Sementara Gavin hanya diam mengamati sekelilingnya, seperti ada yang janggal. Dia tahu betul kalau pamannya itu selalu menyisakan satu orang saja saat mereka sekeluarga pergi berlibur.
Satu orang, yaitu satpam untuk menjaga mansion nya itu.
Maling? Tidak mungkin maling. Kalaupun maling dia pasti akan mengambil semua barang-barang berharga yang ada bukannya malah masak nasi goreng. Satu hal lagi, kalaupun itu maling, satpamnya pasti tahu karna mansion pamannya itu memiliki sebuah alat pendeteksi apabila ada orang asing yang masuk ke dalam.
Hantu? Itu sangat tidak mungkin.
Gavin terus melihat ke sekelilingnya dan sesekali melangkahkan kakinya untuk melihat kejanggalan-kejanggalan yang ada sampai ia melihat sebuah ruangan yang dimana pintunya terbuka sedikit.
Ia melihat ke ruangan lainnya yang ternyata semuanya tertutup. Hanya ruangan itulah yang pintunya terbuka sedikit yang membuatnya menaruh curiga pada ruangan tersebut. Gavin pun menaruh seluruh atensinya ke ruangan itu sampai ia melangkahkan kaki nya menuju ruangan tersebut yang diikuti oleh sang adik.
"Kak--" panggil sang adik pelan masih melihat ke sekelilingnya dengan perasaan takut, namun Gavin tidak menjawab panggilan tersebut.
Dia memilih diam dan fokus pada ruangan di depannya sampai ia mengerutkan dahi nya saat melihat sesuatu seperti bagian dari tubuh manusia yang sama-sama mendekat ke arah pintu.
Bagian yang dimaksud adalah kaki. Gavin hanya bisa melihat kaki itu karna keadaan di dalam ruangan itu begitu gelap dan hanya mendapatkan cahaya dari celah pintu yang terbuka sedikit itu.
Gavin tidaklah takut.
Kalaupun itu manusia, ia bisa melindungi dirinya serta adiknya sendiri dengan keahlian bela diri yang ia punya.
Kalau itu hantu, ya kita tidak tahu bagaimana reaksinya nanti mengingat manusia satu ini tidak takut pada apapun ya kecuali pada sang pencipta.
Termasuk kedua orang tua nya juga.
Namun satu yang membuatnya bingung, sampai kerutan di dahinya semakin berkerut melihat kaki itu semakin cepat berjalan ke arah pintu.
Sampai pada detik berikutnya ia menyadari bahwa kaki itu membawanya ke depan pintu itu artinya orang yang di dalam sana ingin menutup pintu itu.
Melihat langkah kaki itu semakin lama semakin cepat membuat Gavin berlari secepat mungkin untuk meraih pintu itu melupakan sang adik yang terjatuh akibat perbuatannya yang spontan itu.
BRAK!
Ya, pintu itu berhasil di tutup oleh orang yang ada di dalam sana yang secara langsung Gavin gagal meraih pintu itu untuk melihat siapa yang ada di dalam sana.
Jangan tanyakan keadaan Yervant saat melihat serta mendengar kejadian itu. Sungguh ia semakin takut.
Ia meraih teleponnya dan menekan nomor pamannya sampai sambungan itu tersambung ke pamannya
"Yak! Paman rumah mu ada hantunya!" Sungguh tidak sopan bahkan ia tidak memberikan salam dan pamannya tidak membalas salam.
Keponakan yang ajaib.
"Astaga bantet! Berhentilah berteriak saat menelpon paman mu ini, bisa-bisa paman jadi tuli karna suara cempreng mu itu!" Kata sang paman, lama-lama ia kesal juga.
"Aku tidak peduli soal itu! Lupakan telingamu yang tuli! Sekarang keadaannya sangat menyeramkan! Paman rumahmu ada hantunya!"
Sementara sang paman hanya merotasikan bola matanya dengan malas melihat tingkah laku keponakannya itu.
Ayolah, zaman sekarang masih percaya sama hantu?
"Paman sedang sibuk, telponnya besok saja. Ok."
"Tidak, tidak, jangan matikan!"
"Halo paman?" Itu Gavin.
Lagi dan lagi ia merampas telepon adiknya, Yervant.
"Halo, Gavin?"
