Gavin melihat seluruh lukisan yang terpajang di sana seraya melangkahkan kakinya demi melihat satu per satu lukisan yang ada sampai ia memberhentikan langkahnya tepat di depan salah satu lukisan yang ada di sana. Seakan lukisan itu memanggilnya, ia mengamati lukisan itu hingga--
"Kau akan bertemu dengannya dan segera menyatu menjadi satu. Genggam tangannya, jangan melepaskannya kembali seperti yang kau lakukan pada masa dimana kau tidak bisa melakukan apapun untuknya. Jangan menjadi orang bodoh yang hanya berdiam diri di tempat mu tanpa melakukan sebuah pengorbanan yang besar. Jangan biarkan dia mengorbankan dirinya kembali."
--ia mendengar suara yang tidak tahu darimana asalnya.
Gavin mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah kaca itu, namun ia tidak menemukan siapapun di sana. Gavin kembali menaruh estensitas nya pada lukisan yang ada di depannya setelah ia tidak mendapatkan apa yang ia cari. Gavin berpikir sejenak, sampai dia--
"Dia berharap bahwa kau merasakan dan menemukan keberadaannya."
--kembali mendengar suara yang sama dengan suara sebelumnya.
Ia mengerutkan keningnya, kali ini Gavin tidak mengedarkan pandangannya melainkan ia memandang lukisan yang ada di depannya itu.
Sudah dikatakan bukan, kalau lukisan itu seakan memanggilnya? Gavin berpikir, apakah lukisan itu hidup? Maksudnya, memiliki jiwa tersendiri layaknya ada kekuatan mistis yang terkandung dalam lukisan tersebut.
Apakah suara yang ia dengar sedari tadi berasal dari lukisan yang ada di depannya saat ini?
Gavin terus memandangi lukisan tersebut memfokuskan seluruh intensitasnya pada lukisan yang ada di depannya.
Gavin terlalu fokus sampai pada detik berikutnya ia mendengar suara pintu yang terbuka. Suara tersebut seketika menarik intensitasnya dari lukisan itu dan mengalihkannya pandangannya ke arah pintu dimana Gavin yakin pasti ada orang yang masuk ke dalam rumah kaca ini.
Gavin melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu sebagai satu-satu nya akses untuk masuk ke rumah kaca ini. Ia terus membawa kakinya sampai pada akhirnya ia telah berada tidak jauh dari depan pintu rumah kaca ini. Gavin membulatkan matanya tidak percaya saat melihat siapa yang masuk ke dalam rumah kaca ini.
Itu, tepat di depannya adalah orang yang sama dengan orang yang ia lihat beberapa jam yang lalu.
Rasanya Gavin ingin ke sana dan menyapanya yang tanpa sadar kakinya sudah membawanya untuk menemui orang yang baru saja masuk.
Berbeda hal nya dengan orang yang Gavin maksud. Gray, ia tidak menyadari bahwa ada orang lain di tempat favoritnya itu. Ia tidak tahu ada orang selain ia yang berada di rumah kaca ini. Ia tidak menyadarinya bahwa Gavin sedang memandang ke arahnya yang semakin lama semakin mendekat ke arahnya.
Sampai pada akhirnya Gavin sudah berada tepat di depan Gray dimana hal tersebut membuat Gray tersentak kaget. Terlihat dari kedua bola matanya yang indah itu membulat dengan sempurna.
Otaknya seakan berhenti bekerja yang membuat tubuhnya tidak dapat bereaksi.
Sistem otaknya terllu lama bekerja untuk hal yang seperti ini. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Ia tidak pernah dalam situasi seperti ini.
Sementara Gavin sendiri ia terpesona dengan apa yang ia lihat saat ini. Begitu indah, begitulah yang ia pikirkan.
"Hai." Sapa Gavin saking tidak tahunya harus bereaksi seperti apa karena suasana yang canggung itu.
Suasana yang tiba-tiba sangat canggung untuknya karena ini untuk pertama kali nya ia bertemu dengan orang yang selama ini membuatnya hampir mati penasaran ditambah paras nya yang begitu indah.
Gray? Ia hanya diam seribu bahasa layaknya ia tidak mampu berbicara. Suaranya tidak mau keluar layaknya ia seperti orang yang tidak dapat berbicara alias bisu.
