Di dalam kamar yang bernuansa putih gading, El kini tengah menatap lurus keluar jendela kamarnya. Pikirannya kini terbagi menjadi beberapa bagian mengingat Alvira yang meronta-ronta memohon untuk memberikannya satu kapsul obat penenang, tentu saja tidak akan ia berikan begitu saja. Entahlah, ia takut semuanya akan berantakan lagi.
Ting
El mengalihkan pandangannya pada ponsel berwarna hitam miliknya.
| ruang pesan |
+62...
Bara? Ini Nusa, save nomor aku ya.
| ruang pesan berakhir |
El menaikkan sebelah alisnya merasa heran cewek itu mendapatkan nomor ponselnya darimana. Ah iya, hampir saja ia lupa. Pasti dari Mario dan Reza. Kedua cowok itu memang seenaknya memberikan nomor telpon dirinya kepada banyak cewek. Katanya sih supaya ia tidak menjadi jomblo abadi. Mengingat Reza yang mempunyai mantan sudah lebih dari hitungan jari, berpuluh-puluh cewek ia sudah taklukan --ah iya tapi tidak dengan Alvira-- membuat El merasa sedikit mengecap sahabatnya itu sebagai seorang playboy yang pintar sekali merayu. Sebenarnya Mario sama saja seperti Reza, memiliki banyak mantan. Bedanya Mario sedikit lebih setia.
Dengan tidak berniat membalas pesan tersebut, El kembali menaruh ponsel di saku celana lalu beralih untuk menyambar kunci motornya. Sepertinya ini adalah hari yang paling melelahkan selama pertengahan tahun ini.
Memakai jaket kulit berwarna hitam untuk menutupi seragam sekolah yang masih melekat di tubuh. Masa-masa SMA seharusnya menjadi hal yang paling menakjubkan, tapi tidak bagi El. Menurutnya, masa SMA tak lebih dari menjalankan hidup dengan semestinya, bukan untuk sekedar hangout yang menghabiskan banyak waktu karena itu sangatlah menyusahkan.
Ia mengenakan helm dan mulai melajukan motor ninjanya dengan kecepatan standar. Untung saja Mira sedang sibuk mengurusi bayi besar nan manja yang bernama Alvira. Kalau tidak, sudah di pastikan Mira sudah melarang dirinya keluar rumah sebelum membersihkan tubuh terlebih dahulu. Baru pulang, sudah ingin main keluar lagi, memang kebiasaan dirinya seperti itu.
Tujuan utamanya kini adalah sebuah warung kopi. Biasa, setiap anak cowok dari golongan manapun pasti tidak luput dengan hadirnya warkop dalam hidup mereka. Selain makanannya yang murah, mereka tidak perlu memikirkan seberapa lama ingin menghabiskan waktu disana.
Namanya ENCIKOPI. Salah satu tempat yang banyak di gemari barisan anak kaum motor besar, termasuk El. Tapi jangan salah, mereka tidak pernah membedakan siapapun yang datang dengan motor Vespa ataupun motor biasa. Tapi tetap saja lebih di dominan anak moge yang ada di sana, tapi jangan sungkan untuk bergabung hanya karena mereka mengenakan motor besar kebanggaan masing-masing.
Ya cara pikir biasanya memang sesantai ini. Walaupun mereka mengatakan welcome, tapi tetap saja kalau ada yang bergabung selain anak-anak motor besar pasti rasanya berbeda.
El melepaskan helm yang melindungi kepala, lalu menaruhnya di atas motor.
Suasana warung ini cukup ramai, banyak teman-teman lainnya yang berada di sana hanya untuk sekedar mengobrol ataupun mengopi sambil menunggu senja berakhir. Arti kata 'teman-teman' kali ini cukup berbeda.
"Woi El!"
Salah satu seorang cowok yang mempunyai jaket kulit yang sama persis dengan punyanya itu mulai mengajak dirinya high five.
"Apa kabar lo?" tanya cowok itu sambil menepuk pundak El dengan perlahan, seolah-olah mengatakan pada orang-orang yang melihat kalau mereka sudah memasuki status akrab.
