"Maaf Pak Abi, ponsel bapak ketinggalan."
"Terima kasih, nama kamu siapa?" tanya Abi sebelum ia pergi kemasjid.
"Ilham, Pak."
Abimayu langsung memasukkan ponselnya ke saku celananya dan memberikan Ilham kartu namanya. Tertera nama Abi dan perusahaan Store.Id. Ilham merasa ia sedang bermimpi saat itu.
Allahuakbar Allahuakbar…
Langkah kaki Haura dan Intan terhenti begitu saja setelah mendengar lantunan Azan yang sangat merdu, melebihi suara Faiz. Suaranya lembut hingga masuk ke hati, membuat yang mendengarnya tenang.
Lantunan itu baru pertama kalinya terdengar di kampus Haura. Biasanya suara Faizlah yang menggema. Haura dan Intan dibuat merinding dengan lantunan itu, begitupun dengan orang lain yang hendak ke masjid.
"Kok beda lagi ya, Ra lantunan azannya. Ini jauh lebih merdu dari biasanya. Kira-kira siapa yang mengumandangkan azan zuhur ini. Aku jadi penasaran, Ra?"
"Istighfar, Tan."
"Astagfirullah, Astagfirullah, Astagfirullah," sebut Intan dengan sangat menyesal."
Akhirnya mereka mempercepat langkahnya menuju masjid dan langsung menunaikan sholat zuhur berjamaah. Raka'at demi raka'at sholat zuhur itu begitu pelan dan khusyuk. Para makmum begitu menikmati sholat zuhur siang itu.
Beberapa mahasiswi sudah heboh membicarakan siapa yang mengumandangkan azan dan menjadi imam setelah sholat zuhur. Mereka juga penasaran siapa pemilik suara merdu itu.
"Tan, bantuin aku dan yang lainnya merapikan Aula ya," pinta Haura kepada sahabatnya itu.
"Siap Bosque."
"Ngomong-ngomong tadi pagi kamu dari mana, Ra?" Intan belum puas jika Haura tidak memberi jawaban atas pertanyaannya.
Haura diam sejenak. Ia memikirkan jawaban yang pas untuk Intan. Bisa saja Intan malah menggoda Haura karena sepagi itu sudah mencari Abimayu, sang calon suami.
Akhirnya, ia memutuskan untuk bicara sejujurnya, lagian Intan juga sudah tahu dengan perjodohannya itu. Jadi, tidak ada lagi yang perlu di tutupi Haura dari Intan.
"Tadi aku ke Store.Id."
"Apa? Sepagi itu, buat apa?"
"Cuma mau mastiin kalau Pak Abi akan datang tepat waktu. Sayangnya tadi dia tidak ada di kantor, mungkin langsung berangkat dari rumah."
Intan membulatkan mulutnya dan mengerti. "Oh gitu, sampai telepon aku nggak di angkat," sindir Intan.
Seketika Haura ingat, dia memang tidak membawa ponselnya waktu ke kantor Abimayu. Dan ia juga lupa menaruh ponselnya dimana. Haura juga sudah memeriksa tasnya, tapi ponselnya tidak ada.
"Tadi yang ngambil tas aku siapa, Tan?" tanya Haura.
"Ilham, Ra."
Dari taman dekat masjid Haura berlari menuju Aula jurusan. Ia baru ingat pagi tadi ia sempat mengeluarkan ponselnya dan duduk di sofa yang tadinya di tempati Abimayu.
Perasaannya mulai tidak enak. Ia tiba di Aula dalam keadaan nafas yang ngos-ngosan karena habis berlari dan langsung menuju sofa yang di depan. Namun, tidak ada ponsel siapapun di sana.
"Ham, lihat ponsel kakak nggak, di sofa ini?" tanya Haura.
"Itu ponsel kakak? Ilham kira itu punya Pak Abi, soalnya di sofa yang di duduki Pak Abi, tadi nyelip, Kak," ujar Ilham.
"Sekarang ponselnya mana?" tanya Haura.
"Udah Ilham kasih ke Pak Abimayu, Kak."
Tubuh Haura seketika lemas tak berdaya. Sedangkan Ilham tidak berhenti meminta maaf kepada Haura. Tidak sedikit pun Haura marah atau menyalahi Ilham, karena itu juga terjadi secara tidak sengaja.
"Kak, sekali lagi maafkan Ilham ya."
"Bukan salah kamu, Ham. Terima kasih atas kerja samanya hari ini ya. Kalian yang terbaik, semangat terus ya. Semoga kuliah kalian lancar."
"Terimakasih kembali, Kak. Senang bisa kerja bareng kakak."
