Luka adalah sebagai lukisan dalam pembelajaran kehidupan untuk tetap kuat."
-Mawar-
*
Masih di langit Seoul, Korea Selatan. Perempuan cantik itu terpapar sinar matahari untuk pemotretan terakhirnya.
"Mawar, ada yang nyariin kamu tuch,"tunjuk Safira ke seorang pria tampan pemakai setelan jas yang begitu perlente penampilannya.
"Thank's, Fir," ucap Mawar.
"Etss, itu siapa kamu? gebetan baru kamu?" Safira mulai kepo dengan pria itu.
Mawar tersenyum, "Bukan siapa-siapa kok."
"Bohong banget, kalau bukan siapa-siapa kamu," Safira menyenggol lengan Mawar seakan tak percaya dengan pernyataannya.
"Beneran," Mawar berusaha meyakinkan Safira rekan kerjanya.
"Kalau kamu nggak mau, gimana kalau buat aku aja,"ceplos Safira sambil mengangkat satu alisnya.
Mawar hanya meringis menunjukkan deretan giginya,"Nggak janji dech, Safira."
"Aku tahu kalau ujung-ujungnya bakalan jadi ayahnya untuk Si Farhan. Soalnya kamu bilang nggak janji. " Safira menatap wajah Mawar.
"Nggak ada rencana buat comot, atau cari bapaknya buat anakku, lagian honorku udah cukup buat menghidupi anakku,"balas Mawar.
"Halah, emang kamu nggak pengen punya suami, terus jadi kaum rebahan tinggal nunggu uang cair sendiri tanpa perlu kerja kayak gini," sindir Safira.
"Ya, selama aku happy and enjoy, why not?" balas Mawar.
"Susah loch yaa, kasih saran sama kamu, ingat Farhan butuh seorang bapak! Kamu sebagai seorang ibu nggak boleh ego! gimana kalau dia minder waktu pergi ke sekolah, jangan sampai kayak anakku!" tutur Safira.
Mawar menghela napas berat,"Aku masih belum bisa cari pengantinya, hatiku masih terluka."
"Terus? kamu akan sampai tua kayak gini? terus kamu nggak kasihan sama anakmu?"
"Terus sampai kapan kamu ceramahin aku, udah ditunggu dech sama mas Rendra," sela Mawar sambil membereskan beberapa perlengkapannya.
"Ya, susah aku kalau bilangin kamu, Mawar. Sifat kamu yang ratu ngeyel banget itu," ucap Safira.
"Ya, kata kamu hidup itu kudu dinikmati," balas Mawar.
"Emang dinikmati, tapi kalau jadi single mom itu berat tahu, karena kamu belum ngalamin dimana masa anak kamu akan tanya siapa bapaknya," ucap Safira.
"Ya, simple aja. Tinggal bilang bapaknya udah mati, sejak ninggalin ibumu,"balas Mawar.
"Terserah kamu sich, karena kalau anakmu sudah remaja. Tanpa kamu aja, dia akan cari tahu. Karena putriku begitu," ucap Safira. "Karena aku pernah mengalami nasib seperti Farhan."
"Aku pamit dulu ya, Safira. Aku harus jalan dulu, kasihan mas Rendra, soalnya Farhan juga udah kangen sama dia," kata Mawar.
"Idih, anakmu kau buat sebagai alasan sendiri. Ya udahlah mau bagaimana lagi. Hati-hati jangan sampai kecantol calon bapak buat anakmu," ledek Safira.
"Sialan kamu, Fir," umpat Mawar, lalu dia melangkahkan kakinya ke Rendra.
"Hati-hati yaa," Safira melambaikan tangannya ke Mawar.
*
"Sampai kapan gerbang permusuhan di antara kita, dan sampai kapan kita bakalan bersikap seolah acuh," batin Firman menatap bingkai foto keluarganya, ia sangat rindu dengan adik kandungnya.
Sudah hampir tiga tahun Mawar meninggalkan Magelang, apalagi saat ini Pak Kiai Abdullah sering sakit-sakitan, sedangkan Firman setahun lalu sudah menikah dengan Aisyah, perempuan cantik itu.
Firman menerima perjodohannya dengan Aisyah, karena desakan Kiai Abdullah, meskipun ia mencintai perempuan lain dengan status beda agama dan seorang janda beranak satu.
