Udara di kota Cilegon setiap hari memang terasa panas, berpolusi. Mungkin itu disebabkan karena banyaknya industri-industri, yang berjejer di sepanjang bibir pantai Kota Cilegon.
Menjelang sore, sinar Matahari terasa sangat menyengat. Tidak ada awan yang melintas di bawahnya--membuat manusia dimuka bumi, merasa enggan untuk berlama-lama berada di luar rumah.
Polusi dari berbagai macam kendaraan bermotor di sepanjang jalan, memaksa orang-orang harus menutup mulut, saat melintas di pinggir jalan kota.
Namun panas dan polusi kota Cilegon, tidak menghalangi kewajiban polisi lalulintas untuk menjalankan tugasnya. Tangan polisi lalulintas terlihat begitu ikhlas, melambai-lambai, mengatur kendaraan yang memadati jalan kota. Panas Matahari yang menyengat kulit, tidak lantas membuat para polisi itu malas dalam tugas.
Begitupun para pedagang kaki lima. Meski panas Matahari terasa membakar, namun senyum tulus selalu menghias, ditengah mereka menjajakan dagangannya.
Kalau tidak salah ingat, hari ini adalah hari ke tiga, dimana Eza berada di kota Cilegon. Dan di hari ketiga ini, pria itu sudah memulai kesibukan untuk membuka cabang perusahaannya. Lantaran gedung yang akan disewa sebagai kantor masih dalam tahap renovasi, Eza mengadakan rapat dengan teamnya, di rumah yang ia kontrak untuk tinggal sementara.
"Pak Reza, maaf mengganggu."
Suara ibu Itum membuat Eza mengalihkan perhatiannya. "Kenapa mbak?"
"Arga ngrengek, katanya pengen jalan-jalan," adu mbak Itum menjelaskan.
"Pengen kemana, katanya?" Tanya Eza.
"Katanya pengen liat air mancur yang di alun-alun itu, pak."
Eza terdiam sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Setelah berpikir selama beberapa detik, akhirnya pria itu berkata. "Yaudah, tapi hati-hati ya mbak. Jangan boleh jajan sembarangan."
Bu Itum mengangguk takjim. "Iya pak," ucapnya.
"Minta tolong pak Tono suruh ngantar."
"Iya pak."
Eza kembali mengalihkan perhatiannya kepada beberapa anggota team, setelah bu Itum meninggalkan ruang tamu--tempat dimana Eza sedang melakukan rapat.
"Sampai mana tadi?"
"Mengatur jadwal pertemuan, dan cari tempat meeting sama calon investor, pak." Jawab salah satu anggota teamnya.
***
Berada di dalam rumah--sendirian, dan tidak melakukan kegiatan apapun, membuat Arga diserang rasa bosan. Satu-satunya orang terdekat yang selalu bisa membuat hari-harinya ceria, sedang sibuk dengan pekerjaanya.
Memang, sudah menjadi resiko sebagai pekerja malam--kalau tidak ada bookingan, siang hari merasa bingung mau melakukan apa. Entah kenapa, ia juga sedang tidak ingin pergi ke tempat gym. Padahal, hari ini adalah jadwal dimana pria itu harus melakukan olah tubuh.
Arga membuang napas gusar. Tiba-tiba saja pria itu ingin melakukan sesuatu yang hampir tidak pernah ia lakukan sebelumnya.
Adalah duduk santai di taman alun-alun, menjadi opsi terakhir bagi Arga untuk menghilangkan rasa bosannya. Minum ES kelapa muda sambil melihat orang-orang berlalu-lalang di sana, sepertinya akan menyenangkan.
Beranjak dari tempat tidur, kemudian pria itu berjalan ke arah lemari untuk mengganti pakaiannya.
Arga berdiri mematung. Melihat gambar dirinya melalui pantulan cermin yang menyatu dengan lemari. Pria berbadan atletis itu terlihat semakin gagah, memakai kaus ketat yang menampilkan otot dibagian lengan. Dadanya yang bidang, juga tercetak dengan jelas. Celana jeans model low rise dan sepatu sneakers membuat pria itu terlihat lebih muda dari usianya.
Salah satu alasan mengapa Arga jarang atau hampir tidak pernah nongkrong di tempat ramai adalah, karena profesinya sebagai seorang gogo dance, sekaligus gigolo. Kadang pria berkulit sawo matang itu merasa tidak nyaman pergi ketempat seperti yang akan ia tuju, sekarang. Oleh sebab itu, Arga sengaja memakai topi dan kacamata hitam--antisipasi, supaya tidak ada orang yang mengenali dirinya.
Namun siapa sangka? Ternyata topi dan kacamata hitam itu, malah membuat ia semakin terlihat mempesona.
Menyambar kunci mobil di atas meja, Arga berjalan gagah keluar dari kamar.
Sesampainya di dalam mobil Yaris nya, Arga menghidupkan musik, sebelum mesin ia nyalakan. Lagu Bukan Cinta Biasa by Afgan--mengalun indah, menemani perjalanannya sore itu.
***
Mengabaikan mata para remaja putri, dan wanita dewasa yang sedang terpesona menatap dirinya, Arga berjalan santai sambil membawa ES kelapa muda yang sudah ia beli sebelumnya. Pandangannya menebar di sekitar taman--mencari tempat yang nyaman, untuk dirinya duduk.
