Satu bulan yang lalu ...
Leonardo menghenyakkan punggung ke sandaran kursi kerjanya. Ia mengompres wajahnya yang lebam karena pukulan Rafael dengan es. Sudah 24 jam berlalu semenjak Rafael dinyatakan meninggal dunia oleh pihak rumah sakit.
"Tuan, silahkan tehnya." Carl memberikan secangkir earl grey di depan Leonardo.
Pria itu menghirup aroma wangi teh sebelum menyesapnya, aroma yang menenangkan.
"Apa Jasmine sudah sadar?" tanya Leonardo pada sekretarisnya.
"Belum, Tuan Leon," jawab Kesya.
Leonardo menjambak rambutnya dengan kasar. Ia tak pernah menyangka bahwa Jasmine begitu mencintai Rafael. Bahkan sampai pingsan dan tak sadarkan diri setelah mendengar berita duka itu.
Kini Leonardo merasa bersalah, apa gunanya ia melakukan semua ini kalau Jasmine sampai gila, sakit, atau bahkan sampai meninggal?! Apa gunanya ia melakukan semua ini kalau Jasmine tetap tak bisa menjadi miliknya.
Yah, tapi Leonardo tetaplah Leonardo, singa itu tak mudah menyerah. Ia tak mungkin berhenti untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Dengan kekuasaan dan uang, ia akan melakukan apa pun agar Jasmine jatuh dalam pelukkannya, menjadi miliknya. Hanya miliknya.
Dan begitulah, selama sebulan penuh Leonardo mengikuti Jasmine. Melihat perkembangan mental Jasmine dari kejauhan. Leonardo tak langsung memetik bunga yang hampir layu itu. Ia membiarkan bunga itu memperoleh air dan juga udara agar kembali mekar. Setelah bunga itu kembali merekah, barulah Leonardo akan kembali menghampirinya. Menikmati aroma yang keluar dari tiap-tiap lembar kelopak bunga itu.
"Merekahlah, Baby. Merekahlah kembali." Leonardo mengusap pelan bibirnya saat membuntuti Jasmine pagi ini. Ia mengehentikan mobil tak jauh dari rumah Jasmine. Wanita itu baru saja pulang dari pasar, ia membeli beberapa kardus bekas dari pengepul untuk membereskan sisa perabotannya. Masih banyak yang harus ia pack, sudah ada beberapa pembeli yang menawar rumah mungil itu.
Jasmine hanya perlu menjual rumah itu, lalu pindah kembali ke desa. Merawat ibu dan juga adiknya dengan membuka toko sederhana. Melupakan semua kenangan pahit yang ia dapatkan selama merantau. Juga semua kenangan indah tentang almarhum suaminya.
Jasmine membongkar seluruh lemari pakaian, ia menemukan lingerie pemberian Leonardo tempo hari. Mendadak Jasmine bergidik ngeri, ia mulai teringat kembali dengan sosok Leonardo. Terakhir yang ia ingat pria itu memaksanya berhubungan seks di dalam mobil. Selang satu hari sebelum kematian Rafael.
Hei, apa ini? pikir Jasmine saat mendapati ada celah kecil di dalam lemar.
Pintu geser?? Jasmine terperanjat, ada pintu geser di dalam lemarinya. Cepat-cepat Jasmine membuka pintu itu. Dengan sedikit menundukkan badan, wanita itu masuk ke dalam ruangan rahasia di balik lemari pakaian.
"Apa ini??" pekik Jasmine.
Ruangan itu bau dan lembab, lama tidak terbuka karena pemiliknya memang telah meninggalkan ruangan itu dan tak mungkin kembali lagi. Jasmine menatap tak percaya dengan apa yang ia temukan. Ruangan sempit dengan sebuah rak penuh dengan peluru. Juga beberapa botol berisi vitamin yang ditukar dengan obat penggugur kandungan.
Jasmine menutup mulutnya yang hampir saja terpekik. Peluru-peluru dengan berbagai macam ukuran dan bentuk. Beberapa peluru mahal tertata rapi dalam koper baja. Di sudut yang lain ada sebuah meja dengan mesin press dari baja, selongsong kosong berjajar rapi. Bubuk mesiu masih sedikit berceceran. Aroma samar mesiu menggelitik hidung Jasmine. Sepertinya Rafael juga kadang membuat pelurunya sendiri.
