Di sosial media kini sudah ramai yang memposting foto Rafandra yang menjadi barista kedai camilan di tempat Nadia bekerja walaupun hanya sesaat. Memang siapa lagi yang mengunggahnya jika bukan salah satu dari dua mahasiswi yang tadi berada di kedai.
Siapa yang menyangka kalau dua mahasiswi itu adalah gadis yang cukup populer di sosial media, jadi foto Rafa dan Nadia bisa langsung tersebar luas begitu saja. Dan beberapa dari postingan sosmed itu di lihat oleh Yuna yang kebetulan bersama dengan Lia.
"Eh, ini... Ini..." Yuna heboh hingga memukul-mukul tubuh Lia yang sedang menikmati coklat panas.
"Akh... Sakit tau, kenapa sih ya ampun sampe tumpah kan coklat gue," Pekik Lia kesal lalu mengusap meja yang kotor karena coklat itu dengan tissue.
"Lihat ini deh ..."
Yuna menunjukkan postingan foto Rafa yang berdiri menyiapkan pesanan kopi. Dan di sampingnya ada Nadia. Keduanya terlihat seperti sedang mengobrol dan itu benar-benar tampak sangat alami.
"Rafa?? sama Nadia kan ini?" Lia kaget hingga melongo.
Yuna mendorong dagu Lia agar mulut ya tertutup. Gadis itu mengerjapkan matanya cepat merasa tak percaya dengan apa yang ia lihat barusan.
"Sudah jelas. Kenapa masih tanya?" dengus Yuna.
"Wuah... Yang benar saja. Bagaimana kalau Bianca tau tentang ini?" Lia menatap Yuna sambil mengerjapkan matanya cepat.
"Kenapa lo tanya sama gue?" sahut Yuna.
"Seharusnya lo udah bisa ngebayangin nya kan?" lanjut Yuna sambil menscrolling layar ponselnya.
"Ck, malang sekali nasib mu Nadia.." lirih Lia.
"Apa perlu ya gue kasih tau ini ke Bianca? Kira-kira tuh anak udah tau tentang ini belom sih?" tanya Yuna sambil fokus melihat postingan itu.
"Lo udah gila ya? Atau lo udah nggak punya perasaan?!" bentak Lia spontan.
Gadis cantik berambut hitam panjang itu menatap temannya dengan lekat. Yuna pun langsung mengalihkan perhatiannya juga ikut menatap Lia. Kedua gadis cantik itu kini saling bertatapan satu sama lain.
"Bianca bisa marah banget sama Nadia kalau lo kasih tau foto ini ke dia. Biarin aja dia tau sendiri nya tentang foto ini," sambung gadis itu.
"Kenapa lo jadi perduli banget sama Nadia? Lo kasihan sama cewek itu? Jangan ngaco lo. Kalau Bianca tau lo belain dia, bisa kena marah habis-habisan lo," sahut Yuna.
Lia memicingkan matanya ke arah Yuna.
"Lo sama sekali nggak pernah punya pemikiran jauh ya? Gimana kalau seandainya yang ada di posisi Nadia itu lo? Lo bisa bayangin perasaan dia atau enggak?" tanya Lia dengan raut wajah serius.
Yuna terdiam tak bisa berkata.
"Kadang gue berpikir kalau Bianca itu udah keterlaluan banget sama Nadia. Dia bahkan sama sekali gak kasih Nadia hak untuk bahagia. Kalau gue boleh ngomong dengan jujur, Bianca itu terlalu kejam," ucap Lia sambil mendengus pelan.
"Tapi mau bagaimana lagi? Gue juga sama takutnya sama si Nadia itu. Kalau gue coba buat hentikan dia, yang ada bisa-bisa gue bakalan di kirim ke pemakaman sebelum waktunya," sambung Lia sambil menggelengkan kepalanya ngeri.
"Jadi, sebenarnya lo kasihan pada Nadia?" Tanya Yuna.
