"Cari cara cerdas yang enggak akan membuat kamu menyesal di kemudian hari. Perlu saya bantuin?"
Lita merasakan tangannya terangkat, Elanda membawa tangan Lita tepat di depan tubuhnya, lalu dengan sebelah tangannya yang lain, ia menarik lembut satu persatu jari tangan Lita sehingga tangan yang semula mengepal dengan kuat itu terbuka, memperlihatkan bekas-bekas kemerahan dari kuku Lita.
"Jangan melukai tangan cantik kamu, saya enggak mau kamu terluka lho." ujar Elanda mengusap bekas-bekas merah akibat tancapan kuku Lita yang cukup dalam.
Menyadari bahwa baru saja Bosnya melakukan hal tak terduga yang membuat hatinya terasa aneh, Lita segera menarik tangannya lalu memalingkan wajahnya yang memanas entah karena apa. Ah sial sial sial, apa yang dilakukan Bosnya itu? Perhatian? Gombalan? Kenapa Bosnya itu terus-menerus melakukan hal yang dilakukan tokoh-tokoh novel? Lita tidak siap dibuat jatuh hati lalu dipatahkan kembali.
"Bapak apa-apaan sih? Bapak bisa stop sok-sokan jadi tokoh novel?" Ujar Lita tanpa melihat wajah Elanda.
"Saya enggak sok-sokan jadi tokoh novel kok. Saya serius enggak mau tangan kamu luka. Nanti kalau tangan kamu luka, gimana kamu bisa kerja? Nanti kalau kamu luka, gimana kita bisa menikmati malam bersama? Hmm bisa juga sih saya saja yang layani kamu, nanti tangan kamu saya ikat di kepala ranjang biar telapak tangan kamu enggak kegesek, terus saya tutup mata kamu pakai kain merah, ah, kamu tahu Bondage Dicipline, Sadistic, Masochism atau BDSM-"
Lita menutup mulut Bosnya itu dengan tatapan tertohok. "Sumpah saya enggak nyangka, Bapak semesum ini,"
Elanda tidak menjawab karena Lita masih menutup bibirnya, namun tatapannya tertuju pada iris Lita.
Lita tersenyum lembut. "Tapi, makasih Pak." Ia menarik tangannya dari mulut Elanda. Lalu ia melihat senyum misterius di sana.
"Jadi kamu suka BDSM? Kalau mau saya mau beli peralatannya terus nanti malam kita skidipapap-"
"Pak! Ini masih siang ya ampun."
"Lho tadi kamu bilang makasih, saya kira kamu senang mau saya ajak BDSM-"
Lita memotong ucapan Elanda dengan berdecak tiga kali seraya menggelengkan kepalanya. "Udah ah, saya mau nyamperin mereka dulu. Bapak mending ke basement ambil mobil ya,"
"Lho, kok jadi saya yang disuruh-suruh? Siapa sebenarnya yang jadi Bosnya?"
Lita yang hendak melangkah pergi membalik tubuhnya sekilas lalu tersenyum usil seperti bocah kecil yang berhasil menjahili seorang pria dewasa. Lalu melenggang pergi dengan puas.
Elanda menatap kepergian gadis itu dengan senyum tenang, dilihat dari cara gadis itu berbicara dan senyumannya yang cerah, seharusnya ia sudah baik-baik saja bukan?
Elanda menatap tangannya yang tadi menggenggam tangan Lita, cukup lama ia menatapnya. Ia memperhatikan jari-jarinya lalu mengepal-ngepal halus, seakan ia tengah menakar sesuatu.
'Membuat seseorang tersenyum itu, hal yang paling sederhana tapi memberi dampak luar biasa. Kamu bakal tahu kalau kamu udah coba sendiri.'
Elanda tersenyum simpul, memandang sejenak langit yang cerah membuat hatinya ikut merasa hangat sebelum detik selanjutnya ia melangkah ke arah basemen untuk mengambil mobil
Lita melangkah tanpa ragu ke arah dua orang berbeda gender dan usia dengan jarak yang jauh, begitu seru kah topik pembicaraan mereka hingga tidak menyadari kemunculan Lita?
Lita hendak kembali mengepal, namun dengan cepat ia mengurungkan kebiasaan spontan itu saat ia mengingat bagaimana tadi Elanda tak ingin melihat Lita mengepalkan tangan dan melukai tangannya. Bagaimana mungkin ia membiarkan hal yang ingin dilindungi Elanda malah ia lukai?
Lita menghentikan langkahnya, lalu terbahak pelan. Hal yang ingin dilindungi Elanda? apa yang baru saja ia pikirkan? Ia terlalu berlebihan, terlalu percaya diri. Hubungan mereka hanyalah sebatas Bos dan karyawan, apa yang ia harapkan?
"Hahaha percaya deh sama masakan kamu, enggak mungkin enggak enak."
Lita memperhatikan kembali dua orang yang menjadi objek pantaunya sedari tadi. Lita menggaruk dagunya seraya berdebat dengan hatinya.
'Sindir, jangan, sindir atau jangan ya?'
Lita memicingkan netranya seraya menggigit bibir bawahnya menimbang haruskah ia menyindir dua orang ini atau tetap bersikap tak acuh agar ia bisa membuat rencana yang luar biasa?
