Hingga saat ini, kaum mayoritas masih memiliki peranan terbesar dalam tatanan sosial masyarakat. Orang akan merasa paling benar jika yang ia lakukan juga diikuti oleh sebagian besar yang lain. Lain halnya jika kau melakukan hal yang benar namun tak seorang pun mengikutimu, bisa jadi malah kau yang akan disalahkan atas perbuatanmu. Ya, begitulah. Apalagi jika itu merambat ke ranah yang lebih luas, sebut saja penentuan pemimpin rakyat.
Demokrasi seolah telah menjadi tameng besar bagi mereka yang segaja berlindung di bawah naungannya. Dengan tanpa perasaan bersalah mereka mengatas namakan demokrasi untuk kepentingannya sendiri. Suara terbanyak memang sekilas terlihat adil. Namun, bagaimana jika suara sebanyak itu memang dirancang sedari awal supaya orang-orang mengikutinya? Maka di situlah sebenarnya persaingan sengit terjadi. Bukan perebutan kekuasaan, tapi perebutan suara yang menentukan mandat kekuasaan nantinya.
Maka, jika berdasar pada pendapat tadi, jika suara bisa dimanipulasi, kebenenaran pun seolah menjadi kabur. Pemimpin sejati takkan mungkin menduduki takhta kekuasaan karena dia tak mampu memikat hati kaum mayoritas. Hanya mereka yang pandai bersilat lidah juga beruang banyak yang mampu menembus persaingan perebutan suara.
Jadi, janganlah mencari kebenaran di tengah-tengah arus yang searah. Pemahaman mainstream hanya berpihak pada mayoritas orang, juga belum tentu hal tersebut merupakan kebenaran. Karena kebenaran sudah beralih makna menjadi sesuatu yang dianggap sebagian besar orang merupakan kebenaran, bukan kebenaran yang sebenar-benarnya.
Hal ini ikut merembet pada definisi keadilan. Yang benar menjadi belum tentu adil bagi semua orang. Keadilan bisa memihak pada kalangan mayoritas, sama halnya seperti kebenaran. Seolah-olah kebaikan secara universal juga sudah bergeser ke ranah manipulasi dan kecurangan. Hah, kini rasanya tak ada yang benar-benar adil dan baik di dunia ini.
"Udahlah, nggak usah mikirin negara. Nggak ada untungnya juga kita mikirin mereka," ujar Dwi dengan nada menyepelekan.
"Emang negara mikirin kita?" lirih Anto kemudian.
Arum hanya melirik mereka tajam lantaran beberapa orang di ruangan itu mulai mencurigai pembicaraan mereka. "Sstt, jangan di sini. Kita sambung saja di tongkrongan nanti malam."
"Ya sudah. Aku lanjut ngerjain laporan dulu, kalian sambung diskusi aja," kata Dwi sambil lalu. Ia pun segera menghilang dari pandangan Arum dan Anto.
Sementara itu, Arum terlihat gundah. Meja kerjanya dipenuhi lembaran berkas perkara yang berserakan. Sementara komputernya masih memuat halaman yang sedari tadi dicari-cari olehnya. Ini sudah pukul lima sore dan dirinya masih berada di Polres, tempat dirinya mengabdikan diri sebagai seorang polisi.
Pada akhirnya, Arum hanya menghela napas panjang dan beranjak dari kursi. Perlahan ia melangkah menuju jendela, matanya langsung menerawang jauh di sana. Piikiran-pikiran liar mulai menyelimuti benaknya. Untuk sejenak ia terdiam dan menenggelamkam diri dalam balutan prasangka tak berdasar.
Melihat kejadian itu, Anto merasa jika ada yang tidak beres dengan Arum. Kakinya ikut melangkah dan berhenti tepat di samping koleganya itu. Jarak tubuh mereka hanya beberapa sentimeter saja, tapi ia sama sekali tak menyentuh Arum. Keduanya sama-sama menatap langit, menerawang jauh menembus udara senja.
Kabut mulai menyelimuti kota dingin ini, sebentar lagi hujan akan turun. Orang-orang sudah selesai dengan pekerjaan mereka. Lapak-lapak pedagang kaki lima telah ditinggal pulang pemiliknya sejak satu jam yang lalu. Para pegawai toko mulai menggembok pintu toko dan bersiap menyalakan kendaraan mereka. Sedangkan Arum dan Anto, mereka masih mengerjakan kasus yang seolah-olah selalu menemui jalan buntu.
