Matahari bersinar tidak terlalu terang dan panas, hanya bisa menghangatkan sebagian kecil, melelahkan salju yang membeku perlahan-lahan. Tahun akan segera berganti. Tinggal 3 hari lagi, maka Akhir tahun berakhir, dan semakin mendekati waktu berakhirnya taruhan.
Noey sibuk dengan Momo, seperti biasanya, memandikan anaknya, menyiapkan sarapan, susu, serta kebutuhan yang lain.
Setiap hari, pria itu semakin cekatan mengurus buah hatinya, yang tumbuh seiring waktunya.
"Momo... Ayah akan menangkap penjahat, jadi Momo jangan rewel ya..." kata Noey berbicara pada anaknya itu, seakan putrinya bisa mengerti apa yang di katakan olehnya.
Deringan telpon masih saja berbunyi sejak tadi, meminta pria itu segera ke kantor.
"Iya... Iya... Aku tidak bisa datang, aku akan kembali ke TKP dan ke rumah sakit melihat mayatnya lagi..." kata Noey sambil menutup telponnya.
Belum juga orang di seberang telpon mengatakan apa yang ingin di katakan olehnya, langsung di matikan.
"Dasar pria ini..."
"Kenapa ketua? Apa sunbae mematikan telponnya lagi?" tanya salah seorang anggota tim mereka sambil terkekeh. "Katanya dia ingin pergi ke TKP, dan melihat mayat wanita yang meninggal,"
"Aa... Begitu ya! Tapi... Aku penasaran dengan gadis yang kemarin berada di TKP, dia seperti seseorang yang melakukannya langsung. Aku malah lebih ketakutan padanya,"
"Benar juga, aku lupa menanyakannya,"
"Bukankah dia membuat jaminan?"
"Tidak. Itu bukan atas namanya," kata Ketua Tim sambil melihat kembali informasi yang di tulis oleh Awan.
"Profesor Ethan Lee..." kata pria itu, sambil mengingat nama yang di tulis oleh Awan. "In... Ini... Apa..." ketua Tim itu merasa familiar dengan nama itu.
"Tapi jika pria ini ketua, aku ingin mengajaknya bertarung," kata Pria itu sambil mengumpat, membuat yang di bicarakan di tempat lain bersin.
"Ouh... Siapa yang berbicara buruk tentangku," kata Prof. Lee. "Lebih baik aku menelfonnya saja," kata pria itu sambil duduk dan meraih ponselnya.
"Di mana?" tanyanya, saat telponnya di angkat seketika.
"Aku sibuk,"
"Sudah makan? Jangan lupa pakai jas musim dingin,"
"Iya, sudah,"
"Baguslah, kau tidak membuat hal-hal berbahaya bukan?"
"Tidak,"
"Syukurlah!"
"Aku hanya membantu, memecahkan kasus Pembunuhan berantai," Seketika pria itu membulatkan matanya, dan memegang tengkuk bulan miliknya.
"Awan... Kau..."
"Aku sibuk," kata Awan sambil mematikan telponnya.
Dia tahu, apa yang akan di bahas oleh pria itu padanya, jika bukan mengomelinya, pasti akan melarangnya.
Telah sehari berlalu Awan berada di Korea, dengan sebuah kasus yang harus dia selesaikan dalam jangka waktu empat hari kedepan sebelum tahun baru; atau dia harus bersiap kalah, dan menerima semua perintah pria itu selama dua belas bulan, empat mbula, tepatnya setahun, dan dia paling membenci kalah.
Beberapa pesan selalu masuk dari ponsel lama miliknya, membuatnya memeriksa pesan itu. Pesan dari adik laki-lakinya.
"Min-na, kau bisa membantu?" tanya Awan dengan tiba-tiba, membuat anak yang tengah sarapan itu melirik ke arahnya, dan menganggukkan kepalanya, setelah itu melepaskan sendok miliknya.
"Aku siap melakukan apapun untuk membantumu," kata Min-na dengan penuh semangat.
"Berikan nomor Ponselmu,"
"Aku tidak punya ponsel," katanya dengan nada melemah.
"Apa?" Awan hanya bisa menatap bingung, di negara canggih seperti saat ini, tidak memiliki ponsel. Bisa di mengerti, mungkin karena dia tidak punya uang untuk membeli.