"Untuk apa semua ini, El?" Mata Jasmine berkaca-kaca, ia semakin merasa tak mengenali sosok suaminya.
Mata Jasmine semakin membulat saat melihat sebuah foto, Rafael dan seorang pria, mereka tampak gagah dalam balutan seragam doreng khas tentara elit negeri ini. Rafael menyandang senapan laras panjang pada pundaknya, sedangkan pria di sampingnya tersenyum bahagia. Rafael menempelkan foto itu bersama dengan kalung rantai bertuliskan Light and Shadow.
Siapa sebenarnya kau, El?? Pikir Jasmine, hatinya ambles. Setelah semua yang mereka lalui bersama, bahkan secuil pun Jasmine tak pernah tahu tentang Rafael. Jasmine tak tahu apapun tentang masa lalu, pekerjaan, juga kehidupan suaminya. Jasmine hanya tahu bahwa Rafael adalah seorang yatim piatu, seniman jalanan, hidup dari melukis dan juga mengecat dinding ornamen pada rumah mau pun cafe-cafe.
Sudah berapa lama kau membohongiku?! Jasmine terisak, air mata menetes pada foto Rafael. Terguncang? Mungkin itu yang bisa terlukis di wajah Jasmine saat ini. Ia terguncang, bahkan setelah kematiannya Rafael tak pernah berkata jujur kepadanya.
PYAR!!
Jasmine melemparkan botol-botol vitamin ke dinding, botol itu pecah, isinya menghambur. Semuanya berserakan di lantai. Jasmine menangis, merosot ke bawah, ia menjambak rambutnya sambil duduk meringkuk.
Apa pencegah kehamilan itu juga karena hal ini? Apa kau sungguh-sungguh tak pernah mencintaiku, El?
Jasmine terisak sesaat ....
"PADAHAL AKU BEGITU MENCINTAIMU!!" jerit Jasmine. Memuakkan, rasanya begitu memuakkan. Jasmine mual dan merasa ingin muntah. Jasmine muak dengan seluruh kebohongan Rafael.
Namun Jasmine tetaplah Jasmine. Ia terlalu mencintai Rafael, terlalu sayang pada pria itu. Jasmine punya sejuta alasan untuk memaafkan kesalahan suaminya.
Cepat-cepat Jasmine bangkit, ia membereskan seluruh peluru yang ada di dalam lemari. Memasukkan semuanya ke dalam kardus. Tak boleh ada yang melihat hal ini. Tak boleh ada yang tahu siapa suaminya, Rafael pasti punya alasan kenapa menyembunyikan semua tentang masa lalunya. Biarlah rahasia itu juga terkubur bersama dengan kematiannya.
KROMPYANG!!
Jasmine berjengit, siapa yang masuk ke rumahnya tanpa ijin?? Mata bulatnya membulat, kaget.
Siapa? Jasmine menyeka air mata. Dengan perasaan takut ia keluar dari dalam lemari. Mengintip siapa yang bertandang ke rumahnya tanpa ijin.
"Permisi, saya datang melihat-lihat rumah," sapa seorang pria paruh baya, wajahnya terlihat bingung karena tak mendapati satu pun manusia ada di dalam rumah padahal pintu pagar terbuka. Jasmine menghela napas lega, ia kira orang jahat.
"Ya sebentar." Cepat-cepat Jasmine merapikan pakaian dan juga wajahnya.
"Maaf, saya tak sengaja menyenggol vas bunga saat membuka pintu," ucapnya, pria itu menunjuk pot bunga yang pecah.
"Tak apa, Pak. Saya yang salah meletakkan vas itu sembarangan." Jasmine membereskan serpihan kaca, vas bunga memang terlihat tidak pada tempatnya karena sudah hampir semua perabotan di ruang tamu kosong. Jasmine menaruhnya sembarangan pada bingkai jendela.
"Saya datang untuk melihat rumah, saya lihat iklannya di koran minggu lalu. Apa rumah ini sudah laku?" tanyanya sopan.
