Sebagian besar orang berpikir bahwa sains yang tak didasarkan pada akal rasional dan percobaan ilmiah nan objektif adalah palsu. Jika seseorang ingin mengemukakan teori-teorinya yang revolusioner, itu haruslah dibarengi oleh pembuktian terstruktur matematis sehingga dapat dijelaskan dengan mudah kepada orang lain. Lalu, teori barunya baru akan diterima dunia sebagai penemuan besar yang akan membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Dengan kata lain, ia ingin teorinya diakui dan diterima dalam masyarakat. Itulah sebabnya pendekatan paling bersahabat dengan akal manusia menjadi sangat penting. Semakin lama, akhirnya metodologi yang dianggap absurd dan murni hasil pemikiran dari dalam diri seorang manusia kuno seolah tergerus masa. Tidak ada yang mempercayainya lagi hanya karena itu tak bisa dimengerti oleh semua orang. Jikalau segala hal dipatok dengan prinsip yang sama, maka manusia takkan hidup kecuali dengan ego dan ambisi semu.
Untuk mengerti hal-hal yang lebih halus, seseorang memang harus jauh menurunkan egonya. Biarkan pikiran kosong, posisikan diri sebagai orang paling bodoh dan ingin mengetahui secercah ilmu dari alam semesta. Dengan begitu apapun yang akan dipelajari takkan mendapat penyangkalan dari ego.
Di salah satu sudut kamar tidurnya, di atas sebuah meja belajar dengan lampu duduk yang menyala, Andi membaca lembaran-lembaran awal dari buku barunya. Dari pengantarnya saja, ia memang dituntut harus membuang segala hal yang bahkan takkan pernah terbesit untuk dipertanyakan oleh orang berpemikiran waras. Buku pemberian cuma-cuma dari Pak Fahmi itu berisi sekumpulan gagasan jungkir balik mengenai protosains. Untuk sejenak, ia merasa ajaran astronomi yang diajarkan oleh bahan bacaannya sehari-hari serasa terguncang dari akarnya. Keyakinan yang selama ini dibangun olehnya perlahan kembali diragukan. Kemudian, ia pun hanya dapat menghela napas panjang.
"Buku edan," gumamnya sambil tersenyum kecil.
Di saat otaknya mulai mengikuti ritme pembawaan buku klasik itu, sebuah suara mengganggunya dari arah pintu depan. Terdengar seperti sebuah mobil yang kini baru saja tiba di luar pagar rumah, tapi Andi tahu benar jika itu bukan ayahnya. Setelah menandai sejauh mana bacaannya dengan secarik kertas yang dilipat dan diselipkan di antara halaman buku, ia menyimpan koleksi barunya itu di salah satu sisi meja. Sekarang ia lebih tertarik pada tamu tak diundang yang kini telah berada di halaman rumahnya. Seketika ia bangkit dari kursi dan langsung menuju jendela. Perlahan matanya mencuri pandangan dari balik kelambu, berharap orang itu tak menyadari keberadaannya.
Tak berselang lama, terlihat seorang wanita muda yang tengah melangkah pelan menuju pintu rumah. Sepertinya ia terlihat tidak asing bagi Andi, tapi entahlah. Dari wajahnya, tampak jelas jika dirinya tengah dalam dilema. Bibirnya terkatup rapat dan tangannya tergantung kaku, tidak seperti orang yang tengah berjalan dengan santai. Setelah sampai di teras pun ia tidak langsung mengetuk pintu. Napasnya mendadak tertahan, pandangannya menjelajah ke seluruh teras rumah. Saat dirinya berhasil meyakinkan diri untuk mengetuk pintu, ada orang lain yang muncul di sana.
Kali ini, Andi tahu pasti siapa yang datang. Ya, ia adalah sang ayah yang baru saja pulang dari kunjungan luar kota. Mobilnya telah terparkir di depan garasi tepat di samping teras. Tak lama setelah Jaka turun dari mobil, ia tentu akan mendapati keberadaan wanita ini. Mereka terlibat dalam sebuah perbincangan singkat, tapi sepertinya ada sesuatu yang salah. Jaka terlihat tidak senang, sedangkan si wanita memasang ekspresi menantang. Barulah setelah ia mengeluarkan semacam tanda pengenal, Jaka terpaksa mengalah. Andi tak dapat menangkap apa yang mereka perdebatkan. Yang jelas, saat keduanya mulai memasuki rumah, dirinya mendengar Jaka memanggilnya dari ruang tengah.