"Ya lo bayangin aja seperti apa perlakuan Bianca sama Nadia selama ini. Cuma orang yang nggak punya perasaan yang nggak punya rasa kasihan sama Nadia!" tegas Lia.
Dan setelah mendengar itu, Yuna sama sekali tidak bisa berkata apa-apa lagi karena apa yang dikatakan oleh Lia itu benar adanya. Selama ini apa yang sudah dilakukan oleh Bianca kepada Nadia benar-benar melampaui batas dan bisa dikatakan bahwa Bianca itu sangat kejam kepada saudara tirinya.
Namun tidak ada yang bisa mereka berdua lakukan selain diam dan menuruti apa yang diperintahkan oleh Bianca. Bahkan terkadang mereka kembali berpikir apakah Nadia dan Bianca itu benar-benar bersaudara satu darah atau tidak. Sebab di antara kepribadian keduanya benar-benar saling bertolak belakang, dan mereka benar-benar tidak bisa berpikir apa alasan sifat Kedua saudara itu saling bertolak belakang.
Bianca dengan sifat keras kepalanya dan juga sangat egois, sedangkan Nadia dengan sifatnya yang lemah lembut dan selalu mengalah dalam keadaan apapun dan sesulit apapun selalu bersabar tidak pernah menyalahkan keadaan atau siapa pun ketika dirinya menghadapi segala masalah.
****
Sesampainya di rumah, Rafa masuk sambil senyum-senyum sendiri. Hingga ia tidak menyadari bahwa ada Mama dan Kakak nya yang sedang bersantai di ruang tengah. Melihat Rafa yang tersenyum tanpa sebab membuat kedua orang dewasa itu saling berpandangan sesaat.
"Hoho... Sepertinya ada yang habis berkencan," suara Kakak Rafa sukses mengejutkan anak laki-laki yang berjalan menuju kamar nya itu.
"Kak Mark!" pekik Rafa sambil mengelus dadanya.
"Itu lagi mikirin apa sampai nggaj sadar kalau ada Mami nya?" goda Siska -Mama Rafa dan Mark-.
"Ehehe, bukan apa-apa kok, Ma..." Sahut Rafa sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Bo'ong banget!" seru Mark.
"Apasih, Kak!" ketus Rafa.
"Mulai berantem nya... Apa perlu Mama bawain alat buat tawurannya?" sela Siska sambil menatap kedua putranya dengan tajam secara bergantian.
"Mama!" decak Mark dan Rafa bersamaan.
"Ahaha... Bercanda sayangnya mama,"
Siska tertawa kecil melihat tingkah laku kedua putranya yang masih seperti anak-anak, padahal usia Mark sudah mau menginjak 22 tahun, sedangkan Rafa sudah berusia 18 tahun bulan lalu.
"Udah sana mandi, habis itu makan. Mama udah masakin makanan kesukaan kamu," sambung Mami Siska.
"Makasih Mama... Lop yu.." Rafa memberikan flying kiss untuk Mama nya dan berlalu begitu saja.
Siska menghela nafas dan menggeleng pelan. Kini perhatiannya beralih pada Mark yang sedang cengengesan melihat ponselnya. Siska mengerutkan keningnya sambil memandang Mark dengan heran dan kebingungan.
"Kamu kenapa, Kak?" tanya Siska pada putra sulungnya itu.
Mark mengalihkan perhatiannya sebentar untuk melihat maminya, kemudian bergeser mendekati sang mama.
"Lihat ni, Ma..." Mark menyodorkan ponselnya.
"Ada apa?" Siska mengambil ponsel Mark dan melihat sebuah postingan seorang gadis yang ber- foto bersama putra bungsunya .. Rafa.
"Apa ini? Dia bekerja jadi pelayan di kedai camilan?" tanya Siska pada Mark.
Mark menggeleng dan men- scroll layar ponselnya. "Lihat yang ini,"
Terpampang foto Rafa sedang bersama seorang gadis yang tidak terlihat wajahnya itu melayani pelanggan. Siapa lagi kalau bukan Nadia Arsa Wijaya.