"Kalau kamu capek, pulang aja. Kita lanjut besok, nggak papa," kata Anto memulai pembicaraan.
Entah kenapa, napas Arum mulai terdengar berat. Bibirnya perlahan tertarik ke bawah. Bola matanya terlihat semakin mengkilap. "Nggak ada yang menghargai pemikiranku di sini, 'kan?"
Anto tak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia malah terpaku pada wajah Arum yang penuh dengan perasaan sedih dan lelah. "Kamu nggak usah mikir yang macem-macem, Rum. Kita pulang aja, ya?"
Arum pun memalingkan wajahnya dan melirik meja kerjanya yang benar-benar berantakan. Helaan napas panjang tak henti-hentinya terdengar darinya, membuat Anto sedikit kebingungan.
"Semua orang nganggep kalau aku buang-buang waktu, nggali informasi dari Jaka. Waktu aku temui orangnya, dia juga masih kukuh dengan jawabannya. Tapi, entah kenapa ada sesuatu tentang dia yang bikin aku yakin jika dia terlibat dalam semua ini," kata Arum dengan nada rendah.
"Buat yang sudah-sudah sih, firasat kamu selalu benar. Ya nggak selalu, tapi sering banget kamu menggali informasi dari saksi-saksi tak terduga. Sebagai rekan yang baik, aku selalu dukung rekanku apapun yang terjadi."
"Birokrasi kadang terasa sangat kejam, bukan begitu?"
Seperti sudah menjadi rahasia umum jika birokrasi di negeri ini memang tak seindah yang tercatat dalam buku Ilmu Tata Negara. Lucu sekali jika membayangkan pemikiran anak kuliahan yang sangat idealis. Dikira jika realita di lapangan berjalan persis seperti yang tertera dalam teori.
Jika Arum mengetahuinya sedari dulu, ia takkan bercita-cita menjadi seorang polisi. Terlalu banyak hal yang melenceng. Namun, ia terlambat menyadarinya. Kini, rantai komando telah mengikat sepenuhnya. Mau tak mau ia harus menjalani semua ini dengan lapang dada. Memang bukan untuk mengabdi pada negara, melainkan untuk membahagiakan kedua orang tua di kampung halaman.
"Hm, kita semua tahu itu. Tapi pemikiran kamu nggak sepenuhnya salah," sahut Anto memberi harapan.
Arum hanya menyunggingkan senyuman getir. "Aku tahu aku terlalu naif bekerja di tempat ini."
"Nggak juga. Kamu hanya idealis dan ngga semua orang suka."
"Lebih banyak yang benci mungkin," lirih Arum seraya menundukkan kepala.
"Astaga, Arum Arum."Anto terpaksa meraih kedua bahu Arum dan membuat wanita itu berhadapan dengannya.
"Tegakkan wajahmu, Srikandi Muda. Dunia memang tak seindah kala masih di Taman Kanak-kanak. Tapi, seburuk apapun dunia kita semua masih diberi pilihan. Apakah kita akan selalu melihat dari sisi buruknya hingga rasanya tak ada setitik pun kebaikan yang tersisa? Atau ...."
"Membuat dunia lebih baik dengan senantiasa berharap jika itu pantas diperbaiki," sambung Arum dengan wajah mendongak menatap Anto.
"Nah, pinter. Udahlah, Rum. Jangan terlalu mikirin omongan orang, nanti waktumu habis. Kasihan tenaga juga mental kamu, kalau kamu masuk RSJ nggak akan ada yang mau bantuin juga."
Senyum keduanya pun merekah tepat ketika rintik hujan mulai turun membasahi jalanan. Angin berhembus kencang seolah membawa badai yang sebentar lagi pasti akan sampai di sana. Jika tetap nekad pulang ke rumah, mereka pasti akan terguyur hujan lebat. Akhirnya, mereka memutuskan untuk tetap berada di kantor dan melanjutkan pekerjaan mereka.
"Kayaknya rekaman CCTV-nya udah muncul tuh di layar monitor," celetuk Anto kemudian.
"Iya, kita lanjut aja sambil nunggu hujan reda."
"Bener, sambil ngopi juga boleh."
***
"Birokrasi kadang terasa sangat kejam, bukan begitu?"