Jaka melangkah pelan menuju ranjang tempat anaknya berbaring. Andi masih memakai seragam khas, hanya saja sudah sedikit terkoyak di bagian lutut. Telapak tangannya telah dibalut kain kasa, masih terlihat pula obat merah yang dioleskan di sekitar sikunya. Jaka tak tahu lagi haru berbuat apa selain meraih bahu Andi dan memeluknya pelan. "Maafin Ayah, Nak."
"Aku senang Ayah di sini, nggak perlu minta maaf," kata Andi seraya membalas pelukan ayahnya itu. Walau terbesit sebuah pertanyaan di benaknya, untuk apa Jaka meminta maaf, ia tak terlalu menghiraukannya. "Ayah harus tahu orang yang bantuin aku sampai ke sini." Mereka mengakhiri momen itu dengan bersama menatap seorang wanita yang kini berada tak jauh dari keduanya. "Ayah, ini Mbak Arum."
Entah mengapa, Jaka langsung mengerutkan keningnya dan memberi tatapan tidak mengenakkan pada wanita itu. Bukan karena tidak berterima kasih, seperti ada suatu pihak yang menggunakan fisik Mbak Arum ini untuk mengalihkan pikirannya. Bukan tanpa sebab, yang pertama kali terlintas dipikirannya saat melihat wanita itu adalah seseorang yang pernah ada di masa lalunya. Hari ini, wajah itu kembali dalam bentuk dua pribadi berbeda.
"Pak Jaka, ayahnya Andi ya?" tanya Mbak Arum membuka pembicaraan sambil tersenyum manis.
Tentu ia tak ingin terlihat konyol di hadapan orang yang telah berjasa terhadap nyawa anaknya itu. Buru-buru ia pasang muka seolah senang dengan simpati dari wanita itu.
"Mbak Arum, terima kasih sekali," katanya sambil mendekati lawan bicaranya. "Saya nggak tahu lagi harus berkata apa, kalau tidak ada Mbak mungkin akhirnya bakal lain."
"Nggak usah dipikirkan, Pak. Saya cuma bawa Andi ke sini, banyak pengguna jalan lain kok yang bantu saya. Motor Andi udah di bawa ke bengkel deket RS sana." Usianya mungkin masih awal tiga puluhan, dengan rambut lurus yang diikat ekor kuda membuat Mbak Arum nampak mempesona walau tanpa riasan wajah. "Oh ya, ini tas sama sweeter Andi. Saya mau pamit pulang, soalnya udah ditunggu keluarga," katanya mengakhiri pembicaraan setelah menyerahkan barang-barang Andi.
"Wah, buru-buru sekali, Mbak. Ya sudah, sekali lagi makasih banyak. Maaf saya nggak bisa bales kebaikan Mbak dengan pantas."
"Pak, saya ikhlas bantu Andi. Saya nggak mengharap apapun. Andi udah punya nomor saya. Jadi, mungkin kapan-kapan kita bisa ketemu lagi dan ngobrol. Kabari saya kalau Andi sudah sehat ya." Ia pun mengulurkan tangannya kepada Jaka untuk berjabat tangan.
"Dengan senang hati. Hati-hati di jalan, Mbak."
Sungguh wanita yang murah hati. Awalnya Jaka memang berpura-pura, tapi semua yang dikatakan olehnya barusan tidak dibuat-buat. Di satu sisi, Mbak Arum memang mengingatkannya kepada sesuatu yang buruk. Sedangkan di sisi lain, ada wanita yang mungkin sama murah hatinya yang pernah ada di masa lalunya. Betapa hidup membawamu ke jalur yang takkan perhah diketahui oleh manusia mana pun. Perhatiannya kini kembali beralih ke Andi.
"Gimana kata dokter soal kondisi kamu?" tanya Andi dengan nada rendah setelah terduduk tepat di samping ranjang tempat Andi berbaring.
"Nggak ada yang serius kok, paling lecet-lecet sama lebam."
"Itu tangan kamu kenapa?"
"Cuma ini yang agak parah. Kata orang waktu jatuh telapak tanganku kena batu kali yang agak tajam, dapet empat jahitan deh."
Untuk sejenak, ia hanya terdiam menatap putranya itu. Kulit di atas tulang pipi Andi juga tergores hingga menciptakan beberapa garis berwarna merah tua di wajahnya. Andi terlihat pucat, tanpa tenaga, dan sedikit basah kuyup terkena hujan. Ia tahu putranya tidak menderita luka secara fisik saja. Tatapan itu, ia pernah melihatnya di suatu masa ketika Jaka pertama kali mengalami sebuah pengalaman tak terlupakan.