"Ya, paman apakah kau tidak meliburkan asisten rumah tanggamu kali ini?" Tanyanya hati-hati
"Tidak, paman meliburkan semua asisten rumah tangga paman. Hanya satu satpam yang tersisa seperti biasanya.
"Paman, ada seseorang di rumahmu. Aku tidak tahu siapa. Saat ini dia ada di salah satu ruangan yang ada di depanku."
DEG!
Mendengar hal itu, sang paman merasa gelisah. Dia yakin orang yang dimaksud oleh keponakannya itu adalah Gray, anaknya.
"Hal ini juga sering terjadi setiap aku berlibur ke rumah paman sebelumnya. Aku tidak tahu pasti karen aku belum menyelidikinya lebih lanjut lagi. Apakah ada yang paman sembunyikan selama ini?"
Ok, pamannya sekarang mendadak olahraga jantung saat mendengar apa yang dikatakan oleh keponakannya itu. Ia pikir tidak ada yang menyadari keberadaan si bungsu karena selama ini saat keluarga mereka ada di mansion mereka, si bungsu selalu beraktivitas dengan hati-hati. Seakan si bungsu tinggal di dunia yang berbeda.
"Paman, aku tahu kau menyembunyikan sesuatu. Kau tidak bisa membohongiku. Kau bisa mengelabui yang lain, tapi tidak denganku"
Ya, tidak ada yang berhasil menyembunyikan rahasia mereka dari Gavin karena manusia satu itu selalu teliti dalam mencari bukti kalau ada kejanggalan ataupun ada sesuatu yang mencurigakan dimana menurutnya itu harus ia cari tahu.
IQ nya di atas rata-rata.
°Lost Story°
"AYAH!" Teriaknya saat ia tersadar dari pingsannya.
Ia melihat ke sekelilingnya seakan sedang mencari sesuatu. Namun, satu fakta yang bisa ia temukan--
Ah... Ternyata ia sudah berada di dalam kamarnya, tapi seperti ada yang janggal.
--dimana ia sudah berada di dalam kamarnya. Seingatnya ia tadi sedang berada di ruang keluarga bersama ayahnya.
Bicara soal ayahnya, ia melihat ke sekelilingnya berharap sang ayah ada di sana. Namun itu semua hanyalah harapan saja, ia tidak menemukan keberadaan ayahnya.
Ya, sedari tadi ia mencari ayahnya karna sebelum ia kehilangan kesadarannya, ia ingat betul bahwa ayahnya mendekapnya. Memeluknya, pelukan yang sudah lama tidak ia rasakan.
Ya namanya juga orang yang kesadarannya sudah mau hilang sepenuhnya, jelas pelukan itu tidak terasa sama sekali. Hampa.
Andai saja ia bisa memilih, ia pasti memilih untuk tidak pingsan agar ia bisa merasakan pelukan sang ayah. Tapi, itu semua tidak mungkin terjadi kalau saja ia tidak pingsan. Ia yakin sang ayah memeluknya karna itu reaksi yang refleks saat ia melihat seseorang yang sedang membutuhkan bantuan.
Semua manusia pasti mempunyai sisi refleks seperti itu, tapi tidak semuanya karna pasti ada orang yang memiliki hati nurani sebesar 0,01%. Mungkin.
Ia kembali menundukkan kepalanya hingga beberapa saat sampai ia mendengar suara yang berasal dari perutnya.
Ah, ternyata ia lapar.
Gray yang saat itu tengah dilanda kelaparan akhirnya beranjak dari tempatnya dan menuju ke dapur.
Sebenarnya ia tidak bisa memasak, tapi dengan bermodalkan pengetahuannya ia ingin mencobanya. Walau keberhasilannya sangat sedikit, tapi ya mau bagaimana lagi. Ia sangat lapar.
Saat ini ia sudah berada di dapur tepatnya di depan kulkas. Ia berpikir sejenak dan mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia ingin membuat nasi goreng.
Gray pun mengambil bahan-bahannya sesuai yang ia inginkan. Lebih tepatnya yang ia ingat karena selama para maid masak makanan untuk keluarganya, ia selalu melihat semuanya. Melihat bahan apa saja yang diambil, alat apa aja yang digunakan, serta apa saja yang harus di lakukan. Ia melihat semuanya dan menyimpannya dalam otaknya.