Tuan, kau terlalu fulgar mengepakkan jeri payahmu.
Aku tak punya hak melarang, itu sukses dan uanmu.
Tapi, cungkil lah matamu dan letakkan pada sesiapa yang membantumu meraihnya.
Kalau belum sampai beri taraf lebih, sejahterakan dengan pencapaian.
Bukan berhitung, karna kau lah kalkulator.
Tuan yang terhormat, kesetiaan dan waktu adalah hal lumrah tiap kegiatan.
Bisa di bilang kami iri, walau di balik semuanya mungkin Tuan memikirkan hal sulit untuk dipertahankan agar terus berjalan.
Bukan tidak bersyukur, kami telah lakukan sebaik yang kami bisa
Walau tak selalu warung ramai pengunjung.
Rasanya kami belum pantas menuntut lebih, sebab kami hanyalah kami dengan kegiatan sehari-hari yang masih tak sepadan dengan pengorbanan energi dan waktu yang selayaknya kami beri.
Masih banyak orang di luar sana yang tak seberuntung kami, mendapat hasil dari kegiatan ini.
Tuan, jika kau tersinggung, coba sejenak fikirkan juga apa yang telah kami lakukan sepenuhnya walau memang itu yang seharusnya kami jalani.
Tapi tuan, rasanya siklus ekonomi membabi buta di jalan sana, kami belum terpengaruh menjadi babi ngepet' tapi siklus itu sangat mempengaruhi perjalanan kami.
*Bersambung *.
-Jakarta, setahun silam-
Liur Tak Berdosa (bag.5) : Diary Berlendir.