アプリをダウンロード
21.73% ACCIDENTAL WITNESS (21+) / Chapter 10: BAB 10

章 10: BAB 10

Aku sedang dalam perjalan menuju kampus, dan kali ini aku yang melihat Adib sedang bersama Artis FTV. Kulitnya terlihat lebih gelap dari Adib—Jawa? Aku tidak bisa menebaknya dari jarakku sekarang, tetapi aku tahu dia cantik ... dan sedang tertawa sambil memukul pelan tangan Adib. Adib balas tersenyum, lalu mereka berjalan memasuki kampus.

Apa yang aku lihat membuat kakiku tidak bisa digerakkan. Pikiranku meminta untuk mengikuti mereka, mendekat, dan pura-pura menyapa. Wanita itu mungkin hanya temannya, dan tidak ada yang aneh, kan, kalau Adib mengajaknya ke kampus untuk memperkenalkannya kepadaku?

Tapi tubuhku sepertinya tidak menyukai kemungkinan itu. Kakiku tetap sulit digerakkan, pandanganku menatap gerbang yang baru saja mereka lewati, berdua. Hari ini mungkin aku tidak akan melihat Adib di kampus sampai kelas bahasa Inggris, dan semua itu membuatku merasa tidak nyaman.

Aku lega saat Adib memasuki kelas sebelum bel, tetapi perasaan tidak nyaman itu masih aku rasakan. Aku mulai berpikir; tidak bisakah aku mengubah semua mata kuliahku agar bisa terus sekelas dengannya? Apakah hubungan Adib dan wanita itu dekat? Apakah Adib juga datang di kamar tidurnya di jam tiga dini hari?

Aku seperti menyiksa diriku sendiri dengan pikiran-pikiran itu, dan itu membuat asam lambungku naik hingga perutku sakit.

Aku ingin bertanya tentang hubungannya dengan wanita itu, tetapi aku tidak ingin terlihat tidak nyaman di depannya dan aku takut jawaban yang nanti aku terima adalah kebohongan. Ibuku sangat berpengalaan dengan hal seperti itu: dibohongi pacarnya. Dan yang menyedihkan, Adib bukan pacarku.

Sekonyong-konyong ingatanku tentang kejadian tadi malam terangkat—aku lega bahwa kami tidak melakukan lebih jauh. Dan, aku bingung dengan diriku sendiri: menginginkan lelaki yang—secara resmi—bukan milikku.

Seusai kelas, seolah semua biasa saja (tentu baginya biasa saja), Adib memberiku senyuman hangat. “Hei, kau,” sapanya.

“Hei,” balasku sedikit tidak bersemangat.

“Apa kabar kau hari ini?”

“Baik.”

Dia mengangguk dan sepertinya dia menyadari ada yang berbeda dariku. Aku tidak menyalahkannya, karenaku menjadi lebih dingin dari biasanya—tentu saja karena Artis FTV yang menari-nari di pikiranku sepanjang hari.

Lalu sekonyong-konyong aku bertanya, “Kapan kau mengenalkanku dengan teman-temanmu?”

Alisnya terangkat karena bingung. “Teman-temanku?”

Aku mengangkat bahu, berlagak sedikit santai. “Ya, kau tidak pernah menceritakan tentang teman-temanmu. Tapi kau tahu siapa saja temanku karena mereka semuanya kuliah di sini.”

Sambil tersenyum, dia berkata, “Betul, aku tahu siapa teman-temanmu. Tapi, jujur, aku tidak ingin bergaul dengan mereka.”

Tepat dan cocok. Kebetulan teman-temanku—Rini sudah pasti—juga tidak ingin bergaul dengamu. Tapi ... bukan itu maksudku. “Aku hanya heran. Karena kau tidak pernah menceritakan tentang teman-temanmu.”

“Mungkin karena aku tidak punya yang benar-benar dekat,” katanya.

“Jadi ... selain aku tidak bisa kenal dengan keluargamu, aku juga tidak bisa kenal dengan teman-temanmu?” Aku pikir itu adalah sebuah pertanyaan yang wajar.

Ekspresinya sekonyong-konyong berubah. Aku bisa melihat kecurigaannya. “Apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan? Apa ini ... tentang tadi malam?”

Aku merasa hubungan kami sangat tidak adil, walau aku tahu tentang siapa dia tapi kan ... tetap saja, ini tentang betapa sedikitnya kepercayaan yang dia berikan kepadaku. “Tidak, hanya saja ... kau bahkan tidak memberiku nomor ponsel, Dib. Kau bisa mendapatkan informasi apa pun yang kau mau tentangku, sedangkan aku ... “ Aku tidak bisa mengatakan kalau ‘tidak terlalu mengenalmu’, walau aku terkadang berpikir dan ingin mengatakan seperti itu. Kata itu menggantung, tak terucap, di udara, di antara aku dan dia.

Dia menghela napas panjang, lalu memalingkan pandangannya dariku. “Aku sudah bilang sejak awal, dan semua itu jujur, bahwa ... tidak banyak hal yang bisa aku ceritakan kepadamu, tentangku. Kau ingat perbincangan kita di restoran?”

Sebenarnya aku tidak ingin terlalu tahu tentang keluarganya (katanya di restoran, kan?), aku juga sudah mengatakan kepadanya tentang itu. Satu-satunya yang mendorongku untuk banyak bertanya malam itu, karena aku menangkap kesedihan di wajahnya.

Dan akhirnya dia bertanya, “Sebenarnya apa yang kau ingin tau dariku, Na?”

Ketika disodorkan pertanyaan seperti itu, aku jadi bingung harus berkata apa. Semua ini tentang Artis FTV, kecemburuanku.

“Aku tidak tahu,” jawabku sambil menunduk.