Pria yang kini sedang menjadi pusat perhatian kaum hawa itu, mengulas senyum. Pandangannya melihat tempat duduk yang menurutnya terlihat nyaman. Tempatnya lumayan teduh karena berada di bawah pohon yang rindang. Selain itu ada sebuah kolam--dimana terdapat air mancur di tengah-tengah kolam tersebut. Membuat tempat yang sedang ia tuju, terasa sangat sejuk.
Melatakan ES kelapa muda di atas meja, Arga menjatuhkan pantatnya--duduk pada kursi taman alun-alun. Melepaskan kacamata hitamnya, kemudian ia letakan di atas meja. Bibirnya tersenyum simpul--menikmati pemandangan, di sekitar ia duduk.
Sekedar untuk menemani bengongnya, pria itu mengambil sebungkus rokok di saku celananya. Mengambilnya satu batang, kemudian ia mengigit rokok tersebut.
Arga mengurungkan niatnya menyalakan rokok menggunakan pematik. Secara tidak sengaja pria itu melihat anak laki-laki berusia sekitar empat tahun, berada di tepi kolam--sedang kesusahan mengambil bola plastik yang mengambang di dalam kolam.
Merasa khawatir dengan kesalamatan anak itu--Arga beranjak dari duduknya, berjalan tergesa mendekati bocah kecil tersebut.
"Makacih om."
Arga tersenyum simpul sambil mengurlukan bola plastik, kepada pemiliknya.
Sepertinya pria itu merasa gemes dengan penampilan anak kecil yang ada di hadapannya. Bocah yang entah siapa namanya itu, terlihat lucu memakai celana jeans sama seperti dirinya. Kaos bergambar yang dicople dengan kemeja, membuat anak itu terlihat sangat keren, seperti orang dewasa.
"Kamu ke sini sama siapa, ganteng?" Tanya Arga kemudian.
Pria itu memutar tubuh, mengikuti arah telunjuk yang sedang diacungkan oleh bocah kecil tersebut. Merasa bingung entah siapa yang dimaksud, Arga--yang sedang berjongkok, kembali menatap anak laki-laki di hadapannya.
"Yaudah, om tungguin kamu ya, sampai orang tua kamu kesini," tawar Arga. Ia merasa khawatir kalau-kalau anak itu melakukan hal berbahaya seperti tadi--tanpa pengawasan.
"-oh iya, nama kamu siapa?" Tanya Arga setelahnya.
"Aga," sahut anak itu.
Pria itu mengerutkan kening. "Aga?"
"Alga om," ulang anak itu memperjelas.
"Oh... Alga."
Anak itu menggelang. "Agla om.. Agla..."
Kening Arga semakin berkerut, mulutnya terbuka, memperhatikan mulut anak itu yang seperti sedang kesusahan menyebutkan namanya sendiri.
"Iya, Alga kan?"
"Hu... uu..." bocah itu mengeluh putus asa. Sepertinya ia kesal lantaran orang yang kini sedang terbahak, masih belum menangkap kata-kata nya.
"Namanya Arga om."
Suara seseorang dari belakang, membuat Arga memutar tubuh, lalu melihat seorang wanita paru baya, berdiri sambil membawa ES kelapa muda.
"-cuma dia masih belum bisa nyebut R," lanjut ibu Itum sambil berjalan mendekati Arga kecil.
"Oh, Arga." Pria itu tertawa singkat sambil mengucak puncak kepala bocah menggemaskan itu. "Kok namanya bisa sama ya, om juga namanya Arga. Kalau gitu om panggil kamu Aga aja ya, biar enggak bingung."
Arga kecil mengangguk sambil tersenyum nyengir.
"-jangan ditinggal sendiri anaknya, bu," ucap Arga menatap wanita yang berdiri di samping Arga kecil. "Tadi bolanya masuk kolam."
"Oh, iya maaf om. Terima kasih udah dibantuin," sahut wanita itu.
Arga hanya mengangguk, sambil menarik hidung Arga kecil. "Lain kali hati-hati Aga."
Arga kecil hanya meringis, memamerkan gigi ompongnya.
"Arga," panggil bu Itum kepada Arga kecil. "Kita minum ES kelapa muda di rumah aja ya, tadi ayah nelfon, katanya mami Tias sama om endut sudah sampai sini."
Arga mengerutkan kening, mendengar sebuah nama yang baru saja disebut oleh ibu Itum. Nama itu membuat pria itu mengingat seseorang, yang masih ia rindukan.
"Hole... hole... hole..." Arga kecil berteriak girang.
"Yaudah, pamit sama om Arga, dulu," suruh bu Itum.
Arga mengangguk, lalu mendekati pria tersebut. "Om, Aga pulang ya."
Arga tersenyum sambil mengangguk gugup. Pria itu masih memikirkan nama Tias yang baru saja ia dengar.
"Permisi om..." pamit bu Itum sambil meraih pergelangan mungil Arga kecil, lalu membawanya pergi.
Sementara Arga masih terbengong. Pria itu belum menyadari, kalau anak kecil bernama sama dengannya, sudah menjauh dari hadapannya.
"Tias?" Arga membatin.
Tbc