"Andi, coba turun sebentar, Nak!"
Andi membalas dari kejauhan, "Iya, Ayah!"
Ia hanya mengenakan celana dan kaos pendek saat itu. Sweeter hitam yang tergantung di pintu kamar menjadi pilihan. Buru-buru ia mengenakannya sembari melangkah turun dari lantai dua tempat kamarnya berada. Dari anak tangga pertama, sudah terlihat Jaka dengan wajah kusutnya, kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh.
"Andi, salim dulu sama Mbak Arum. Ayah mau ke belakang sebentar," kata Jaka sambil lalu.
Arum? Andi tertegun, ia berusaha mencerna dengan baik apa yang baru saja didengar oleh telinga. Bukankah itu wanita yang menolong Andi semalam? Ia melangkah semakin cepat menuruni anak tangga dan menemukan orang yang sedari tadi ia intai dari balik jendela kamar tengah berdiri di ruang tamu.
"Eh, ada Andi. Gimana kabar kamu hari ini, udah baikkan belum?" sapa Arum hangat.
"Alhamdulillah, udah jauh lebih baik, Mbak. Makasih." Andi berjalan mendekat dan mencium tangan Arum. Mau tak mau ia harus menemuinya, bagaimanapun ayahnya masih belum juga kembali muncul. Itu artinya ia harus menemani tamu rumahnya itu sedikit lebih lama lagi. "Silakan duduk, Mbak. Omong-omong, Mbak ke sini ada perlu sama Ayah, ya?"
"Nggak juga. Aku ke sini buat jenguk kamu," terang Arum saat ia mengambil posisi duduk di ujung paling jauh sofa ruang tamu.
Andi tahu tamunya itu tidak sepenuhnya berterus terang. Sekadar menjenguk bukan alasan untuk sebuah perdebatan kecil di teras rumah. Sedangkan ia tahu ayahnya tak segan-segan adu argumen dengan siapapun yang berani menyinggung kepentingannya. Tapi, biarlah itu menjadi misteri sekarang. Andi memiliki caranya tersendiri untuk mencari tahu.
"Andi, kamu boleh istirahat sekarang." Jaka muncul dari ruang tengah, kini suasana hatinya nampak lebih tenang dan lebih bisa berpikir jernih.
"Oke deh, Yah." Ayahnya adalah penyelamat sejati, Andi paling tidak suka dengan obrolan basa-basi dan ayahnya tahu itu. "Mbak Arum, makasih ya dah jenguk aku. Sekarang udah ngerasa baikkan kok. Aku masuk dulu."
"Baik-baik ya, Andi," balas Arum dengan senyuman yang terkesan dipaksakan. Semenjak Jaka kembali ke ruang tamu, ia terlihat memasang muka serius.
Ketika Andi hendak menuju tangga, ia berpapasan dengan Inem yang tengah membawa nampan bersisi dua gelas teh hangat dan tiga toples kecil makanan ringan. Ia memperhatikan Inem menyuguhkan jamuan sederhana itu di ruang tamu, hingga ia sendiri hanya terduduk di anak tangga kedua. Dirinya bisa dengan mudah mengamati apa yang terjadi di ruang tamu tanpa ada seorang pun yang menyadarinya. Saat Inem kembali, barulah ada orang lain yang mengetahui niatan tersembunyi Andi.
"Eh, Mas Andi ..."
Ucapan Inem terpotong oleh isyarat jari telujuk di bibir Andi. Tak lama berselang, putra semata wayang dari majikannya itu menyuruhnya untuk mendekat.
"Aku minta dibuatin cokelat panas bisa nggak?" tanya Andi dengan suara pelan.
"Bisa, Mas," jawab Inem tak kalah pelan.
Inem pun segera menuju dapur untuk membuatkan cokelat panas hasil permintaan Andi. Sedangkan ia sendiri masih terduduk di anak tangga, bersiap memasang telinga lebar-lebar untuk menguping Jaka dan Arum.
Jaka membuka pembicaraan. "Begini, saya nggak mau Andi ikut diseret-seret dalam masalah ini. Semua urusan Andi biar saya yang tanggung."
Ada yang mau mengulas cerita ini di halaman depan?