Ratna menggandeng lengan Davina dan berlalu meninggalkan sekolah. Ali yang melihat dari kejauhan tampak bingung karena Davina pergi begitu saja. padahal mereka sudah berjanji untuk bertemu di perpustakaan.
"Mau ke mana, sih, Na?" tanya Davina.
"Jalan jalan aja. Ngemall gitu," sahut Ratna.
"Ah, ngapain?" tanya Davina.
"Ya, apa aja. Nonton, belanja, makan," ucap Ratna.
"Ah engga, deh. Aku engga ada duit," sahut Davina.
Ratna tersenyum bangga saat Davina terlihat berkecil hati karena ia tak bisa mengimbangi gaya hidup Ratna.
"Udah, tenang aja. Aku yang bayarin," ucap Ratna.
"Eh, tapi, Na. Engga enak aku. Engga usah, deh," ucap Davina.
"Lah, kog, engga? Udah kadung keluar ini. Bentar lagi jemputan datang," ucap Ratna.
"Siapa yang mau jemput?" tanya Davina.
"Ada, deh," sahut Ratna.
Tak berapa lama mereka di depan gerbang. Sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan mereka. Ratna melambaikan tangannya ke arah mobil itu.
"kita mau naik mobil?" tanya Davina.
"Iyalah, masak naik angkot? Jauh kali, Na. Bisa bisa nunggu angkot doang lama," ucap Ratna.
"Oh, gitu," sahut Davina.
Davina bertanya tanya dalam hatinya. Bagaimana bisa Ratna naik mobil yang begitu bagus. sedangkan ia saja hanya bisa naik angkot dengan ongkos dua ribu perak.
"Ayo, naik, Vi! kenapa bengong aja?" ucap Ratna yang sudah masuk ke dalam mobil.
"Ah, iya," Davina lantas membuka pintu mobil bagian belakang. Saat hendak masuk, tiba tiba dari arah gerbang. Ali menghampiri Davina dan menahannya.
Sontak saja Davina terkejut. Ali menahannya di depan banyak murid yang baru keluar dari sekolah.
"Kamu mau kemana? kita janjian ketemu, kan?" ucap Ali sambil menarik lengan Davina.
"Kalian janjian?" tanya Ratna dengan sengaja.
Ia tahu, Davina tak ingin hubungannya dengan Ali tersebar dan menimbulkan gosip di sekolah.
"Eng - engga," sahut Davina spontan.
Ali tertegun mendengar penyangkalan Davina. Padahal Ali tahu, alasan kenapa Davina menyangkal pertanyaan Ratna. Namun tetap saja rasanya menyakitkan saat ia tak dianggap oleh Davina.
"Oh, sorry. Jadi aku salah paham," ucap Ali. Pemuda itu kemudian pergi begitu saja meninggalkan Davina. Terlihat jelas raut kesal dari wajah Ali.
"Iya, engga apa apa," sahut Davina.
Namun dalam hatinya ia amat sangat merasa bersalah kepada Ali. Apalagi saat Ali menunjukkan raut wajah kecewa.
Terlintas kemarin, saat Ali menolongnya saat ia terkurung di dalam ruang kosong karena pakaiannya terbawa oleh Ratna.
"Ayo, Vi!" ajak Ratna.
"Iya," ujar Davina.
Saat hendak masuk ke mobil, Davina melihat Ali keluar dari sekolah dengan motornya yang dikendarai dengan sangat cepat sehingga anak anak yang baru pulang menatap heran dengan kelakuan Ali yang begitu sembrono di lingkungan sekolah.
Davina mengehela nafas sejenak. Sepertinya Ali benar benar marah kepadanya.
"Ratna, aku engga jadi jalan, deh. Aku mau pulang aja," ucap Davina.
Melihat Ali yang sudah pulang dari sekolah, Ratna pun juga sudah tak termotivasi untuk mengajak Davina pergi.
"Ya, udah. Lagian kamu emang ngga pernah mau kalau diajak jalan," ucap Ratna santai. Namun di dalam hatinya ia sebenarnya tak terlalu peduli dengan Davina mau ikut atau tidak. Yang penting, Ali dan Davina tak bersama.
"Ya, udah. Aku pulang aja," ucap Davina.
"Mau diantar engga?" tanya Ratna.
"Ah, engga usah," ucap Davina.
Gadis itu lantas berlalu menuju ke halte bus yang letaknya tak jauh dari sekolah.
