Selepas berkata dengan kasar seperti itu, Bianca memilih untuk turun, namun ketika ia ingin membuka pintu justru membuatnya sadar jika pintu mobil sudah terkunci dari dalam. Ia juga tidak dapat membukanya jika buka yang pengemudi membukanya. Hal itu membuat ia kewalahan, dan memilih untuk diam sembari menatap kearah lain.
'Dia pikir karena aku ini hanya istri bayarannya, jadi dia bisa memperlakukanku seperti ini. Aku tidak akan menjawab semua ucapan kasar jika aku tidak bersalah,' batin Bianca.
"Oh jadi kamu ingin melawanku ya, begitu? Baiklah aku tunjukkan kalau kamu telah salah memilih melawan suamimu ini," ketua Benny. Ia langsung menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi, sampai membuat Bianca menatap dengan tajam kearahnya, dan membuat Bianca harus berpegangan dengan sangat erat.
Lalu tiba di jalanan yang sepi, dan tidak memiliki adanya tanda kehidupan di sana, dengan tiba-tiba Benny menjalankan mobilnya dengan sangat pelan sampai akhirnya mobil itu berhenti.
"Sekarang turun," perintah Benny, dengan tatapan lurus memandang.
"Turun? Apa maksudmu, Pak? Bagaimana aku bisa turun di tempat sepi begini?" Bianca cemas sampai ia merasa ketakutan dengan apa yang akan suaminya perbuat.
"Aku bilang turun! Ya turun!" bentak Benny sampai menatap kearah Bianca dengan tatapan tajam seperti ingin menerkam.
"Tapi, Pak?" Bianca sungguh tidak percaya dengan semua itu sampai matanya mulai berkaca-kaca.
"Cepat!" bentak Benny dengan suaranya yang lantang.
Bianca sampai terkejut mendengarnya, ia dengan terpaksa membuka pintu mobil pelan-pelan, dan turun di pinggir jalan. Mobil itu langsung bergegas pergi tanpa berpikir akan kembali. Air mata wanita itu pun jatuh membasahi pipinya, ia pun tidak tahu caranya untuk pulang selain berjalan sepanjang perjalanan tanpa tahu kapan ia akan tiba.
Ingin menghubungi seseorang, tapi ketika ia menyentuh saku celananya justru tidak ada ponsel di dalam sana, dan dirinya mengingat jika ponselnya terjatuh ketika dua pria sedang menarik tangannya. Sembari terus berjalan meskipun rasa lelah datang, dan berharap akan ada pertolongan ataupun taksi yang datang. Tapi di tempat itu sangat jarang adanya taksi yang lewat.
Dengan sangat terpaksa Bianca berjalan perlahan-lahan sampai peluh keringat ikut keluar, hingga membuatnya tidak sadar pusing dikepalainya mulai datang, lalu Ia bergumam. "Kenapa penglihatan ku seperti ini?"
Penglihatannya mulai kabur, dan rasanya bumi seakan berputar-putar hingga akhirnya bruk! Bianca ambruk begitu saja tepat dipinggir jalan.
Sudah hampir dua puluh menit lamanya dirinya tidak sadar sampai seketika ada seseorang yang sedang lewat menggunakan taksi di dekat itu. Ketika itu Andien ingin berangkat kerja, tetapi fokus pandangannya mengarah kesamping kiri, sampai dirinya tidak sengaja melihat seorang wanita yang juga ia kenal. Sontak saja membuat matanya tercengang melihat temannya sudah tergeletak tidak sadar dipinggir jalan, taksi yang sudah lewat di depan dengan terpaksa ia hentikan.
"Pak, tolong mundur sepertinya itu teman saya," pinta Andien dengan rasa cemas.
"Baik, Nona."
Ketika taksi tiba dengan begitu tidak menyangka kalau yang ia lihat ternyata benar Bianca, dengan cepat Andien meminta bantuan kepada tukang taksi tersebut untuk membantu membawa masuk Bianca ke dalam taksi itu.
Duduk di samping Bianca sembari membawa naik kepala temannya di atas pangkuannya, Andien pun bergumam. "Ya ampun ... apa yang sudah terjadi denganmu, Bianca? Sudah lama kita tidak bertemu, tapi sekalinya bertemu dalam keadaanmu seperti ini."
