"Nana, apa ibu hari ini datang?," aku melihat Nana membawa boneka besar yang aku yakin dari ibuku, tapi seperti biasa, beliau tidak akan mau menemuiku, "Apa kakak sudah menelepon?," ucapku sambil melesatkan anak panah lainnya.
"Kakakmu sudah menelepon tadi, saat kau sedang tidur," Nana kadang takut mengatakan tentang kakak ku. Aku sadar, hubunganku dengan kakak akhir-akhir ini memburuk, tapi aku senang dia masih mau mengabariku.
"Nana, aku punya uang lebih dari yang diberikan ibu," aku menatap Nana lagi, "Bisakah dikirimkan ke kakak?!," wanita itu hanya menanggapinya dengan mengangguk.
Seusai dari tempat latihan, hal yang biasa aku lakukan adalah mengunjungi temanku. Ibunya dirawat di rumah sakit ini karena mengidap kanker, aku hafal betul jadwal wanita paruh baya itu menjalani kemoterapi.
Saat ibunya menjalani terapi, aku akan ikut dengannya untuk menunggu. Kami menghabiskan berjam-jam dengan makan banyak cemilan atau sekedar duduk dan bercerita banyak hal.
Namanya Emma, dia adalah orang yang sangat baik. Dia seperti kakak untukku, dia mengajarkan banyak hal padaku. Sifatnya sangat periang dan mudah membuatmu untuk menyukainya. Bagiku, setelah Zie meninggal, dia seperti energi baru yang diberikan untukku agar tidak menganggap dunia ini terlalu kejam.
Aku datang tepat waktu, aku meminta Nana mendorong kursiku lebih cepat saat melihatnya sedang duduk memandang dinding di depannya dengan tatapan kosong.
"Emma!," panggilku dari jauh.
Meski aku tahu senyum di wajahnya terlihat dipaksakan, aku memahami apa yang sedang dipikirkan olehnya. Aku menunjukkan kantong plastik besar dengan label tempat makan kesukaan kami.
Jika bebannya dapat dibagi, aku ingin meminta setengah darinya, meski aku kerap kali hampir menyerah untuk membawa bebanku sendiri. Tapi, setiap aku melihat senyum dan cara dia yang menggebu-gebu saat bercerita, aku seperti mendapat energi berkilo-kilo watt untuk membantunya membawa separuh beban darinya.
***
Pertama kali aku melihatnya, saat dia menangis di depan pintu dengan beberapa perawat berusaha menenangkannya. Aku memperhatikan tubuhnya yang kurus, kulit langsat dan rambut hitam legamnya yang bergelombang sepunggung.
Pada awalnya, aku ragu untuk menyapanya, karena kondisiku saat itu nyaris dibilang cacat. Kedua lengan ku diperban, pipi robek dan rambutku yang dipotong asal, aku khawatir jika dia nanti akan takut padaku.
Aku duduk di kursi yang berada di depannya, kami saling berhadapan. Saat dia memandang ke arahku, aku hanya menunduk agar dia tidak melihatku.
"Halo," suara lembut seseorang mengagetkan ku. Aku mengangkat kepalaku, dan menemukan dia sudah duduk di sampingku, "Emma," ucapnya, sambil mengulurkan tangan, "Nama panjangku, Eeemaa!," dia berbicara dengan begitu lucu.
Aku menjabat tangannya, "Tsabitha. Panggil, Tha,".
"Kau sakit apa? Kenapa harus diperban sangat banyak?," dia bertanya, sambil dengan teliti melihat seluruh luka yang ada di tubuhku.
"Hem," aku berusaha tersenyum, agar dia mengerti bahwa aku tidak apa-apa, "Hanya luka kecil," jawabku menenangkan.
Sejak hari itu, aku dan Emma menjadi sering bertemu. Di awal kita berjumpa, aku sudah mengetahui bahwa dia seseorang yang sangat aktif dan sedikit banyak bicara, hal itu bertambah saat kami menjadi teman dekat. Aku bahkan hafal jadwal ibunya akan melakukan kemoterapi.
Pada awal pertemuan kami, aku sering melihat raut wajah sedih saat dia menunggu. Kebiasaan yang akan dia lakukan, seperti mengambil nafas dalam kemudian mengeluarkannya perlahan. Saat itu, aku tahu dia berusaha menahan tangisnya.
Emma sering datang dengan mata yang bengkak, seperti habis menangis. Aku enggan untuk menanyakan apa yang sudah terjadi padanya, karena dia orang yang sedikit tertutup dengan berbagai hal yang dia alami. Tapi ketika dia bercerita, aku akan mendengarkannya, karena saat itu artinya dia sudah berada di titik terendah untuk dapat menyelesaikan masalahnya.