***
Sejak kejadian itu, Davina tak pernah bertemu dengan Ali di sekolah. Entah kenapa, Ali seperti tak muncul di mana mana. Bahkan di perpustakaan pun, Ali tak menunjukkan dirinya.
"Ali engga masuk, ya, Nduk?" tanya Pak Musri saat Davina di perpustakaan saat jam istirahat.
"Engga tahu, Pak. Sudah dua hari engga ketemu saya," ucap Davina.
"Hem, apa dia magang? Tapi kalian masih kelas satu, kan?" tanya Pak Musri.
"Iya, kita magangnya kelas dua akhir nanti, Pak," ucap Davina.
"Terus kenapa? Dia itu jarang libur kayaknya," ucap Pak Musri.
"Engga tahu, Pak," sahut Davina.
Ketidak hadiran Ali di sekolah tentu saja membuat Davina merasa resah. Ia merasa bahwa hal ini dikarenakan ia yang menyangka Ali saat ia akan pergi bersama Ratna.
karena hal itu, sepulang sekolah ia pergi ke rumah Ali dengan menaiki angkot. Jika biasanya ia bersama Ali tak terasa jauh. Sekarang, ia berjalan sendiri masuk ke dalam perkampungan tempat Ali tinggal yang sebenarnya cukup jauh jika berjalan kaki.
"Hah, engga nyampe nyampe," keluh Davina.
Hampir tiga puluh menit berjalan, sampailah. Davina di depan rumah Ali. Ia melihat Ali sedang asyik dengan motornya dengan santai di depan rumah.
"Ali!" panggil Davina.
"Walaikumsalam!" sahut Ali sengaja membalik kalimatnya.
"Assalamualaikum," ujar Davina.
"Walaikumsalam," sahut Ali sekenanya.
"Kenapa engga masuk sekolah?" tanya Davina sembari menghampiri Ali.
"Engga apa apa," jawab Ali santai.
"Engga kenapa kenapa kog, engga berangkat?" tanya Davina.
"Ya, masa harus laporan ke kamu?" ucap Ali.
"Ali, kamu kenapa?" tanya Davina.
"Kenapa?" Ya, engga apa apa," jawab Ali.
DAR! DAR! DAR!
Langit mulai bergemuruh, memang sejak dari sekolah, suasana awan memang sudah mendung. Namun, Davina sudah bertekad untuk memenuhi Ali di rumahnya.
"Pulang sana! Mau hujan," suruh Ali.
"Kamu marah sama aku?" tanya Davina.
"Marah kenapa? Aku siapa?" tanya Ali.
"Kamu beneran marah," sahut Davina.
Ali tak menggubris Davina. Ia malah mengemasi peralatan motor dan kunci kunci motornya karena angin sudah mulai berhembus dengan cukup kuat.
Davina hanya diam saja di depan rumah Ali sementara Ali mulai memasukkan motornya karena hari akan hujan.
Ali sama sekali tak menggubris Davina. Hal itu tentu saja membuat Davina cukup sedih.
"Jadi kalau kamu marah begini?" tanya Davina.
"Siapa yang marah? Engga ada yang marah. Udah sana pulang, bentar lagi hujan," ujar Ali.
Tak seperti biasanya. Ali bahkan tak menawarkan diri untuk mengantar Davina pulang.
TES! TES! TES!
Rintikan hujan mulai turun ke permukaan bumi. Tanah yang tadinya kering seketika basah dan membuat suasananya panas seketika menjadi dingin.
Davina masih berdiri di depan rumah Ali meskipun hujan sudah turun. Ali masih saj bertahan dengan egonya. Diam kepada Davina.
"Huruft, keras kepala apa bego, sih?" gumam Ali.
Semakin lama hujan semakin lebat. Dan Davina masih saja berdiri di depan pintu rumah Ali.
Semakin lama tentu Ali semakin tak tega melihat Davina terkena guyuran air hujan yang semakin deras.
Ia segera berlari menembus hujan menghampiri sang kekasih yang diam saja menatap ke arah Ali.
"Kenapa cuma diem aja? Gimana kalau kamu sakit? Kalau aku ngga bilang masuk kamu tetep engga akan masuk!" pekik Ali.
"Kamu masih marah sama aku Ali?" ujar Davina.
Ali mengehela nafas kasar. Bisa bisanya gadis itu memikirkan emosinya di saat ia sendiri dalam keadaan seperti ini.
"Buruan masuk!" ajak Ali sambil menarik tangan Davina.
Bersambung ...