"Belum, Pak. Kebetulan sudah ada beberapa penawar, tapi kami belum menemukan kesepakatan harga." Jasmine tersenyum, wanita ini terlihat sangat manis saat tersenyum.
"Di buka dengan harga berapa ini, Nak?" tanya pria itu, ia menatap wajah Jasmine yang cantik.
"Lima ratus juta, Pak. Karena rumah ini masih KPR, yang tiga per empat bagian bisa bapak setorkan ke bank untuk menebus sertifikat, saya menerima 125 juta, Pak." Terang Jasmine, ia memang sudah menyicil rumah itu selama kurang lebih satu tahun, bersama dengan DP rumah, maka Jasmine hanya akan menerima seperempat dari harga penjualan.
Pria itu mengangguk paham, ia kembali berkeliling melihat-lihat rumah mungil milik Jasmine. Dapur, tempat cuci dan jemur, garasi kecil. Semuanya terlihat masih bagus, masih baru, dan juga kokoh.
"Boleh saya lihat kamarnya, Nak?" tanya pria itu. Jasmine agak keberatan karena takut pria itu menemukan peluru-peluru milik Rafael. Tapi bagaimana mungkin Jasmine menolak, setiap pembeli pasti akan menyelurusi tiap inci rumah yang akan mereka beli, termasuk kamar tidur utama. Tempat mereka akan berbaring setiap malamnya kelak.
"Ba—baik, Pak. Silahkan."
Pria itu masuk ke dalam kamar, ia juga masuk ke dalam kamar mandi untuk mengecek semuanya. Keran tidak ada kebocoran, keramik terlihat bersih tak berkerak, dan yang paling membuatnya senang adalah mendapati bahwa Jasmine hanya seorang diri di dalam rumah itu.
"Kau sendirian? Suamimu?" tanya pria itu, fokus Jasmine terlena pada sekotak kardus penuh dengan peluru di dalam lemari. Ia lupa menutup lemarinya.
"Nak?? Apa kau tinggal sendiri? Di mana suamimu?" tanyanya lagi.
"Akh!! I ... iya. Suami saya baru saja meninggal, Pak," jawab Jasmine, cepat-cepat Jasmine berjalan masuk dan menutup pintu lemari. Takut peluru milik Rafael terlihat.
Saat menutup pintu lemari, tiba-tiba saja pria itu memeluk Jasmine dari belakang, melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Jasmine. Sontak Jasmine berjengit kaget.
"Apa-apaan ini!! Lepaskan saya!!" jerit Jasmine.
"Ayolah, kau sudah menjandakan! Tak ada salahnya kau melayaniku sekali ini saja. Aku akan beli rumahmu tanpa menawar, ah tidak, bahkan aku akan menambah harganya lima puluh juta lagi." Pria tua yang bisa dibilang seumuran ayahnya itu merayu Jasmine. Pria itu memang tergiur dengan tubuh dan wajah Jasmine sejak pertama kali datang tadi. Ia tak menyangka bahwa Jasmine tinggal sendiri dan bahkan sudah menjanda diusia semuda itu. Sungguh benar-benar mendapatkan durian runtuh.
"LEPASKAN!!" Jasmine meronta.
"Sekali saja, Nak. Kau cantik sekali." Pria itu mulai meraba pinggul Jasmine dan naik ke depan dadanya, mencoba untuk meremas tonjolan itu.
"Brengsek!! Lepaskan!!" Jasmine memberontak, ia menggigit tangan sang pria.
"Akh!!" Pekiknya kesakitan. Jasmine tak menyia-yiakan kesempatan ini. Dengan cepat wanita itu melingsut pergi.
"Kurang ajar!!" Pria itu tak tinggal diam, ia menjambak rambut Jasmine dan menariknya. Jasmine yang kesakitan terpaksa menghentikan langkah. Pria itu menariknya sampai terjatuh di atas ranjang. Dengan cepat ia berhasil mengunci kedua kaki Jasmine dan berusaha menindihi wanita itu.
"Tidak!! TOLONG!!!" jerit Jasmine pilu.
ooooOoooo
Oh No ... 🙄🙄🙄🙄
Oh No ...
Oh No ...