Kami berdua adalah dua orang yang memiliki masa kecil yang tidak terlalu menyenangkan, termasuk anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang kurang baik. Mungkin, hal inilah yang membuat kami menjadi teman yang akrab, karena kami mengetahui rasa sakit masing-masing yang kami alami.
Ibu Emma sakit, dan semua biaya pengobatannya harus ditanggung kedua kakak laki-lakinya. Ayahnya memilih wanita lain setelah mengetahui ibunya sakit, bahkan sekarang mereka sudah menikah.
Ada hal unik yang membuatku kagum pada Emma, saat semua masalah untuknya bertambah sangat buruk, dia malah akan melucu dan membuat orang yang mengkhawatirkannya tersenyum.
"Coba tebak, apa yang aku buat untukmu!," ucap Emma, terlihat menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya. Aku sebenarnya sudah mengetahui bahwa yang dibawanya adalah buku, tapi aku memilih untuk pura-pura tidak tahu.
"Hem, apa ya?," aku pura-pura berfikir, "Aku tidak tahu," jawabku asal.
"Herbarium," ucapnya setengah berteriak.
Aku mengira bahwa itu adalah buku, tapi ternyata bukan. Apa itu herbarium?.
Emma membuka buku tebal yang dibawanya dan menunjukkan bunga-bunga yang dikeringkan. Jujur, aku sangat takjub saat melihatnya, "Aku tahu, Tha jarang bisa keluar," kata-kata yang menyakitkan untukku, tapi aku memilih diam karena itu memang kenyataan, "Jadi, aku yang membawa semua yang di luar, untukmu," perempuan itu empat tahun lebih tua dariku, tapi dia begitu polos.
Aku tidak tahu bagaimana caranya bisa selalu sebahagia itu. Aku tidak mengerti, apakah dia tidak memikirkan sejenak semua bebannya. Aku hanya terdiam, memandanginya yang begitu bersemangat menjelaskan setiap bunga yang ada di sana. Beberapa dari mereka sudah di pres dengan plastik, sementara yang lainnya masih belum. Dia mengatakan akan menyelesaikannya setelah pulang dari rumah sakit, kemudian memberikan album yang berisi herbarium untukku, setelah semuanya selesai.
…
Tujuh tahun lalu.
Pagi itu, aku terbangun sendirian. Salju turun menutupi semua bagian halaman rumah sakit, menyulapnya menjadi lautan es yang berwarna putih. Segera, aku bangun dan menyiapkan semua barang-barangku.
Hari itu, aku pulang dari lembaga pelayanan kesehatan yang telah menjadi 'rumahku' selama bertahun ini. Aku mendatangi semua ruangan dokter yang pernah merawatku, berpamitan pada semua perawat yang menjagaku dan tentunya pada pelatih memanah ku.
Tempat mengerikan yang dulu kurasa seperti di dalam sangkar, setelah selama dua tahun di sana, aku merasa sangat berat untuk meninggalkannya. Semua orang yang aku sayangi ada di sana, penjara yang akhirnya menjadi rumah untukku.
Aku sangat berharap saat itu Nana akan menemaniku, tapi aku sendirian sekarang. Kakak ku memilih tinggal jauh dariku dan melanjutkan studinya, sementara itu, hubungan kami masih sama seperti dulu. Aku dimintanya menempati rumah lama kami, tapi aku putuskan menjauh dari semua hal yang membuatku mengingat masa laluku.
Kondisi Nana sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengasuhku dan harus tinggal sendirian, sehingga salah satu putrinya memutuskan untuk mengajaknya tinggal bersamanya. 'Ayah ku?', aku tidak pernah mengetahui bagaimana kabarnya. Aku bahkan ragu dia tahu bahwa aku harus menjalani terapi selama dua tahun ini di rumah sakit.
Studiku harus tertunda cukup lama, sehingga di usiaku yang ke sembilan belas, aku harus mengulang tahun terakhirku di sekolah akademi, jika aku ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Emma memberitahuku, bahwa dia akan menerimaku dengan senang hati di tempatnya. Dia juga sudah menawarkan pekerjaan sebagai karyawan di toko bunga milik ibunya, yang sekarang sudah dia kelola.
Menggunakan uang yang selama ini diberikan ibu, aku memilih menyewa sebuah kontrakan kecil yang tidak jauh dari sekolah dan perguruan tinggi yang cukup dekat dengan tempat kerjaku. Cita-citaku tidak muluk, aku hanya ingin lulus dan bekerja secepat mungkin.
…