"Apa yang kamu lihat?"
Sontak pertanyaan itu membuat Andi terheran-heran. Ia belum memberikan sepenggal cerita pun tentang detail kecelakaan yang baru saja dialami. "Maksud Ayah apa?"
"Coba kamu jujur sama Ayah. Nggak ada yang akan menghakimi kamu di sini. Apa yang kamu lihat saat kamu jatuh dari motor tadi?"
"Aku nggak lihat apa-apa. Aku jatuh karena jalannya memang berbatu dan licin. Mungkin juga aku kurang konsetrasi waktu di jalan tadi."
Jaka mendekatkan kursinya ke arah Andi. Lalu, ia menyatukan kedua tangan dan menyondongkan tubuhnya ke depan. Setelah itu, volume suaranya tiba-tiba saja mengecil. "Dengerin Ayah, Andi. Ayah bukan dokter, orang-orang yang nolongin kamu, atau Mbak Arum. Hubungan batin orang tua sama anak lebih kuat dari yang kamu duga. Ayah tahu sesuatu udah bikin anak Ayah satu-satunya ini bener-bener terpukul sampai kamu begini, bener 'kan?"
Andi tidak menyangkalnya. Setelah dipikir-pikir, ia memang mengalami sesuatu yang aneh belakangan ini hingga membuatnya tak bisa menjalani aktivitas dengan tenang. Itu di mulai pagi ini setelah semalam ia mengalami sebuah mimpi buruk yang terlihat cukup nyata dan mengerikan. Diikuti dengan kesialan bertubi-tubi sepanjang hari, hingga akhirnya sesuatu yang buruk benar-benar terjadi padanya malam itu.
"Gimana Ayah tahu kalau aku lihat sesuatu?"
"Kita bakal sampai ke sana nanti. Jawab dulu pertanyaan Ayah, apa yang kamu lihat?"
"Ayah pasti nggak akan percaya."
"Ayah bakal tetep dengerin kamu, Andi."
Sepertinya Jaka berhasil meyakinkan Andi untuk membuka mulut. Hanya saja Andi masih tampak ragu. Bukan karena tak ingin mengatakan kebenaran pada ayahnya, ia hanya bingung harus memulai dari mana. Jadi, ia putuskan untuk menceritakannya dari awal.
"Semalam aku mimpi buruk. Nggak tahu kenapa, tiba-tiba aku terlibat dalam semacam ritual pemanggilan arwah. Bahkan aku nggak tahu bahasa apa yang aku pakai buat merapal manteranya. Yang jelas, ritual itu berakhir tragis. Hari ini kayaknya semua serba salah di mata aku dan yang ada cuma kesialan. Satu lagi, Ayah, ada semacam suara yang terus aku dengar di kepala aku. Semakin lama dia ngomong semakin aku nggak fokus jadinya. Dia cuma berhenti waktu tadi aku mampir ke rumah Siska, tapi habis itu dia kayaknya 'ngancam' aku."
"Dia ngancam gimana?"
"Katanya kalau aku nggak nurut dia bakal buat aku narik ucapanku balik. Aku nggak tahu dia bakal bikin aku sampai celaka begini. Dan yang aku liat waktu terkapar di jalan bener-bener buat aku mikir kalau akau bakal mati."
"Apa itu?"
Pandangan Andi melirik ke atas, berusaha mengingat kembali kejadian luar biasa yang telah ia alami. Memang agak sulit dideskripsikan, tapi ia berusaha untuk mengatakannya kepada sang ayah.
"Malaikat."
Napas Jaka yang sempat tertahan akhirnya bisa kembali normal. Namun, matanya sempat terpejam untuk beberapa saat. Bukan perasaan lega yang ia dapatkan, kini ia lebih cenderung lebih khawatir terhadap apa yang baru saja Andi katakan. Hanya saja, ia tak mau membuat anaknya lebih tertekan lagi. Cukup untuk malam ini, tak ada pertanyaan lagi.
"Terima kasih udah mau cerita ke Ayah, kita lanjut lagi nanti," ujar Jaka dengan tabah.
Apakah para pembaca menyukai karyaku? Ceritakan di kolom komentar.
