Ternyata, barbeque sore itu tidak hanya menyediakan daging sapi dan sosis saja melainkan ada berbagai macam seafood juga daging kambing. Dan Regina si penyuka daging kambing itu tentu sangat berbinar saat mengetahui hal itu. Adhi bahkan cukup tertegun melihat bagaimana Regina mengambil porsi yang benar-benar tidak ada rasa sungkan ataupun jaga imejnya. Porsinya benar-benar porsi kuli.
"Kamu yakin bisa menghabiskan itu semua?"
Mengangguk yakin, Regina mulai melahap potongan kecil daging kambing dengan baluran saus lada hitam itu.
"Astaga, ini lezat sekali," desahnya takjub saat lidahnya mencecap makanan kesukaannya itu.
"Tapi itu banyak sekali, Regina. Kamu tidak malu mengambil makanan sebanyak itu?" Rupanya Adhi masih berusaha membujuk Regina untuk mengembalikan sebagian daging di piringnya.
"Adhi, dengar. Mereka menyediakan ini untuk dimakan. Dan aku hanya membantu mereka menghabiskan ini semua. Jadi, dimana letak salahnya?" Itu yang jawaban Regina yang membuat Adhi akhirnya menyerah. Mendebat wanita itu jelas bukan ide bagus terlebih di tempat ini ramai sekali.
'Kita lihat saja. Kamu pasti tidak akan bisa menghabiskan itu semua,' ujar pria itu dalam hati.
Tidak seperti Regina yang tergila-gila dengan daging kambing, Adhinatha justru lebih tergila-gila dengan makanan laut terutama lobster. Diambilnya satu ekor lobster bakar ukuran besar yang dibaluri saus pedas manis.
Keduanya menyantap makanan mereka di kursi kosong yang mengelilingi meja kecil. Menikmati angin yang sesekali berembus pelan, mereka benar-benar makan dengan khidmat dan lahap.
Waktu berlalu, makanan di piring Adhi maupun Regina perlahan mulai berkurang isinya karena sudah berpindah ke perut masing-masing. Ramai obrolan di sekitar mereka menjadi suara latar menemani acara makan bersama mereka yang cukup damai itu.
"Kamu tidak ingin mencoba punyaku, Dhi? Ini lezat, lho." Regina tiba-tiba berucap, menawarkan makanannya karena merasa perutnya sudah begitu penuh. Dia akui kalap dan mengambil makanan terlalu banyak tadi. Dan sekarang dia mendapatkan ganjarannya. Perutnya penuh tapi makanannya masih tersisa banyak dan dia tidak tega untuk membuangnya.
"Kenapa? Kenyang?" tanya Adhi menatap makanan di piring Regina lalu beralih pada si pemilik piring.
Regina mengangguk dengan raut sendu. "Iya. Kenyang sekali. Bantu aku habiskan ini, ya? Sayang sekali kalau tidak dihabiskan." Regina menatap Adhi penuh harap membuat Adhi mengerutkan kening.
Pria itu akhirnya mengembuskan napas, kalah. Diraihnya piring milik Regina, menukar posisi dengan piring miliknya yang sudah bersih tidak bersisa.
"Makanya, lain kali kalau mau mengambil makanan itu tahu diri. Ambil secukupnya dan sesuai kapasitas perut. Jangan mengedepankan nafsu yang sifatnya menggebu tapi sementara." Ucapan Adhi sudah terdengar seperti seorang ayah yang menasehati putrinya. Dan Regina menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa membantah ucapan Adhinatha, karena dia sadar yang Adhi katakan adalah seratus persen benar. Jadi, mendengarkan dengan khidmat adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan saat ini.
"Aku sebenarnya tidak sesuka dirimu pada daging kambing. Tapi ... demi orang-orang yang sudah bekerja keras demi sepiring daging ini, aku merelakan kapasitas perutku untuk menghabiskan ini."
Regina mengangguk. "Iya, iya. Sudahlah. Jangan membuatku kian merasa bersalah, bisa 'kan?" Oke, bersikap menurut dan tidak membantah saat berhadapan dengan Adhi sepertinya hal yang sulit bagi Regina. Buktinya baru dia beberapa saat saja rasanya gatal sekali untuk tidak menjawab dan melawan ucapan pria itu.
Ditatapnya Adhi yang makan dengan lahap dan tidak butuh waktu lama baginya untuk menandaskan makanan di piring itu. Saat Adhi mendongak, Regina bisa menemukan ada noda saus di dagu pria itu.