"Aku tidak punya,"
"Ini, pakai dulu. Sampai kau memiliki ponsel," kata Awan sambil memberikan sebuah ponsel berwarna hitam. "Ini ponsel keluar tahun kemarin di sini, kau bisa menggunakannya untuk sementara. Jangan sampai hilang, ponsel itu sangat istimewa bagiku," kata Awan sambil memakai mantel.
Suasana koridor begitu sunyi. Ya, sunyi karena beberapa penghuni kamar lainnya pergi meninggalkan apartement karena ketakutan, di temukannya mayat.
Awan memasuki apartement 211, diikuti oleh Min-na di belakangnya.
Awan kini mulai melihat sekeliling dengan teliti. Matanya menelisik semua sudut ruangan, hingga tak ada yang tersisa. Tiba-tiba Awan teringat sesuatu, membuat gadis mu'alaf itu keluar tanpa memberitahu Min-na apa yang akan ku lakukan.
Awan sangat yakin, jika anak remaja yang tengah bersamanya itu—Min-na memiliki pertanyaan namun tak berani untuk bertanya pada pada gadis itu. Hingga langkah kaki Awan berhenti.
"Mengapa kita kesini?"
"Aku ingin menemukan sesuatu," kata Awan. "Kau akan tahu, jika kita sudah masuk ke dalam toko ini," kata Awan lagi sambil melangkah memasuki tempat itu.
Senyuman ramah yang pertama kali di lihat oleh Awan ketika masuk ke dalam toko itu.
Etelase tokonya terlihat barangnya bertambah, tidak seperti biasanya.
Sebelum kedatangan Awan, Noey lebih dulu datang di tempat itu mengecek CCtv, dan meminta file berkasnya.
Pria yang kemarin yang di temui oleh Awan menyambut dengan ramah. Senyuman dibibirnya terukir, rambutnya di ubahnya menjadi acak-acakan. Namun tidak membuatnya kehilangan pesonanya.
"Ini barang yang kemarin ku katakan, baru saja sampai," kata pria itu sambil memperlihatkan sebuah kamera pada Awan.
Awan menyukai fotografi, kebanyakan yang dia ambil gambar objek, saat dia memecahkan kasus. Dia juga memiliki kamera, tapi di hancurkan olehnya.
"Ini," kata Awan sambil memberikan sebuah kartu.
Noey tengah membuka buku catatan kecilnya, sambil menceklis tempat-tempat yang di datangi olehnya. Dari kejauhan Noey melihat gadis yang di kenalnya itu.
Rasa penasaran yang belum hilang, semakin mengebu di dalam hatinya.
Ada apa dengan Noey, sosok Awan membekas.
"Lee—Kyusonim, Pinjamkan aku mobilmu. Aku akan mengirimkan lokasiku," sebuah pesan Awan tulis kemudian di kirim pada seseorang, yang di panggilnya Lee—Kyusonim, yang artinya Profesor Lee.
Pria yang di kirimkannya pesan itu merasa aneh ketika mendapatkan pesan. Namun dia mengirimkan mobil itu pada Awan.
Udara dingin membuat Awan seperti seorang tunawisma yang tengah menunggu belas kasihan, gadis itu sesekali duduk di trotoar jalan. Sesekali Min-na, anak remaja yang bersamanya menertawainya. Awan tahu, apa yang tengah di tertawakan oleh anak itu.
Noey yang berada di seberang jalanan, dan tengah menikmati Ramen di Toserba ikut tertawa. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, mengapa dia tertawa melihat gadis itu? Mengapa dia penasaran, belum terjawab olehnya sama sekali.
Sebuah mobil berhenti tepat di depan Awan. Seorang pria keluar dan memberikan kunci mobil pada gadis itu.
Sebuah pantulan dari kaca mobil terlihat, jika sedari tadi seseorang tengah memperhatikannya.
"Emm... it... itu... aku harus memanggilmu apa?" tanya Min-na, yang sejak semalam belum tahu nama Awan.
"Awana, kau boleh memanggilku Awana," kata Awan sambil memakai sabuk pengamannya. untuk pertama kali baginya menyetir mobil di negara itu, tentunya dia punya SIM, yang di berikan oleh Profesor Lee padanya.
"Kau tahu membawa mobil?" tanya Min-na.
"Tenang saja, kita tidak akan mati, paling hanya sampai masuk RS saja," kata Awan sambil menyetir mobilnya.
Bersambung...