"Habis ini, kita pulang," ujar Jaka yang langsung menghilang dari pandangan. Ia tak mau membiarkan anaknya berlama-lama di rumah sakit. Setelah menyelesaikan urusan administrasi dan membawa barang-barang ke mobil, ia akan langsung membawa Andi kembali ke rumah.
Pernahkah kau bertanya, kenapa? Kenapa terkadang Tuhan terlihat begitu pilih kasih terhadap makhluk-Nya? "Hidup memang tidak adil," amin untuk itu. Pemikiranmu cenderung melihat Dia sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas segala nasib buruk yang menimpa manusia dan itu tidak sepenuhnya salah. Dia memang Yang Maha Kuasa, Dia berhak melakukan apapun tanpa perintah dari siapapun. Sebenarnya, manusialah yang tak pandai bersyukur. Mereka lebih mengingat keburukan yang membuat mereka buta akan kebaikan-kebaikan yang kenyataannya lebih banyak. Ya, memang seperti itulah kejahatan. Hidup ini seperti sebuah jaring-jaring besar dengan segala kompleksitasnya. Entah bagaimana segala hal saling terbubung. Jika Dia berkenan, bahkan 'yang-telah-tertulis' akan kembali diubah. Tak ada satu pun semut yang tersesat dari kawanannya atau debu yang jatuh dari seorang pengelana melainkan atas sepengetahuan-Nya.
Andi jarang melakukan perenungan semacam ini sebelumnya. Kesibukan dari formalitas membuatnya tak sempat memikirkan hal-hal yang lebih spekulatif.
"Trik paling hebat dari Sang Iblis adalah berhasil meyakinkan manusia bahwa ia tidak pernah ada ...," sapa bisikan misterius.
Tolong, untuk sejenak biarkan jiwa muda yang tak bersalah itu beristirahat. Hanya saja, penguasa kejahatan telah kehilangan belas kasihan. Ia akan terus mengejar mangsanya, tak peduli apapun yang menghalangi. Tujuh Dosa Mematikan, ia jugalah yang membuatnya. Pemberontakan besar yang terjadi atas dasar kesombongan, menginginkan segala hal menjadi miliknya, tidak senang jika ada satu dzat pun yang lebih baik darinya, hingga terbakar api murka yang menggelegar. Hawa nafsu ia samakan dengan hasrat kehidupan, ia memakan apa yang seharusnya menjadi hak orang lain, dan pada akhirnya ia menginginkan segala kenikmatan duniawi tercapai hanya dengan bermalas-malasan. Andi adalah mangsa penguasa kegelapan, jiwanya kini benar-benar dalam bahaya.
"Aku lelah," gumamnya malas.
"Ayah tahu kamu lelah." Tanpa sadar, Jaka telah berada di dekatnya. Ia kembali dengan sebotol air mineral yang langsung ia berikan kepada Andi. "Kita pulang sekarang."
"Lupain aja yang tadi, Ayah," sautnya sebelum membuka tutup botol dan menenggak isinya sampai hanya tersisa setengah. Kini, Andi telah mengenakan sweeter abu-abunya dan tengah terduduk dengan kaki tergantung di sisi ranjang. "Mungkin suara itu bakal hilang sendiri besok."
"Ayah harap juga begitu." Dengan suka rela Jaka berlutut di hadapan putranya itu dan memakaikan sepatu Andi. Dia melakukannya dengan sangat berhati-hati, seolah yang ada di tangannya adalah sebuah guci yang telah retak. "Kamu bisa ambil cuti besok kalau kamu mau."
"Nggak usah. Lagian besok Jumat terakhir sebelum PAS, paling habis istirahat pertama terus beres-beres kelas. Makasih, Ayah." Setelah selesai, Jaka tak langsung mengajaknya pergi. Ia memutuskan untuk duduk berdampingan di sisi putranya dan mendengarkan setiap kata yang terlontar dari mulut Andi. "Oh ya, besok ada penilaian Sejarah Indonesia. Terus aku belum nyerahin latihan soal OSN astronomi, padahal udah selesai tiga hari yang lalu."
"Kamu yakin?"
Andi pun menatap ayahnya itu dengan sangat meyakinkan. "Aku nggak papa, Ayah."
Baru saja ia selesai mengakhiri kalimatnya, sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya kembali terulang. Mendadak suasana menjadi hening sepenuhnya, segala aktivitas di ruangan itu terhenti dalam sekejap. Andi masih mempertahankan pandangannya pada Jaka, namun bayangan yang sebelumnya sangat jelas kini memburam. Perlahan, denging yang sama sayup-sayup kembali terdengar.