"Sindir aja lah ya, dari pada gondok sendiri kalo enggak sindir." Lita akhirnya memantapkan keputusannya untuk menyindir dua orang bermuka tebal itu setelah dilema cukup panjang.
Tapi bagaimana ia menyindir mereka? Lita lagi-lagi merasa bodoh ia ingin membuat sindiran yang bagus, tapi ia bahkan tidak tahu apa yang harus ia sindirkan.
"Nah akhirnya turun juga."
Lita mendongak saat mendengar suara Mamanya yang menyambut kedatangannya seraya menyodorkan sebuah kotak bekal makan.
"Hai Beb," sapa Harry lalu mendekat pelan meraih tubuh Lita agar merapat padanya. Lita ingin menepis tangan Harry, namun hati kecilnya justru mengatakan bahwa ia harus bersikap lebih manja pada Harry untuk melihat reaksi Mamanya. Apakah Mama akan mempertontonkan wajah cemburunya atau malah menekan kecemburuannya dengan berpura-pura buta?
"Kamu udah mendingan?" Tanya Harry meraih Lita ke arahnya dan Lita menyambut perlakuan jangan itu dengan balas mengait manja tangan Harry.
Lita mencebik bibirnya merajuk, "Iya, untung tadi ada kamu, kalau enggak ada pasti aku udah stress sendirian. Makasih ya sayang, perhatiannya." Lita semakin merapatkan kaitan tangannya, ia terlihat seakan menatap hari lekat-lekat, namun sebenarnya irisnya melirik penasaran pada reaksi ibunya.
"Iyalah, itu udah kewajiban aku buat perhatian sama kamu."
Lita menatap Harry dengan tatapan kagum seperti bocah lima tahun yang baru saja menemukan sosok dikagumi, "Sama Mama enggak bakal perhatian? Ingat lho nanti Mama bakal jadi Mama kamu juga, Mama setara sama Ibu kandung kamu." Lita sengaja menekan kata ibu kandung seraya melirik Mamanya dengan tatapan penuh makna.
Mama yang biasanya aktif dan cerewet terlihat diam dari biasanya. Lita merasakan sedikit perasaan puas, namun kemudian diselingi perasaan benci. Jadi ibunya benar-benar terganggu dengan sikap manja dan sindiran Lita?
"Iyalah, aku pasti perhatian sama Mama, Mama kamu kan Mama aku juga."
"Kamu anggap Mama kandung, kan?" Ulang Lita dengan intonasi menekan seakan ia tidak percaya, dan itu membuat Harry merasakan perasaan tak nyaman. Apa hanya dirinya saja yang merasa bahwa Lita sedang mengintrogasinya?
"Iyalah, masa enggak. Kan kita bentar lagi nikah." Harry menggenggam erat tangan Lita, berusaha berpikir positif, mungkin Lita sedang begitu lelah hingga mengatakan hal aneh. Ia terlihat berusaha keras meyakinkan dirinya sendiri. Menyangkal kecurigaannya bahwa Lita mungkin sudah mengetahui rahasia paling
Lita merasakan ujung bibirnya berkedut, tangannya yang masih bergelayut pada Harry tanpa disadari mencengkeram erat lengan Harry.
"Kalau begitu jangan sampai aku mergoki kamu melakukan hal aneh sama Mama. Karena apa yang kamu lakuin sama Mama aku, berarti kamu lalukan ke Mama kandung kamu." Bibir gadis itu bergetar, ia menatap dua orang itu yang terlihat menatapnya terkejut seakan. Lita dapat menebak, dua orang menjijikkan ini pasti sedang kebakaran janggut.
"Oh God!" Ketiga orang yang berdiri berdampingan di tepian jalanan gedung tinggi itu memekik kompak saat mendengar suara desingan sebuah mobil sport mewah yang kemudian berhenti di hadapan mereka.
"Udah siap Lit?"
Ketiga orang itu menatap kemunculan seorang pria dengan kaca mata hitam dari balik stir mobilnya. Ujung bibir Lita terangkat dengan ekspresi heran, itu Elanda? Tapi ini mobil siapa? Jelas-jelas saat tadi berangkat dari apartemen Elanda ia menggunakan jenis mobil dari merk perusahaan Inggris Land Rover. Lalu kenapa sekarang mobil itu berubah menjadi mobil sport berwarna silver yang cantik? Apakah Elanda memiliki ibu peri?
"Lita ...."
Lita terpecah dari lamunannya, "Oh ya Pak, udah. Bentar ya Pak, saya izin pamit sama Mama saya." Lita mendekati Mamanya mengatakan bahwa akan pergi untuk makan siang bersama Bosnya jadi ia menolak bekal itu. Sang Ibu melirik Elanda yang menurunkan kaca matanya memperhatikan ibu dan anak yang sedang berbicara itu.
Dan ternyata sang ibu kebetulan sedang mencuri pandang pada Elanda. Elanda memberi senyum sekilas namun senyum itu berhasil meluluh lantahkan perasaan wanita yang sudah berumur itu.
"Itu Bos kamu yang katanya galak?" Tanyanya bersemangat. Lita hanya membolakan netranya malas, "Iya,"
"Ganteng lho! Barusan senyumin Mama, lagi."
Lita mengerutkan alisnya seraya menatap sosok ibunya itu dengan tatapan rendah. "Mama suka daun muda? Coba aja deketin, kalau Mama, enggak lupa sama umur."