Andien yang tadinya ingin berangkat kerja, ia dengan terpaksa harus menunda pekerjaannya hari itu, dan meminta izin untuk libur. Dirinya lebih membela membawa Bianca ke rumah sakit.
Setiba di sana Dokter menjelaskan jika Bianca tidak kenapa-kenapa hanya perlu istirahat yang cukup, dirinya pingsan karena terlalu lama berjalan, dan Dokter hanya memberikan vitamin serta obat penambah darah, karena kekurangan darah Bianca begitu lemah pingsan.
Bianca tidak menyangka jika ada orang yang akan membantunya, ia berpikir jika itu adalah hari terakhir untuk hidup. Ketika itu ia pun berkata. "Terima kasih banyak ya, Andien. Kupikir tadi tidak akan ada yang mau menolongku, tapi untung saja kamu datang. Oh ya apa kamu tidak jadi berangkat kerja?"
Bianca terheran ketika melihat pakaian kerja yang sama dengan ia pakai dulu, itulah mengapa dirinya bingung sebab Andien belum juga berangkat kerja padahal jam sudah menunjukkan pukul sembilan, dan itu artinya dia sudah terlambat satu jam.
"Sama-sama, Bianca. Aku sudah izin cuti jadi tenanglah, tapi yang membuatku bingung kenapa kamu tiba-tiba bisa pingsan di jalanan yang sepi itu? Padahal kan di sana dengar-dengar banyak begal loh," tanya Andien.
Bianca langsung terdiam beberapa saat, kemudian batinnya berkata. 'Jika aku jujur maka aku akan ketahuan kalau sekarang statusku yang sudah menikah dengan bos sendiri, bisa-bisa Andien kaget atau sebaliknya dia akan menertawai ku kar berpikir sudah gila. Ah sebaiknya aku tidak perlu jujur.'
"Ah lupa bawa uang cukup ya sudah terpaksa deh turun di tempat itu, dan aku jalan kaki. Tapi ternyata malah apes begini," sahut Bianca yang mencoba ngeles.
"Memangnya kamu mau kemana sih pagi-pagi sekali? Mana sekarang aku dengar kalau kamu sudah berhenti kerja, padahal kamu baru masuk kerja loh? Kan sayang uangnya yah ... lumayanlah buat kita yang orang kecil ini hidup selama dua bulan." Andien terheran sampai ia bertanya banyak hal, meskipun ketika itu Bianca masih lemas, dan terasa pusing.
"Um ... aku sudah memutuskan untuk tidak lagi bekerja di tempat itu, tapi aku sudah jadi pengasuh anak. Oh ya boleh tidak kalau beberapa hari ini aku tidur di tempatmu? Karena aku takut untuk pulang ke rumah majikan ku, abisnya lagi ada salah paham, bolehkan, Andien?"
'Semoga saja Andien tidak curiga denganku, dan semoga dia tidak tahu kalau aku bukan cuma jadi pengasuh. Aku takut jika semua orang tahu, aku akan di tertawakan apalagi jika sampai Vivian tahu,' batinnya Bianca.
Ketika Bianca untuk menginap, Andien langsung menganggukkan kepalanya mengiyakan sembari berkata. "Tenang ... aku pasti bolehin kok, lagian aku juga senang kalau ada teman. Emangnya kamu kerja di mana sih sampai sial begini? Kalau aku tuh jadi kamu mendingan minggat aja daripada merana batin kan, udah kerja enggak enak, eh jadi orang yang disalahkan."
"Aku tidak bisa keluar seperti itu, An. Karena aku sudah terikat kontrak, tapi sudahlah aku bersyukur dengan pekerjaan ku sekarang yah meskipun memang pada akhirnya aku juga menyesal." Bianca sabar menjawab sampai ia menarik nafas panjang.
"Ya sudah kalau begitu lebih baik kita pulang yuk! Biar kamu bisa istirahat di apartemen ku. Nanti kita bisa curhat." Dengan wajah ceria sampai Andien tersenyum lebar.
"Ya sudah yuk!"