'Pasti ini karena makan lobster tadi.' Regina mendecak dalam hati.
"Dhi. Itu di dagumu ada sausnya," ujar Regina memberi tahu.
"Oh iya?" Meraih tissue, Adhi mengelap dagu kirinya sebelum kembali menghadap Regina —menunjukkan wajahnya.
"Sekarang bagaimana? Sudah?" tanya pria itu memastikan.
Regina menghela napas saat noda itu luput dari usapan Adhinatha dan masih tertinggal di sana.
"Itu, di situ, lho." Menunjuk dengan dagu, Regina gemas sekali saat Adhi masih saja tidak menemukan titik noda itu.
Meraih tissue baru, Regina mengulurkannya guna mengusap noda di dagu pria itu. Regina cukup tersentak begitu menyadari apa yang dirinya lakukan. Ini terlalu intim. Dan jantungnya memompa dengan begitu cepat —tidak terkendali.
'Aku dan Adhi tidak seharusnya sedekat ini, bukan?'
Regina geleng-geleng kepala mengenyahkan pikiran konyolnya itu.
'Tentu saja seharusnya begini. Dua orang yang bertunangan memang seharusnya sedekat dan seintim ini!' omel sisi Regina yang lain.
"Terserah!"
Adhi mengernyit heran mendengar ucapan Regina yang tiba-tiba bicara pun dengan nada yang terdengar kesal.
"Lain k-kali ... makannya jangan berantakan. Mengganggu sekali saat dilihat," omel Regina meremas tissue itu menjadi bulatan tidak beraturan lalu melemparnya pada kotak sampah yang tidak jauh dari sana.
Lemparannya tepat sasaran, membuat Regina tersenyum puas —karena itu artinya dia tidak perlu repot-repot beranjak untuk memasukkan sampah yang jatuh ke tanah agar masuk ke kotak sampah itu.
"Lemparan yang bagus."
Regina cukup terkejut menyadari Adhi ikut memperhatikan kegiatannya.
"Kamu suka baseball?" tanya Adhi tiba-tiba membuat Regina menggangguk tapi sedetik kemudian menggeleng tegas.
"Jadi ... suka?"
Tersenyum kecut, Regina akhirnya mengangguk pelan. "Tapi aku tidak punya waktu untuk itu. Saat sekolah dulu jangankan waktu untuk ekstrakulikuler, bersantai sesekali saja rasanya sulit sekali."
Mendongak, guna menatap pria di depannya, Regina bisa menemukan sorot prihatin yang Adhi tunjukkan. "Kamu pasti tau benar, orang-orang semacam kita —yang dipersiapkan untuk menjadi penerus, hampir selalu dituntut untuk jadi yang terbaik di sekolah, bukan?"
Adhi mengangguk. Mengerti betul apa yang Regina rasakan. Karena dulu, dia pun sama. Selalu dituntut sempurna.
Apalagi setelah memilikinya, ibunya mengalami masalah peranakan yang cukup mengkhawatirkan. Sehingga rahimnya harus diangkat dan menjadikan Adhinatha sebagai anak tunggal. Segala harapan, tanggung jawab, tuntutan menjadi produk terbaik juga unggul, Adhi benar-benar menerima segala usaha orangtuanya untuk menjadikannya anak 'luar biasa' sampai-sampai pria itu hidup seperti robot karena terlalu banyak diatur.
Dan saat kuliah, saat dirinya sedikit bisa lebih bebas, dia melakukan kesalahan fatal yang menjadi bayang-bayang juga tali kekangnya hingga saat ini.
"Kapan-kapan, mungkin kita perlu melakukan hal-hal yang dulu tidak bisa kita lakukan. Seperti baseball itu, misal?"
Dan apa yang Adhi lakukan barusan. Membuat janji di masa depan?
Adhi mengutuk tindakannya sendiri. 'Astaga, Adhi, jangan menjanjikan apa yang tidak bisa kamu penuhi!' omelnya dalam hati.
Tapi mau meralat kalimatnya pun, rasanya menggelikan. Seolah dirinya tidak punya pendirian saja.
"Mungkin ... kita memang perlu melakukan hal-hal yang tidak bisa kita lakukan di masa lalu." Dan satu kalimat konfirmasi itu, benar-benar membuat Adhinatha tidak bisa lagi menarik ucapannya.