Aisyah sangat mencintai Firman, namun sayangnya cinta tak pernah berpihak kepadanya. Ikhlas adalah jalan yang ia pilih, karena dengan ikhlas dia mampu menjalani rumah tangganya.
"Firman?"
"Iya, Aisyah. Ada apa?"
"Kenapa mas menikahi Aisyah, bukankah mas mencintai Vera?"
Firman menghela napas, ia tidak ingin menyakiti perempuan yang kini sudah menjadi istrinya,"Aku menikahimu, karena kewajibanku terhadap Allah. Dan, Vera adalah masa laluku. Kamu tidak perlu memikirkannya, jagalah kandunganmu."
Aisyah hanya diam, ia tahu Firman bukan tipe lelaki brengsek, dan tidak bertanggung jawab. Tapi, dia adalah tipe lelaki idaman perempuan manapun. Ia selalu saja mengutamakan kebahagiaan orang lain dibandingkan kebahagiaannya sendiri.
"Firman, itu berhak bahagia, dan memilih. Jika, Aisyah hanya beban buat kamu, maka Aisyah ikhlas buat ditinggalin."
"Aisyah, kamu itu ngomong apa sich? Kita menikah tujuannya cuman menyempurnakan iman, dan ibadah kita kepada Allah SWT semata. Cinta itu hanya untuk Allah."
Aisyah terdiam sejenak,"Maafkan aku, mas. Karena, akulah mas meninggalkan mbak Vera."
"Tidak usah kita bahas lagi masalah ini, karena sudah berulang kali ku jelaskan semua ini ku lakukan, karena Allah. Jagalah kesehatanmu, ini sudah malam, sebaiknya kamu tidur."
"Baiklah, Firman. Aisyah mau tidur dulu."
Firman melangkahkan kedua kakinya keluar kamar.
"Firman, mau ke mana?"
"Aku mau ke kamar mandi ambil wudhu."
Firman melangkahkan kedua kakinya keluar. Dia rela berbohong untuk sekedar menelpon Vera. Dia sangat mencintai dibandingkan dengan Aisyah karena mereka menikah dalam sebuah perjodohan.
*
"Kenapa harus bertemu, bila akhirnya kata pisah di antara kita, Ran? Apa kau bahagia bersamanya?"
Ayass melihat pemandangan di antara romansa Haqi dan Rania. Ia merasa teringat masa lalunya saat bersama dengan Rania.
Flash back...
Ayass masih ingat peristiwa awal mula membuatnya jatuh cinta. Di sebuah kos'an di Sidoarjo saat dia mulai koas.
Suara lantunan ayat suci AL-Qur'an yang begitu memikat. Ia jarang sekali menemui perempuan yang masih saja bisa menyempatkan diri untuk mengaji.
Embusan angin segar mengudara, ia pun jadi tertarik dengan setiap tingkah Rania.
Ayass melihat ketulusan hati Rania, perempuan yang sebelumnya tidak memakai hijab. Gayanya begitu elegan, tapi tetap menjaga ibadahnya.
"Gila, aku kira perempuan kayak dia nggak bisa ngaji, ternyata suaranya bikin hembusan aroma surga dunia."
Setiap kali Ayass mendengarkan suara lantunan ayat-ayat sucinya begitu sampai ke uluh hati.
"Jarang ada perempuan yang memiliki suara seindah ini yang hanya dimanfaatkan dalam membaca AL-Qur'an. Kebanyakan mereka hanya menggunakan suaranya untuk menyanyi."
flash back off
Ayass terbangun dari lamunannya, ia mendengar suara salam dari Khadijah.
"Assalamualaikum, Ayah."
"Walaikumsalam," balas Ayass. Ia melihat putrinya dalam keadaan bingung. "Kamu baik-baik saja?"
Khadijah hanya mengangguk.
"Ada apa, putriku sayang?" selidik Ayass.
"Ayah, boleh nggak kalau Khadijah mulai hidup mandiri?"
"Maksudnya?"
"Khadijah pengen kalau kost sendiri, ayah."
"Heem, bukankah berkumpul dengan keluarga lebih enak, sayang?"
"Heem, Khadijah hanya pengen fokus sama tesis yang belum kelar-kelar," ujar Khadijah, "Boleh ya, ayah."