El dengan wajah dingin hanya mengangkat bahunya acuh, merasa kalau itu adalah pertanyaan konyol sedunia di saat dirinya sudah terlihat baik-baik saja, untuk apa menanyakan kembali kabar? "Perlu ditanya, Dra?" jawabnya kembali melontarkan pertanyaan, sambil duduk di salah satu kursi kosong yang terdapat segerombolan cowok sedang bermain kartu poker.
Namanya Candra Adibanyu. Iya, keturunan Jawa yang hartanya merintis sampai generasi berikutnya. Gelar Adibanyu memang tidak bisa di bandingkan dengan Adalard, namun usaha butik yang menjual beraneka ragam batik membuat kehidupan Candra tidak pernah membiarkan rasa 'kekurangan' hinggap di hidupnya. Nama jawa, tapi wajah tidak kampungan. Mampu bersosialisasi dengan banyak orang dan akhirnya menjadi ketua genk motor besar yang ada di Jakarta, sangat keren sekali.
"Kalau lo kalah, motor lo buat gue ya?" ucap salah satu dari mereka sambil terkekeh kecil, bermain kartu poker dengan segala keuntungannya saat menang adalah hal yang paling menyenangkan.
"Kalau gue menang, ATM lo jadi milik gue. Gimana?" sambung yang lainnya, cowok satu ini merekatkan kartu supaya masuk lebih dalam ke genggaman tangannya supaya tidak ada yang mengintip.
"Loh, gak adil lah. Isi ATM gue banyak, gak sebanding sama motor lo." protes cowok di sebelahnya yang merasa tak setuju.
"Lah motor gue juga mahal." sahut cowok itu lagi.
El memutar bola matanya karena mendengarkan obrolan yang tak berbobot itu. "Gue ikutan." ucapnya membuat semua orang yang berada disini dengan serempak menoleh ke arahnya. Pasalnya, El selama ini tidak pernah mengikuti taruhan dari kartu poker. Bahkan sudah hampir 3 tahun tapi cowok itu tidak pernah menyentuh kartu poker lagi. Katanya sih ia tidak menyukai hal-hal yang berbau perjudian, padahal itu hanya alibi.
"Kerasukan apaan lo El? tumben banget mau maim kartu sama kita-kita." ucap Candra dengan heran menatap El yang seenaknya merebut seluruh kartu yang berada di tangan teman-temannya, berniat untuk mengulang permainan dengan mengocok kartu dari awal.
"Gue iseng aja ikutan, tapi gue gak ikut taruhan."
Syukurlah. Semua yang ada disini juga tau jika El bukanlah cowok nakal, bahkan untuk bertaruh pun tidak memiliki selera.
Permainan dimulai kembali. El mulai membagikan kartu poker kepada lima pemain lainnya.
Sedangkan disisi lain..
Nusa menatap kertas gambar yang ada di hadapannya. Tangan kanannya kian menopang dagu dengan tangan kiri yang sibuk mengetuk pelan kepalanya dengan sebuah pensil.
"Aku mau gambar, tapi gak bisa gambar." gumamnya dengan desahan kecewa, lalu melirik ke arah ponselnya yang tidak ada bunyi notifikasi dari seseorang yang ia tunggu-tunggu sejak tadi.
Ia mengacak rambutnya karena merasa frustasi, lalu memukul keningnya kembali sedikit lebih keras dengan ujung bawah pensil. "Bodoh bodoh bodoh, kamu bodoh banget si Nusa. Ngapain kamu ikutin saran dari Mario yang gak berguna sama sekali?" gumamnya pada diri sendiri, merasa hanya satu-satunya --diri sendiri-- yang bisa diajak kompromi mengenai perasannya.
Throwback
Lagi dan lagi Nusa mampir ke kedai kopi tempat Rehan bekerja. Dan ya, tidak perlu di tebak lagi ada siapa di sana. Ya, Mario dan Reza. Kedua cowok itu tengah adu panco.
"Lo kalau kalah beliin gua 5 cup kopi ya." ucap Reza dengan raut wajah yang sudah memerah berusaha menjatuhkan tangan Mario, ia berusaha mati-matian supaya bisa menahan tangan sahabatnya itu. Tentu saja ia tak ingin kalah!