Tubuhnya menegang.
Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya mengingat perkataan orang tuanya yang selalu mengatakan untuk tidak bertemu dengan siapapun itu atau tidak ia akan mendapatkan hukuman yang menurutnya mengerikan saat kedua orang tuanya itu mengucapkan kata hukuman. Orang tuanya tidak ada mengatakan hukuman apa yang akan ia dapatkan nantinya. Tapi, cara penyampaian orang tuanya tentang hukuman mampu membuatnya bergidik ngeri.
Seketika ia menjadi takut.
Gray yang tiba-tiba terserang panik dadakan itu langsung melangkahkan kakinya untuk pergi, namun sayangnya Gavin lebih cepat dari perkiraannya. Gray juga berpikir kalau Gavin tidak akan menahannya yang sesungguhnya itu pemikiran yang cukup bodoh kalau dilihat dari situasinya.
Mana mungkin Gavin dengan mudahnya melepaskan dirinya kalau sudah seperti ini bukan?
Gavin juga tidak bodoh untuk memahami apa yang sedang dipikirkan oleh Gray orang yang sedang ia tahan saat ini.
Ia memahaminya bahwa orang yang ada di depannya ini sedang berpikir untuk melarikan diri darinya.
"Tidak perlu takut, aku tidak akan menyakitimu." Kata Gavin untuk meyakinkan orang yang sedang ia tahan dalam genggamannya.
Gavin tidak tahu aja kalau Gray itu bukan takut padanya, melainkan ia takut pada ancaman yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Gray juga tahu kalau Gavin tidak akan menyakitinya mengingat Gavin merupakan sepupunya. Anak dari saudara ayahnya.
"B-bisakah--"
"Ada apa? Kau takut padaku? Tenang, aku tidak akan menyakitimu." Potong Gavin.
Ia tahu betul apa yang ingin dikatakan oleh Gray padanya.
Gavin melihat ke sekitarnya sampai ia menemukan sebuah bangku yang tersedia di sana. Tanpa pikir panjang, Gavin menarik lengan Gray yang sudah ada dalam genggamannya menuju ke arah bangku yang ia temukan.
Bukannya Gavin tidak tahu bagaimana perasaan orang yang ada dalam genggamannya itu ia tahu betul apa yang sedang dipikirkan oleh Gray walau tidak sepenuhnya ia mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh Gray.
"V-vin." Panggil Gray yang dimana membuat langkah Gavin terhenti saat Gray memanggil namanya.
Gavin mengerutkan keningnya saat mendengar namanya dipanggil oleh Gary, membalikkan badannya ke arah Gray dan bertanya, "Kau tahu namaku?" Tanyanya tidak percaya takut-takut ia salah dengar.
Gray yang baru saja menyadari dengan apa yang ia lakukan, Gray langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Ia bungkam seketika.
"Tadi kau menyebut namaku kan?" Tanya Gavin lagi yang mendapat gelengan dari Gray.
"Tidak, tidak, aku sangat yakin tadi kau memanggil namaku. Aku tidak salah dengar, kau memanggil namaku tadi. Pendengaranku masih bagus, kau tidak bisa membohongiku." Kata Gavin masih tidak percaya.
Gray yang mendengarnya hanya diam seribu bahasa menutup mulutnya rapat-rapat. Ia tidak mau keceplosan untuk ke sekian kalinya.
"Apa kau tahu aturan kalau ada orang bertanya itu harus di jawab sesuai dengan apa yang kau ketahui tentang apa yang ditanya orang tersebut?" Kata Gavin menatap ke arah Gray.
Jangan lupakan Gavin masih menggenggam tangan Gray. Ia takut kalau ia melepaskan genggaman itu, Gray akan kabur.
"Sekarang aku bertanya dan kau harus menjawabnya. Pertanyaanku itu sangat mudah untuk di jawab. Kau tidak perlu memikirkan jawaban layalnya kau sedang menjawab soal tes." Kata Gavin mendesak jawaban dari Gray.
Sementara Gray masih pada posisinya. Diam layaknya patung. Gray tidak mau membuka suaranya dan memberitahu siapa dia sebenarnya.
Sungguh ia takut dengan situasi seperti ini meningat perkataan dari orang tuanya yang sebelumnya dimana terkandung sebuah ancaman di kalimatnya.