Tubuh Zahra menegang wajah pucatnya tidak dapat lagi di bohongi, dengan tubuh bergetar air mata yang terus mengalir.
Zahra berusaha sekuat yang dia bisa agar tubuhnya tidak lagi terjatuh. namun lagi-lagi tangan besar yang menahan pergelangan tangannya menarik tubuhnya kedalam pelukan.
"Menangislah jika itu membuatmu lebih baik." Alfred memeluk tubuh rapuh Zahra. tangisan Zahra pecah tubuhnya lunglai dalam pelukannya. berlahan Alfred membawa tubuh Zahra pergi dari Apartemen, ia menyadari betapa hebatnya Zahra menyembunyikannya tangis dari putra tunggalnya. tanpa berfikir panjang lagi Alfred melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju tempat yang akan membuat Zahra lebih tenang. mobil mewah milik Alfred telah sampai di sebuah taman yang tidak terlalu jauh namun terlihat sepi. Alfred membawanya ke sebuah kursi taman. dan mendudukkan tubuh Zahra yang lemah.
"Disini kau akan aman. berteriak sekeras mungkin, putramu tidak melihatnya Zahra." Alfred menyentuh rambut panjang Zahra yang indah tergerai.
Berlahan Zahra memandang sekeliling tempat indah namun sepi. Zahra memandang wajah Alfred sekilas lalu berlahan berdiri dari duduknya dan berteriak sekeras mungkin. hingga berapa kali Zahra berteriak hingga tenggorokan kering.
Alfred menyodorkan air mineral yang dia beli saat akan memasuki taman.
"Apa lebih baik sekarang?" Zahra melirik pria yang berada di sampingnya.
"Apa sekarang kau bisa menceritakannya semuanya padaku? itu jika kau mau. aku tidak akan memaksa dirimu untuk bercerita padaku tentang masa lalu mu." Zahra berfikir sejenak tidak mungkin ia bisa menutupi semua dari Alfred. setelah menarik nafas dalam-dalam Zahra memulai bercerita pada Alfred.
"Aku membencinya Alfred. sangat membencinya dia dalang di balik penderitaan yang aku alami selama ini."
"Aku lelah terus bersembunyi darinya. aku lelah terus berlari menjauh darinya Alfred. tapi aku tidak bisa menghadapinya aku takut dia mengambil putraku aku takut alfred." Isak tangis Zahra membuat gati Alfred terasa sesak. Zahra menceritakan semua kehidupannya pada Alfred, tangan Alfred terkepal hingga terlihat jelas urat di tangannya.
"Lalu dimana orang tuamu Zahra?" Alfred semakin penasaran dengan kehidupan masa kecil Zahra.
"Aku di adopsi Nenek saat usiaku tiga tahun. Nenek hidup sebatang kara anak dan cucunya meninggal."
"Saat keluarganya meninggal, apakah kamu sudah di adopsi okeh Nenekmu?" Alfred semakin penasaran dengan sosok wanita yang berada di sampingnya hidupnya tragis membuatnya semakin ingin melindunginya.
"Ya. usiaku empat tahun. saat mereka meninggal dalam kecelakaan. tapi saat Nenek akan meninggal dia berpesan agar aku tidak bertemu dengan mereka. dan menyuruhku untuk lari sejauh mungkin itu artinya mereka masih hidup." Zahra mengingat kata-kata terakhir jika dia harus pergi jauh.
"Zahra apa yang kau pikirkan?"
"Tidak ada, aku sudah lebih baik sekarang. aku harus pulang aku tidak ingin putra ku mencariku."
"Baikalah aku akan mengantarmu."
Sepanjang jalan Zahra menatap bangunan yang menjulang tinggi,
"Zahra boleh aku tau siapa nama panjanganmu?"
"Namaku Zahra ad ...," Ucapan Zahra terhenti mendengar dering ponsel Alfred.
"Ya. katakan ada apa!"
"Tuan. Nyonya pingsan di dalam bathtub." Alfred mendadak menginjak rem sehingga suara ban bergesakan dengan aspal menimbulkan suara yang sangat keras.
"Zahra maaf, apa kau terluka?" Alfred menyentuh kepala Zahra ia takut membuat Zahra terluka karena dirinya.
"Tidak Alfred, aku hanya terkejut saja. kalau boleh tau siapa yang menelepon mu?" Alfred kembali ingat dengan asisten ibunya.
"Telpon dari rumah, ibu pingsan di dalam kamar mandi."
"Kalau begitu pergilah. aku akan turun di sini."
"Tidak. aku akan mengantarmu sampai Apartemen." Alfred melajukan mobilnya menuju Apartemen Zahra. sampai di mewah yang tinggi menjulang mobil mewah Alfred berhenti tepat di bawahnya.