"Pasti dia yang jadi alasan kenapa Rafa bisa jadi pelayan kedai. Dia nggak kerja, Ma. Cuma lagi PDKT aja," jelas Mark pada mama nya itu.
Siska mengangguk paham. "Ah, anak itu selalu ada saja cara untuk mendekati gadis incarannya. Ck,"
"Dia sudah cukup paham untuk urusan seperti ini. Iya kan, Ma?" Mark menyengir kuda.
"Lalu? Kamu? Kapan membawa kekasih mu ke rumah? Apa kamu ingin di kalah kan oleh adikmu?" goda Siska.
Benar, selama ini Mark belum pernah sekalipun mengajak seorang gadis untuk di kenalkan pada Mama nya itu. Mark sedang mencari seseorang, seorang gadis yang sama ketika ia pertama kali bertemu dengannya. Jadi, Mark masih menunggu cinta pertama nya yang masih ia cari.
"Belum saat nya, Ma... Nanti Mark pasti kenalin ke Mama kok. Mark masih harus fokus untuk kuliah dulu, jangan khawatir. Jodoh Mark udah ada, cuma masih nyasar doang. Ehe.."
Siska mendengus ketika mendengar pernyataan dari anak pertamanya itu. Ini bukan kali pertamanya Mark berbicara seperti itu kepadanya. Ketika Mark di tanya mengenai pacar, maka jawabannya pasti sama dan ia selalu mementingkan pendidikannya terlebih dahulu.
Mark memang memiliki cita-cita yang cukup tinggi, ia ingin menjadi seorang dokter ahli bedah sebelum usianya menginjak 25 tahun. Dan semua itu memang perlu perjuangan, sebab di keluarga mereka hanya Mark yang bisa di andalkan ketika mamanya nanti sudah tidak bisa bekerja lagi.
Awalnya yang tinggal di Jakarta hanya Mark saja karena harus menempuh pendidikan di universitas ternama, namun seiring berjalannya waktu Siska juga harus di pindahkan ke Jakarta karena urusan pekerjaan. Alhasil ia juga ikut menemani Mark di Jakarta dan mengizinkan putra bungsunya untuk masuk sekolah umum supaya bisa mendapatkan teman yang lebih banyak.
"Ya sudahlah, sepertinya masih lama harapan Mami untuk menggendong cucu..." Siska merengut palsu.
"Mama... Jangan menggoda Mark!!" decak Mark yang kesal ketika mamanya itu meminta cucu. Padahal pacar saja Mark tidak punya.
Sementara Mama nya itu terkekeh geli dengan tingkah putra nya. Siska memang senang menggoda putra sulungnya itu karena Mark masih memiliki sifat yang sangat manja, bahkan lebih manja dari sifat adiknya sendiri. Namun, hal itulah yang menjadikan Siska begitu sayang dengan kedua putranya yang selama ini menjadi penyemangat hidupnya.
***
Rafa menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuk kamarnya. Senyum di wajahnya tak kunjung mereda. Anak itu masih terus tersenyum tanpa alasan. Sebenarnya bukan tanpa alasan, hanya saja ia senang karena tadi bisa menemani Nadia walaupun tidak lama.
Ada sedikit rasa kecewa di benak Rafa, tetapi Rafa masih tetap berpikir positif dan meyakinkan dirinya kalau Nadia bukanlah orang yang sedingin itu.
"Arghhh... Bisa gila aku jika seperti ini terus-menerus. Kenapa wajahnya selalu membayangi pikiran ku? Sadar Rafandra, Sadar!" gerutunya gemas, lalu berguling-guling tak jelas di atas kasur.
Tingg!!
Bunyi notifikasi dari ponselnya Rafa. Satu pesan dari nomor tidak di kenal. Rafa pun menggeser layar ponselnya dan membuka pesan itu. Bisa Rafa lihat ada nomor yang tidak ia kenali.
Isi pesan itu ..
"Jadi, tadi janjiannya sama Nadia ya?"
Rafa mengerutkan keningnya bingung. "Ini Bianca?" gumamnya.
.