"Enak aja lo, mau mati kebanyakan kafein lo?"
"Lah kok lo doain gue mati?" tanya Reza dengan kesal, lalu melemahkan sanggahan tangannya membuat dirinya kalah. "Males gue main sama lo, mending gue main aja sama El." sambungnya seolah-olah ngambek karena sebal dengan Mario.
Sedangkan Mario? ia langsung saja terkekeh geli. "Lo maen panco sama dia, mana ada tuh dia ngeluarin ekspresi. Mana susah banget di kalahin, heran gue sama El kayak gak punya perasaan."
Reza menganggukkan kepalanya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Mario.
Mario mengulum senyumnya. "Berarti, gue kan yang menang? Yes, gue dapet kontak cewek yang gue incer. Makasih banyak Ya Rab." ucapnya yang sudah mencium bau-bau kemenangan yang tercium sangat jelas.
"Eh, enak aja lo! Tadi itu gue gak siap!" Reza tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Mario.
Selalu saja seperti itu. Nusa melangkahkan kakinya ke arah tempat duduk mereka, lalu mendaratkan bokongnya tepat di samping Mario.
"Hai." sapanya dengan lembut, ia berusaha untuk menengahi pertikaian konyol di antara mereka.
Akibat kehadiran dirinya, kedua cowok itu langsung menoleh dan menghentikan aksi adu mulut mereka.
"Eh, Nusa? ngapain lo disini?" tanya Reza.
Nusa terkekeh kecil saat melihat ekspresi konyol Reza. "Aku kesini karena nunggu jam kerja Kak Rehan abis. Harusnya aku yang nanya ke kalian, kenapa kalian kayaknya kesini mulu hampir setiap hari?" tanyanya dengan penasaran. Terlebih lagi, saat ia bertemu dengan Mario dan Reza, El tidak ada bersama mereka. Hal itu membuat dirinya merasakan heran yang luar biasa.
"Ini mah basecamp kita, jadi udah kayak kewajiban banget buat kesini, kalau gak kayaknya ada yang kurang gitu." ucap Mario sambil merangkul Reza dengan akrab, ia menjelaskan. Senyumannya sangat manis. Ah tapi menurut Nusa hal itu tidaklah spesial. Ia hanya tertarik pada teman mereka yang lainnya.
Siapa lagi kalau bukan...
"Lo pasti nyari El kan?"
Nusa mengerjapkan kedua matanya, merasa di tebak tepat sasaran. "Eh?"
"Lo lucu banget sih, pantes aja El klepek-klepek sama lo." ucap Reza sambil menganggukkan kepalanya. Entah apa yang cowok itu mengerti.
"Gak usah ngawur." ucap Mario sambil mengusap wajah Reza dengan kasar. Sahabatnya yang satu ini suka sekali berbicara hal yang berbeda dari kenyataan. Menyebalkan. Untung saja Nusa bukan tipe cewek seperti Priska, kalau iya dirinya pasti sudah mengibarkan bendera perang.
"Mau nomor telepon El gak?" sambung Mario bertanya pada Nusa, ia menaik turunkan alis.
Nusa menganggukkan kepalanya dengan senang. Siapa yang tidak ingin mendapatkan nomor cowok seperti seorang Elbara? tentu saja dirinya mau!
Reza menggelengkan kepalanya. "Tapi gue suka gaya lo, Mario. Gue dukung lo buat deketin El sama Nusa, yuk cepetan jodohin!"
Mario meninju udara dengan semangat 45. "Nih nomornya, cepetan catet."
Dengan cepat Nusa langsung memasukkan nomor telepon milik El ke dalam ponselnya.
"Coba lo chat El, biasanya sih es kalau di sikapi pakai perasaan hangat, pasti bakalan mencair."
Throwback off
Nusa memutar kedua bola matanya. Mencair bagaimana? Yang ada El tidak berniat untuk membalas pesannya sedikit pun.
"Mario malu-maluin Nusa di depan El!" pekik Nusa sambil menutup wajahnya dengan bantal. Semburat merah jambu menjalar sampai telinganya.
...
Next chapter