"Ayo Zahra. aku akan mengantarmu."
"Tidak perlu. pergilah aku bisa sendiri, cepatlah temui ibumu."
"Baiklah. aku pergi jaga dirimu baik-baik Zahra."
"Ya. terima kasih untuk hari ini Alfred," Zahra untuk pertama kalinya tersenyum pada Alfred, senyum dengan ketulusan.
Setelah mobil Alfred menghilang dari pandangannya Zahra menaiki lift menuju Apartemennya.
Saat sampai di apartemennya langkahnya terhenti saat seseorang tengah berdiri di depan pintu apartemen miliknya.
"Mario...," Mario membalikkan tubuhnya saat mendengar suara wanita yang sangat dia rindukan.
"Zahra..," Mereka saling berpelukan rasa rindu yang membuat Zahra memeluk Mario.
"Aku merindukanmu Mario." mendengar kata rindu yang terucap dari bibir Zahra membuat tubuhnya bagaikan kapas yang terbang tertiup angin. Suara pintu terbuka membuat Zahra melepas pelukannya.
"Mama. jemput papi ya Hore ... papi datang," Mario memeluk tubuh kecil yang berada di hadapannya. Zahra yang berada di samping Mario hanya bisa menatap pilu wajah putranya yang merindukan sosok seorang ayah. bersyukur Mario mampu menjadi sosok ayah bagi Al putra semata wayangnya.
Mario membawa Al dalam gendongan, membawa koper berisi mainan untuk Al.
"Papi apakah ini semua mainan untuk Al?"
"Tentu untuk anak Papi," Mario tersenyum melihat tawa di wajah Al.
"Kau selalu memanjakannya Mario!"
"Itu harus aku lakukan Zahra, dia adalah satu ...,"
"Jangan di teruskan. Al putraku hanya putraku Mario!" Mario terdiam mendengar kata-kata yang keluar dari Zahra. suara sarat akan kebencian dan dendam. Mario menundukkan wajahnya, sungguh dia tidak bisa mengenali wanita yang berada di sampingnya. wanita yang dulu memiliki hati lembut kini berubah menjadi keras dan penuh dendam.
Zahra yang menyadari perkataan yang tinggi dengan cepat mendekati tubuh kecil yang menatapnya.
"Sayang maaf, Mama hanya ...,"
"Hanya sedang berlatih karena Papi ingin membuat sebuah sandiwara, benar begitu Mama Zahra?" Mario mengedipkan matanya sebagian tanda untuk Zahra.
"Ah. ya benar sayang apa yang di katakan Papi Mario hehe ...,"
"Erna ajak Al kekamar sebentar."
"Baik Tuan."
"Sayang ikutlah Bi Erna Mama ada perlu dengan Papi Mario."
"Baik Mama, Papi tetap disini kan tidak akan pulang tanpa pamit Al!"
"Tentu sayang. Papi akan menginap disini bersama Al."
Al berlari kearah kamar Erna yang berada di belakangnya menarik koper berisi mainan yang Mario bawa.
"Apa uang ingin kau katakan padaku Zahra?"
"Mario jangan kau manjakan putraku, aku ingin dia mandiri...,"
"Mandiri seperti dirimu yang diam-diam bekerja di perusahaan tanpa memberitahuku begitu Zahra?"
"Kenapa diam, apakah kamu kekurangan uang sehingga kamu memilih bekerja? atau kamu tidak mau memakai uang dari keluarga Wisongko Zahra?" Lanjutnya. Mario
"Maafkan aku Mario aku tidak ingin terus merepotkan dirimu.
aku yakin bisa memenuhi kebutuhan Al."
"Ya kamu mampu melakukannya Zahra. bahkan dengan diam-diam kamu mencari rumah yang sederhana dan berniat pindah dari sini? kenapa Zahra ada apa denganmu?"
Zahra menatap Mario dengan pandangan rumit.
'selama ini hidupnya benar-benar diawasi Mario. lalu kenapa dia n- tidak menyebut nama Brian padanya atau jangan-jangan Mario juga yang mengatakan pada Brian jika dia berada disini.'
"Zahra kenapa kamu diam?"
"Mario Selma ini kamu menempatkan mereka di sekitarku? dan melaporkan apa yang mereka lihat padamu? Mario apa maksudmu melakukan ini padaku?"
"Aku hanya ingin melindungi mu zahra. maafkan aku,"
"Zahra tetaplah disini aku mohon. jangan jauh dari pengawasanku."
Zahra tidak bergeming mendengar kata-kata yang diucapkan Mario dirinya kecewa dengan pengakuan Mario.