Sorot mata Sonia kian membelalak, Edward juga sudah siap mendengar perkataan Kakaknya itu.
"Apa, katakan saja kak jangan sungkan!" lanjut Edward memberikan jalan agar Steve tidak merasa tidak enak.
"Aku ingin melakukan ini dari lama, namun sepertinya hari ini adalah hari yang tepat." gumamnya.
Tampak cucuran keringat dari Sonia membuat darahnya mengalir lebih kencang.
"Aku mungkin akan kembali ke Belanda secepatnya, aku harus menyelesaikan pekerjaan ku" lanjut Steve.
Hal itu membuat Sonia dan Edward saling menatap. Sebelum nya Steve mengatakan akan tinggal lebih lama, hal itu membuat mereka bingung.
"Mengapa mendadak?" tanya Edward.
"Mungkin pekerjaan ku harus segera di mulai lagi" jawabnya.
Edward hanya mengangguk walau ia sebenarnya masih merindukan Kakanya itu, tetapi kehidupan harus tetap berjalan.
Malam hari tiba, Edward mungkin masih kekalahan juga, di tambah ia memikirkan hasil operasi yang ia harap lancar membuatnya mengatur pola tidur juga, hal itu membuat Sonia bertanya-tanya karena tidak biasanya Edward tidur cepat.
Karena ia bosan kemudian Sonia turun ke lantai utama untuk pergi ke ruang baletnya, setelah memakai perlengkapan music segera terdengar memenuhi ruangan itu.
Ia menari dengan khidmat dan tidak menyadari Steve memasuki ruangan itu.
"Son?" panggil nya begitu Sonia baru saja selesai dengan tarian baletnya.
"Kak," jawabnya kaget karena ia tidak tahu dari kapan Steve berdiri di sana. Lelaki itu kemudian menghampirinya.
"Aku akan pergi besok pagi, aku ingin memberikanmu ini sebelumnya" tanpa aba-aba Steve mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin bunga aster.
Sonia hanya berdiri kaku tanpa menjawab, "Kapan kakak membelinya?" tanya Sonia.
"Ketika kita di Kanada, kamu tidak memperhatikannya saat itu" lirih Steve.
Ia kemudian menghadapkan Sonia pada kaca tebal di ruangan balet itu, "Kamu sangat cantik dengan kalung ini"
Sonia pun menyentuh benda yang baru saja melilit di lehernya. Steve kemudian mencium lembut belakang kepala Sonia, membuat gadis itu menggelinjang karena sensasi yang ia rindukan dan sudah tak aneh lagi.
"Jaga dirimu, kamu harus tetap baik-baik saja dan bahagia" lirih Steve.
Kemudian laki-laki itu keluar dari ruangan balet Sonia dan pergi ke kamarnya. Sonia yang mematung dengan perasaan gelisah, ia berlari mencari keberadaan Steve.
Lelaki itu kaget melihat Sonia dengan nafas naik turun yang di perlihatkan tubuhnya terutama bagian dada. "Kak!" panggil Sonia membuat lelaki itu menatap Sonia dengan bingung.
Ia berlari begitu saja dan langsung mencium Steve, mereka berpadu dalam ciuman dan langsung membanting tubuhnya ke ranjang. Entah kapan terjadi semua baju mereka lolos begitu saja. Lagi dan lagi bahkan untuk pertama kalinya sebelum Steve pergi, Sonia tetap menginginkan gairah kepuasan nya terpenuhi.
Keesokan pagi Steve bersiap, ia sudah membawa koper keluar dari kamarnya.
Edward bahkan mengira kakaknya itu akan berangkat siang, namun ternyata sangat pagi. Tetapi hari ini ia tak mungkin mengantar sang kakak karena harus masuk kantor.
"Kak, maaf karena tak bisa mengantarmu ke bandara, hari ini biar Sonia saja ya mengantarmu ya?"
"Tidak apa-apa aku bisa sendiri memakai taksi" jawab Steve.
"Aku akan mengantar kakak," sela Sonia langsung.
Semua sepakat setelah perempuan itu membuka mulutnya.
Edward pergi ke kantor bersamaan dengan Sonia yang mengendarai mobil mewah hadiah ulang tahun dari suaminya itu, ini untuk pertama kalinya ia menggunakan nya untuk mengantar Steve ke bandara.