Dengan senang hati Bianca ikut dengan Andien untuk bermalam beberapa saat di tempatnya, mereka berdua pulang bersamaan.
Tiba di sebuah apartemen yang tidak terlalu besar, namun layak untuk di tempati. Andien langsung mengajak Bianca untuk masuk ke dalam, meski bagi Bianca, ia merasa sedikit sungkan dengan bantuan Andien.
"Oh ya, Bianca. Kamu enggak apa-apa kan kalau aku tinggal sendirian di sini? Soalnya aku harus balik kerja lagi. Yah meskipun udah telat, daripada aku libur. Kamu jangan sungkan, anggap aja tempat ini seperti milik mu sendiri ya. Jika ingin makan kamu bisa mengambilnya di kulkas, dan langsung buat soalnya aku belum sempat menyiapkan sarapan, dan kalau mau istirahat ya sudah istirahat saja di kamarku," ucap Andien mulai menjelaskan.
Bianca menganggukkan kepalanya mendengar dengan jelas, lalu ia menjawab. "Baiklah kalau begitu kamu pergilah kerja dan tidak perlu mengkhawatirkan ku, dan sekali lagi terima kasih ya, Andien."
"Iya sama-sama, kita kan teman jadi sesama teman harus saling tolong menolong. Ya sudah kalau begitu aku pergi dulu ya." Andien pamit sembari melambaikan tangannya, dan saat itu Bianca membalas lambaian tangan.
Ketika Andien sudah pergi, Bianca mulai merasa bosan berada di tempat itu, dan ia memilih untuk duduk di ruang tamu sambil menonton televisi. Namun, baru beberapa menit ia duduk tiba-tiba saja Andien kembali lagi masuk ke dalam apartemennya.
Membuat Bianca terheran, dan berkata. "Loh? Bukannya tadi kamu bilang mau pergi kerja ya kok bisa balik lagi? Apa ada yang ketinggalan?"
"Bukan itu, enggak ada yang tinggal kok cuma kamu kenapa enggak kasih tahu aku kalau aku udah ambil cuti untuk hari ini. Hampir aja aku balik kerja lagi terus sia-sia kan toh kehadiran ku juga sudah di absen."
"Ya ampun, aku pun sama denganmu mana mungkin aku ingat, kamu aja lupa apalagi aku kan," sahut Bianca.
"Iya juga ya." Andien tersenyum sembari meluruskan kakinya dan ikut menonton televisi bersama dengan Bianca.
Di tengah-tengah acara mereka menonton televisi, saat itu Bianca mengingat jika Andien adalah mantan dari Nick, sahabatnya sendiri. Jika saja Andien tahu sedang berteman dengan sahabat baik dari Nick, entah apa jadinya. Namun, saat itu Bianca berniat untuk memberitahu dan tidak ingin menutupinya dari Andien.
"Oh ya, Andien. Ku dengar kamu mantannya Nick ya? Nick adiknya Rey." Bianca bertanya, dan sontak saja raut wajah Andien langsung berubah.
"Iya kok kamu bisa tahu sih? Kamu kenal ya dengan Nick?" Andien menjawab.
"Iya aku kenal banget! Malahan sangat kenal, tapi hubungan kami hanya sebagai sahabat jadi kamu tidak perlu khawatir."
Mendengar kedekatan antara Bianca dengan mantan pacarnya begitu dekat, membuat Andien mulai merasa bosan dan jenuh, raut wajahnya pun terlihat tidak senang seperti sebelumnya, namun Andien tetap berusaha terlihat tidak sedang cemburu di depan Bianca.
"Wah bagus dong kalau begitu berarti aku ada kesempatan untuk bisa kembali dekat dengan Nick. Kamu mau kan membantuku, Bianca?" Andien dengan sengaja meminta pertolongan, di tambah raut wajahnya ceria seperti sedang di paksakan.
"Tapi aku harus membantu mu seperti apa?" Bianca kebingungan.
"Yah bantuan seperti mencoba kembali mendekatkan hubungan ku dengan Nick. Oh ya katamu kan kamu sahabatnya, apa setelah putus denganku dia pernah memiliki hubungan dengan orang lain? Ataupun dia sudah mencintai orang lain?" tanya Andien.