"Kita diskusikan nanti saja, sayang. Karena, ibu kamu juga harus tahu, nak."
"Baiklah, ayah. Kalau gitu Khadijah balik dulu ke kamar," pamit Khadijah, lalu keluar dari kamar Ayass.
*
Di Pondok Pesantren Kiai Abdullah menatap bingkai foto mendiang istrinya, tiap kali ia mengingat kejadian itu, ia merasa sangat benci kepada anaknya.
Kiai Abdullah dan Sri Amanah padahal selalu mendidik kedua anaknya dengan latar belakang agama yang baik, namun Mawar telah salah memilih jalan hingga membuat kecewa keluarganya. Peristiwa hampir tiga tahun lalu menyebabkan kematian Sri Amanah.
"Bapak, ini wedang jahenya," Aisyah.
"Terima kasih, menantuku. Kamu sangat baik sekali, dan Firman pasti bahagia punya istri seperti kamu, nak," puji Kiai Abdullah sambil menyeruput wedang jahenya.
Aisyah hanya tersenyum saat mendapat pujian dari Kiai Abdullah sang mertua.
"Bagaimana keadaan kandunganmu, nak? apa Firman sudah membawamu kembali periksa ke dokter?"
Aisyah hanya mengelengkan kepalanya.
"Loh, bagaimana Firman itu, ini kan anak pertamanya?"
"Maaf, bapak. Mungkin, mas Firman lagi sibuk sama kerjaannya," Aisyah berusaha untuk menutupi suaminya, karena ia tidak mau kalau mertuanya akan marah dengan sikap Firman.
Firman memang suami yang baik tanpa cacat sama sekali, bahkan terlihat sebagai lelaki idaman banyak perempuan. Namun, dibalik semua itu dia memiliki sikap dingin, dan kurang peduli terhadap Aisyah.
*
"Baiklah, Menantuku. Nanti biar bapak yang sampaikan ke Firman, agar dia mengantarmu ke dokter kandungan," ucap Kiai Abdullah sambil menikmati wedang jahe buatan menantunya.
"Bapak, Aisyah boleh bicara sebentar?" ujar Aisyah
"Bicara soal apa, nak?" tanya Kiai Abdullah.
"Soal Mawar?"
Kiai Abdullah langsung tersentak mendengar nama Mawar, "Nak, Bapak sudah tidak punya putri bernama Mawar sejak ia mencoreng nama keluarga bapak tiga tahun lalu."
"Pak, bukankah Allah maha pemaaf?!
"Memang Allah maha pemaaf, tapi bapak masih belum bisa menerima dia kembali, apalagi kematian istri saya, karena dia," ucap Kiai Abdullah dengan penuh penekanan.
Kiai Abdullah masih enggan bicara, atau membahas soal Mawar. Karena, luka sudah ditancapkan berulang kali. Sikap Mawar membuat keluarga besar Kiai Abdullah dikucilkan, bahkan banyak sindiran pedas dari lingkungan sekitar.
Mawar memang putrinya satu-satunya, tidak ada namanya mantan anak. Darah masih dalam satu ikatan, namun rasa kecewa masih belum bisa terobati.
"Maafkan Aisyah, kalau pertanyaan ini membuat bapak sedih, tapi Aisyah hanya ingin keluarga bapak jadi utuh kembali. Tidak ada salahnya untuk memaafkan, namun jika berat biar waktu yang menyembuhkan."
Kiai Abdullah tersenyum," Saya akan berusaha untuk memaafkan berulang kali dan melupakan rasa kecewa saya terhadap putri saya, tapi selalu gagal, menantuku. Apalagi kalau mengingat mendiang istri saya."
"Aisyah!"
"Menantuku, sepertinya suami kamu sudah pulang kerja, kasihan dia menunggumu, dan sambutlah suamimu dengan baik, karena pasti dia lelah dengan pekerjaannya," tutur Kiai Abdullah.
"Baik, bapak. Saya izin buat pergi," pamit Aisyah, lalu keluar dari kamar Kiai Abdullah untuk menyambut Firman.
"Mas, Aisyah segera ke sana," balas Aisyah sambil mengambil langkah cepat, namun terpeleset di lantai.
#_