Dia menghela napas, dan aku terkejut ketika sekonyong-konyong dia memelukku, erat, di depan kelas. “Aku tidak ingin kau meragukanku,” bisiknya.

“Aku tidak meragukanmu,” kataku padanya.

“Ya, aku tahu.”

“Berjanjilah kepadaku,” kataku kepadanya, ya ... setidaknya aku harus mengatakannya. “Jika kau berkencan dengan wanita lain, kau harus memberitahuku. Jangan coba bodohi aku.”

Adib melepas pelukannya lalu menatapku heran. “Berkencan dengan wanita lain? Maksudmu—ayolah, aku tidak akan melakukan itu. Setidaknya untuk saat ini, Na.”

Aku mengangguk dan merasa sedikit lega setelah mendengar kata-katanya.

Dia memegang kedua bahuku dengan lembut, lalu mata cokelatnya yang tulus memandangku. “Untuk sekarang, aku tidak tertarik kepada siapa pun kecuali kau. Kau tahu itu, kan?”

“Itu yang ingin aku percaya,” kataku sedikit ragu-ragu.

Dia mengernyit. “Kau ingin pergi denganku?” tanyanya.

Aku mengangguk, lalu setelahnya kami berjalan menelusuri lorong.

***

Hari ini terasa sangat panjang. Aku lelah dengan Adib, Rini, dan pikiranku sendri. Komposisi yang pas untuk membuatku kehabisan tenaga. Yang paling aku inginkan saat ini adalah pulang dan tidur nyenyak selama empat atau lima hari. Yang paling aku inginkan di dunia adalah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Hei, apa kau yang bernama Irina?”

Aku melambat saat mendengar seseorang memanggil namaku, lalu berbalik. Itu Artis FTV.

“Ya?” kataku.

“Kau temannya Adib, kan?” tayanya sambil tersenyum kepadaku. Ya Tuhan, dia sangat cantik.

Entah kenapa mendengarnya mengatakan bahwa aku TEMANNYA Adib, membuatku kesal. “Ya. Aku teman Adib,” balasku datar.

Senyumnya sedikit meredup. “Maaf, dia memberitahuku bahwa kalian sedang mengalami ... salah paham?”

Sial! Apa yang Adib katakan kepadanya? Dan butuh upaya yang sangat besar untuk tetap berdiri berhadapan dengannya alih-alih berbalik dan melarikan diri. Ini sangat memalukan.

“Kau suka kue?” dia bertanya.

Aku menatapnya tanpa berkata-kata.

"Menurut Adib, kita harus berteman," katanya. "Maaf, aku tahu itu pasti aneh disapa oleh orang asing, tapi dia memintaku."

Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapinya, sesuatu yang datang tiba-tiba ini membuatku mual. Aku memang meminta kepada Adib untuk bertemu teman-temannya. Mungkin ini cara Adib untuk mencobanya.

Menyodorkan tangannya ke arahku, dia berkata, "Aku, Adelia. Panggil saja, Adel."

Aku menjabat tangannya, tapi dengan hati-hati. “Irina,” kataku kemudian.

“Ya,” katanya, lalu tersenyum lagi. “Pokoknya, Adib ... “ Dia berhenti dan berpikir sejenak. “Sepupunya, Mutiara, memiliki toko kue,” dia melanjutkan. “Kau mau ke sana? Akan aku teraktir? Dan akan aku perkenalkan kau kepada Mutiara.”

Aku terkejut dan sedikit tersinggung; Adel mengenal sepupu Adib yang artinya ... Adib sudah mengenalkannya. Aku sedikit ragu untuk menerima tawarannya dan ingin sekali memberi tahu kalau Adib tidak ingin aku bertemu dengan keluarganya. Namun, jangan-jangan tawarannya berdasarkan perintah dari Adib?

“Aku suka kue dengan Oreo sebagai topping,” tambahnya, mencoba memulai pembicaraan lagi.

Sebenarnya aku tidak menyukai Adel sejak pertama kali melihatnya, tetapi ... tidak bisa dipungkiri, wanita ini memiliki daya tarik. Seperti Bintang Rock.

Aku suka karena dia ramah, hanya saja aku cemburu kepadanya.

“Kau sudah pernah bertemu Aqmal?” aku bertanya. Entah kenapa hal itu yang membuatku penasaran.

Dia mengernyit dan tampak tidak senang saat mendengar nama Aqmal. “Ya, aku sudah bertemu. Tapi kita tidak akan bertemu dengannya. Kau tidak akan menyukainya. Tapi Mutiara ... aku pikir kau akan suka.”

Sial! Ternyata Adib juga sudah mengenalkannya ke Aqmal; seseorang yang mungkin tidak akan dia kenalkan kepadaku. Dan pilihanku sekarang: pulang dengan rasa kesal, atau menerima tawarannya.

“Baik, ayo kita bertemu Mutiara,” aku mengakatakan pilihanku. Semoga ini pilihan yang terbaik.


Load failed, please RETRY

ギフト

ギフト -- 贈り物 が届きました

    週次パワーステータス

    Rank -- 推薦 ランキング
    Stone -- 推薦 チケット

    バッチアンロック

    目次

    表示オプション

    バックグラウンド

    フォント

    大きさ

    章のコメント

    レビューを書く 読み取りステータス: C10
    投稿に失敗します。もう一度やり直してください
    • テキストの品質
    • アップデートの安定性
    • ストーリー展開
    • キャラクターデザイン
    • 世界の背景

    合計スコア 0.0

    レビューが正常に投稿されました! レビューをもっと読む
    パワーストーンで投票する
    Rank NO.-- パワーランキング
    Stone -- 推薦チケット
    不適切なコンテンツを報告する
    error ヒント

    不正使用を報告

    段落のコメント

    ログイン