Seperti biasa jalanan new York sangat ramai bahkan phi hari yang cerah ini. Sonia sesekali membunyikan klakson padahal baru berhenti beberapa detik, hal itu membuat Steve menoleh. "Ada apa?" tanya Steve merasa ada yang aneh dengan perempuan di sebelahnya, Sonia memakai masker dan juga kaca mata hitam tidak lupa you hitam yang menghiasi kepalanya.
Namun tidak ada jawaban, Sonia hanya terdiam saja.
Ramai nya New York city memang membuat orang saja sedikit pusing namun nyaman tinggal di sana.
New York Cityadalah kota terpadat di Amerika Serikat, dan pusat wilayah metropolitan New York yang merupakan salah satu wilayah metropolitan terpadat di dunia. Sebuah kota global terdepan, New York memberi pengaruh besar terhadap perdagangan, keuangan, media, budaya, seni, mode, riset, penelitian dan hiburan dunia. Sebagai tempat markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, kota ini juga merupakan pusat hubungan internasional yang penting. Kota ini sering disebut New York City disingkat NYC atau City of New York untuk membedakannya dari negara bagian New York, tempat kota ini berada.
Sampai mereka tiba di bandara pun Sonia tak bergeming dan hanya mengekor Steve yang memegang pasport dan menggeret kopernya.
Entah mengapa padahal Sonia sudah berniat menguatkan hatinya, namun begitu melihat Steve berdiri di bandara membuat ia enggan menginjak an kaki di sana. Tampak Steve melihat jam keberangkatan nya di ruang tunggu Departure, Sonia seperti hendak melepas separuh hatinya pergi.
Steve akhirnya duduk di samping Sonia yang masih tak memperlihatkan wajahnya yang di tutupi masker, kacamata dan topi.
"Son, are you okay?" pertanyaan itu terlontar dari bibir Steve, namun Sonia hanya diam lagi sembari mengingat ucapan itu pernah ia dengar juga sebelumnya.
"Apakah kamu tidak akan kembali?" tanya Sonia kemudian.
Steve menatap perempuan di sampingnya. "Aku selalu pergi cukup lama untuk bekerja, Son maafkan aku atas semuanya namun aku rasa kita terlalu tidak adil pada Edward dia sangat mencintaimu!"
Penjelasan Steve saat ini bukanlah yang ingin di dengar Sonia, walau ia tahu sangat egois untuk memaksakan kehendaknya saat ini.
"Lalu apakah selama ini kamu hanya mencari kesenangan?" tanya Sonia lagi.
"Son, aku mohon kamu juga pasti bisa berpikir lebih bijaksana, ini bukan kamu Son aku tidak melihat dirimu yang lama"
"Ya, aku kehilangan diriku karena mu, aku melepaskannya setelah kita melakukan hal-hal yang seharusnya tak kita lakukan,"
Suara Sonia kian menggema karena tampaknya ia menangis di balik kacamata hitamnya.
Panggilan keberangkatan di Departure sudah terdengar, Steve berdiri untuk tetap pada niatnya meninggalkan New York! Tidak, dia meninggalkan Sonia ke Belanda bukan kota itu.
Sonia memegang tangan lelaki itu ia tak kuat lagi menahan gemuruh di hatinya. "Jangan pergi aku mohon," lirihnya.
"Aku takkan mampu melewatinya sendiri, ada yang ingin aku katakan padamu"
Ucapan Sonia terpenggal begitu saja, menggantung di tenggorokannya begitu mengingat Edward yang terus setia dan memberikan kasih sayang tulus padanya, menatap wajah Steve hanya mengingatkan pada dosa-dosa nya saja.
"Apa, katakan!"
Namun pertanyaan ulang Steve tak di tanggapi Sonia, pegangannya pada lelaki itu kian merosot. Ya, Sonia membiarkannya pergi.
Steve tersenyum untuk terakhir kalinya pada gadis itu, hati Sonia terasa nyeri seperti sebuah benang yang di cabut dari daging di tubuhnya. Steve melangkahkan kakinya menjauh dan kian jauh, sampai hilang dari pandangan Sonia.