Bianca langsung menggelengkan kepalanya lalu menjawab. "Sepertinya tidak ada."
"Kalau begitu baguslah berarti aku ada kesempatan untuk bisa kembali dekat dengan Nick. Oh ya nanti malam ke club' yuk! Kau pasti tahukan kalau Nick bekerja di sana? Jadi menurutku sebaiknya kita pergi ke sana saja agar aku bisa kembali dekat dengannya, lagian kalau kita terus duduk diam di rumah seperti ini yang ada jenuh. Kamu mau kan, Bianca?" Andien mencoba memohon sembari menggenggam tangan temannya.
"Um, baiklah tetapi aku tidak ingin minum, jadi kalau kamu mau aku hanya akan melihatnya saja." Dengan sangat terpaksa Bianca mengiyakan ajakan temannya itu meskipun dia rasanya sungguh tidak berniat untuk memasuki tempat itu apalagi dirinya mengingat dengan statusnya yang sekarang.
'Semoga saja di sana tidak ada Benny, jadi aku tidak perlu merasa bersalah dengannya apalagi jika orang lain tahu siapa diriku sekarang pasti itu akan membuat Benny malu,' batin Bianca.
Ketika permintaan Andien di iyakan oleh Bianca, sungguh membuat Andien senang dan ceria. Keduanya pun melanjutkan menonton televisi sampai tidak terasa hari sudah menjelang sore, dan tiba-tiba saja mereka terbangun di depan televisi yang masih hidup dengan sendirinya. Saat itu mereka berdua tidak sadar jika sudah tertidur di sofa ruang tamu.
Bunyi ponsel milik Bianca terus bergetar, ia sampai lupa untuk kembali menghidupkan dering ponselnya. Hingga ketika ia melihat bahwa di dalam ponsel itu sudah tertera tiga puluh tiga panggilan tidak terjawab dari Nick, namun saat Bianca melihatnya. Ia merasa kecewa sebab tidak ada satupun panggilan masuk dari suaminya.
"Ternyata setelah dia menurunkan ku di jalan, dia juga tidak menghubungi ku lagi," gumam Bianca dengan raut wajah sedih. Namun, gumaman nya itu sempat terdengar oleh Andien meskipun samar-samar terdengar, sebab saat itu Andien juga sedang mengumpulkan kehidupannya setelah terbangun dari tidur siang yang panjang.
"Hooammm! Siapa yang tidak menghubungi mu, Bianca?" tanya Andien sambil menguap.
"Eh tidak ada hanya ada Nick yang menelepon ku," sahut Bianca mencoba ngeles.
"Apa? Nick?! Wah ... bagus dong! Sebaiknya kamu telepon balik terus bilang kalau nanti malam kita akan ke club' malam di mana ia kerja." Dengan tiba-tiba Andien latah sampai matanya melotot sempurna saat mendengar nama Nick.
Bianca hanya bisa menuruti saat Andien begitu salah tingkah. Lalu menekan panggilan kearah Nick, dengan sengaja Bianca tidak memperbesar volume ponselnya itu, sebab ia tahu Nick pasti sedang khawatir dengan keadaannya itu.
"Hallo, Bianca. Kamu sedang di mana? Sama siapa? Kenapa panggilan ku tidak kamu jawab? Kau tahu aku begitu khawatir denganmu, ayolah Bianca jangan buat aku khawatir, aku sedang sakit nih akibat ulah sialan suami kejam mu itu." Nick begitu cemas sampai dia bertanya terus-menerus tanpa memperdulikan wajahnya yang sedang babak belur akibat pukulan dari Benny.
"Maafkan aku, Nick. Aku baru bangun tidur siang, dan sekarang di rumah teman. Jadi kamu tidak usah risau ya. Oh ya aku ingin beritahu kalau nanti malam aku akan datang ke club' tempat mu bekerja," ucap Bianca sembari melirik kearah Andien.
'Kasian Nick, dia pasti sangat sakit mendapat pukulan itu, tapi sekarang dia pasti tidak ingin tinggal di rumah apalagi setelah mendengar aku pergi ke club," batin Bianca.