali lagi tamparan yang keras mengenai wajah Diana hingga darah Nampak keluar dari sudut mulutnya. Belum puas sampai di situ, Jaka menjambak rambut panjang Diana hingga Diana kesakitan.
"Dasar anak kurang ajar, apa kamu mau di hajar dulu baru mau menurut?"Bentak Jaka emosi.
"Bunuh saja aku sekalian agar ayah puas"Balas Diana sengit.
Plakk
Jaka yang sudah emosi menampar sekali lagi wajah Diana hingga memar dan bengkak, setelah itu dia membenturkan Diana ke dinding.
"Hentikan Jaka, kamu merusak barangku.."Sela Tuan Ramon dengan nada tenang. DIa bahkan terlihat tidak bersimpati dengan keadaan Diana, malah sebaliknya, dia menikmati kesakitan yang Diana perlihatkan, seakan-akan rasa sakit Diana memicu gairah kelelakiannya.
"AHh.. Tuan Ramon, anak ini memang sekali-kali perlu diberikan pelajaran, dia benar-benar menjadi seorang pembangkang"Ucap Jaka dengan penuh rasa hormat kepada Tuan Ramon, sangat berbanding terbalik dengan sikapnya terhadap putrinya sendiri.
Diana masih terbaring disudut ruangan, seraya memeluk tubuhnya sendiri. "Tidak perlu dilanjutkan lagi, urusan Diana biar aku yang mengatasinya. Hutangmu lunas, kamu boleh pergi" Tuan Ramon menepuk bahu Jaka dan kalimat yang barusaja diucapkan Tuan Ramon benar-benar membuat matanya berbinar.
"Te.. Terima kasih Tuan, Tuan benar-benar murah hati"Mata Jaka berkaca-kaca penuh haru. Sedetik kemudian dia menoleh kepada Diana yang meringkuk, dengan kasar dia menendang kaki Diana" Baik-baiklah pada Tuan Ramon, buat dia senang dan puas. Atau aku akan membunuhmu jika kamu melawan"Ucap Jaka pada Putrinya setelah itu menyalami Tuan Ramon dengan penuh hormat bahkan mencium tangannya.
"Bersikap keraslah padanya jika dia tidak menurut"Ucap Jaka.
"Hahaha… jangan khawatir. Mudah bagiku mengatasinya"
"Baik.. baik, baguslah kalau begitu" Dan Jaka pergi meninggalkan Diana di ruangan bersama seorang pria tua.
Tuan Ramon mengusap dagunya dan memperhatikan Diana dengan penuh gairah, ekspresi kesakitan dan rasa putus asa gadis itu, yang kontras dengan luka dan darah di sudut bibirnya, membuat sesuatu bergejolak di dalam tubuh Tuan Ramon.
Dia membayangkan akan mengikat tangan dan kaki Diana diatas kasur dan membuatnya tak memakai sehelai benangpun, kemudian dia akan menaikinya sambil menjambak rambutnya dan memacunya layaknya naik diatas kuda betina.
Baru membayangkannya membuat sesuatu di bawah sana menegang "Menurutlah, maka kamu akan merasakan kesenangan dan kenikmatan yang tiada tara anak manis"Rayu Tuan Ramon dengan penuh nafsu.
DIa jongkok dihadapan Diana, menyingkirkan helai rambut yang jatuh menutupi sebagian wajah Diana. Mulai mengelus pipinya hingga turun ke leher. Perbuatan Tuan Ramon, membuat tubuh Diana gemetar karena rasa jijik dan kemarahan.
Cuh
Diana meludahi wajah Tuan Ramon yang mendekat ke wajahnya"Jauhkan wajah menjijikkanmu itu bajingan…!!"Maki Diana penuh rasa benci. Pria di depannya begitu rendahan di matanya.
Tuan Ramon meraba wajahnya yang terkena ludah Diana, bukannya marah. DIa malah menjilat ludah Diana dan tersenyum penuh makna.
"Dasar gadis nakal,…"Seringainya membuat Diana terpana tak percaya.