Kini tersisa Intan dan Haura yang di ruangan Aula. Semuanya sudah dirapikan oleh Ilham dan teman-temannya. Jadi, Haura dan Intan tidak perlu lagi beres-beres. Palingan ke ruang Pak Indra untuk menyampaikan laporan acara.
"Tan, boleh pinjam ponsel kamu nggak? Kamu ada pulsa kan?"
Intan senyum mencurigakan. "Kalau berdering berarti ada, Ra. Tapi kalau bukan Pak Abimayu yang angkat, berarti pulsa ku habis. Paham kan maksudnya."
Dsst Dsst Dsst
Saku celana Abi bergetar dan membuatnya geli. Ia mengeluarkan ponsel yang di berikan Ilhm sewaktu di kampus. Betapa kagetnya Abi melihat nama Intan cantik tertera di layar ponsel yang sedang di pegang Abi.
Ia secara spontan melempar ponsel Haura ke kursi di sampingnya dan mengenai gagang pintu dalam mobil. Al hasilnya ada sedikit retak di bagian samping ponsel itu. Kemudian Abi memberanikan diri mengangkat panggilan itu.
"Assalamu'alaikum, apa ini Pak Abi?" tanya Haura.
Abimayu hanya diam dan membiarkan Haura melanjutkan ucapannya. Abi juga tidak tahu harus bagaimana. Lagi dan lagi ia berurusan dengan Haura. Mungkin itulah takdir, sejauh apapun takdir itu akan menemui tuannya.
"Maaf Pak, Ponsel yang di berikan Ilham tadi adalah ponsel saya. Kira-kira dimana ya saya bisa mengambil ponselnya?"
"Saya tidak akan balik ke kampus kamu. Ambil di perusahaan saya sekarang juga!"
Abimayu mematikan panggilan secara sepihak, bahkan Haura belum sempat mengucapkan salam. Intan di buat kesal dengan sikap Abimayu yang seenak jidatnya memperlakukan orang lain.
Kalau bukan memikirkan perasaan Haura. Sudah sejak tadi Intan mengomeli Abimayu. "Belum jadi suami udah gini, Ra. Bagaimana kalau sudah …."
Haura menutup mulut Intan dengan tangannya. " Kamu mau ikut ke perusahaan Pak Abi nggak, siapa tahu bertemu jodoh disana," canda Haura tapi serius. "Aku doakan semoga Allah pertemukan kamu dengan laki-laki terbaik pilihan-NYA."
"Aamiin Ya Allah." Sebenarnya Intanlah yang kebelet nikah di banding Haura, tapi dapat jodohnya Haura duluan.
Mereka berpisah di koridor Aula. Intan akan ke perpustakaan untuk melanjutkan skripsinya. Sedangkan Intan menuju perusahaan Abimayu. Untuk kedua kalinya Haura harus ke kantor Abimayu.
Ia tiba-tiba teringat dengan masalah tanah Desa Kenari. Ia pikir itu waktu yang tepat untuk membahasnya kembali, karena kalau tidak sekarang mungkin Haura tidak bisa mengurusnya dalam waktu dekat, Karena akan mempersiapkan acara pernikahannya.
Haura menghampiri wanita yang biasanya dia temui sebelum bertemu dengan Abimayu. Namun, kali ini wanita itu langsung membawa Haura naik lift.
"Biasanya Mbak nanya dulu kalau saya udah buat janji atau belum kepada Pak Abimayu?" tanya Haura penasaran.
"Ini langsung dari Pak Abimayu, Mbak."
"Oh. Terimakasih, Mbak sudah mengantar saya."
Tok Tok Tok..
"Assalamu'alaikum."
"Silahkan masuk dan ambil ponsel kamu di atas meja tamu itu," ucap Abimayu yang sedang membelakangi Haura.
Haura langsung mengambil ponsel itu, tapi belum keluar karena ingin membicarakan masalah tanah. Sebenarnya ia sedikit takut dan ragu, tapi melihat wajah anak didiknya ia memberanikan diri.
"Oh ya, ponsel kamu tadi jatuh saat saya masuk mobil. Saya akan mengganti ponselnya nanti."
Haura memeriksa ponselnya itu dan benar saja ada sedikit retak di bagian pinggir ponselnya. Namun, Haura tidak mempermasalahkan hal itu.
"Maaf Pak, bukannya saya lancang atau mengungkit kembali masalah tanah Desa Kenari. Tapi, Apakah Pak Abimayu sudah memeriksa kebenaran surat-surat tanah itu memang atas nama orang yang menjual tanah itu?"
Merasa tidak terima dengan apa yang Haura katakan, Abimayu langsung menyuruh Haura untuk keluar dari ruangannya.
"Sejak awal saya memang curiga kalau kamu sudah merencanakan ini semua?!"