"Andi?" Tak ada respon berarti darinya. "Andi? Kamu baik-baik aja?" Kini tatapannya benar-benar kosong. Sesaat kemudian, Andi memekik kesakitan.
"Arkh!" Kedua tangannya spontan meraih daun telinga dan berusaha sebisa mungkin untuk menutupnya. Tubuhnya langsung tertunduk dengan raut wajah menahan lara. "ARGKH!"
Melihat reaksi dari anaknya, buru-buru Jaka bangkit dan kembali berlutut di hadapan Andi. Ia tahu benar apa yang terjadi sekarang, dengingan itu sedang menyiksa Andi dan akan semakin menjadi-jadi. "Andi, lihat Ayah, Nak." Namun, sepertinya Andi sudah tak bisa lagi mendengarnya. Putranya sedang benar-benar kesakitan sekarang. Tentu saja Jaka sangat khawatir saat itu, tapi setidaknya ia tahu harus berbuat apa. Dengan lembut ia meraih kepala Andi dengan kedua tangannya ....
"Ayah!"
"Tidak apa-apa, Nak. Ini cuma Ayah. Biarkan Ayah masuk, tolong." Mata Jaka terpejam, kening mereka bertemu, dan ia mulai merapalkan sesuatu dari mulutnya. "Gia chári tou kyverníti pou dimioúgise ton kósmo. Gia chári tou fotós ...."
"Diam kamu!" Andi berusaha keluar dari jangkauan sang ayah, tapi tangan Jaka menggenggam kuat kepalanya.
"Gia tous theoús tou parelthóntos. Kai gia ton aiónió ángelo fýlaka ...."
"Dia datang, Ayah .... DIAM!" Suara Andi terdengar berbeda dari biasanya. Ia terlihat lebih ... liar.
"Enóste tin psychí mou me to paidí mou. Áse to paidí mou na zísei eftychós, áse me na ypomeíno ta deiná ...."
Jaka mengakhirinya dengan mencium kening Andi, kemudian segalanya menjadi satu.
***
Tidak ada yang abadi. Segalanya pasti akan rusak seiring dengan berjalannya waktu. Ada yang menganggap waktu hanyalah sebuah ilusi yang tak pasti, relatif antara satu orang dengan yang lain. Sebagian menganggap waktu bisa dilambangkan dengan bilangan dan diukur dengan akal. Tapi yang jelas, waktu membuat segalanya menjadi fana. Ada kalanya kesadaran manusia berkembang begitu pesat hingga mencapai kemajuan yang sungguh luar biasa sampai-sampai 'para Dewa' bisa merasakannya. Setelah itu, kemunduran terjadi sama hebatnya hingga manusia telah kehilangan tonggak yang seharusnya menjadi pegangan. Saat itu terjadi, seseorang harus mengembalikan umat manusia ke jalan yang seharusnya.
"Tentu saja. Hutan Kematian. Kenapa tak terpikir olehku?"
Tempat di mana tak ada makhluk hidup yang bisa bertahan dari racun kegelapan yang sangat pekat. Sebentar, biar kuingat-ingat dulu. Terakhir kali aku mengunjungi tempat ini, sedang terjadi pergolakan waktu dalam realita. Yang kumaksud memanglah kekacauan garis ruang dan waktu, secara harfiah. Tapi lupakan saja. Kini setelah sekian lama, sekali lagi diriku kembali terseret ke dalam kegelapan murni, sendiri, tanpa siapapun yang menemani. Aku kemari bukan untuk menyelamatkan dunia, aku hanya menginginkan jiwa seseorang.
Kuhirup napasku dalam-dalam, aku merindukan aroma keputusasaan seperti ini. Tanah yang retak karena tak terkena hujan, hingga batang pohon lengkap dengan dahan dan ranting yang kebanyakan masih mampu berdiri memenuhi hutan. Kukira ketika sebuah pohon mati maka batangnya juga akan roboh, cepat atau lambat pasti begitu. Sepertinya itu tak berlaku di sini. Cabang-cabang kayu kering terkena sinar bulan darah menambah aura kematian menjadi semakin terasa. Sejauh mata memandang yang ada hanyalah wilayah tandus nan gersang dalam gelapnya malam tiada akhir.
"Semakin jauh kau pergi, semakin dalam kau tenggelam ...."
"Kematian akan selalu menyertaimu," balasku pada suara tak dikenal.
Apa yang membuat para pembaca menikmati karyaku sampai sejauh ini?