Seorang gadis berambut kuning yang diikuti oleh pria berambut merah berjalan di antara pohon-pohon muda tanpa tujuan yang jelas sementara itu matahari mulai terbenam
[Seekor naga kuning membimbing jalan pejalan kaki. Pada pertengahan bulan dua singkirkan satu ulat dari apel merah. Cahaya akan muncul. Jiwa kembali dan pintu terbuka.]
Sambil berjalan Naara sama sekali tidak melepaskan pandangan dari rentetan kalimat yang tertulis pada kertas putih di depannya. Sudah berulang kali ia membacanya tapi ia masih belum juga mengerti.
"Seekor naga kunig membimbing jalan pejalan kaki. Apa artinya di sini ada naga dan naga itu yang akan menunjukkan jalan ke pintu keluar? Apa begitu?" Ia berpikir dalam benaknya.
"Guru ...."
"Pada pertengahan bulan dua singkirkan satu ulat dari apel merah lalu cahaya akan muncul dan pintu terbuka. Apa maksudnya?"
"Guru!"
"Pertengahan bulan dua? Februari?" Dahinya benar-benar berkerut memikirkan semuanya. Semakin ia berpikir semakin ia merasa kesal. Raut mukanya mengencang saat meremas kertas itu dalam kepalan tangannya. Entah kenapa akhir-akhir ini nasibnya sangat buruk.
"GURU!"
"APA!!" bentaknya bernada frustrasi, berbalik menghadap Niin yang sejak tadi mengganggu konsentrasinya.
"Aku ... aku mau pipis," lirih Niin tertunduk.
Wusss. Mendadak angin berhembus mengibarkan beberapa helai rambut kuning Naara yang bergeming, seolah jiwanya sedang berada di awang-awang. "K-kau bilang apa tadi?" tanyanya meminta kejelasan, barang kali ia salah dengar.
"Aku mau pipis!" Niin mengangkat kepalanya.
Tidak ada jawaban selama beberapa detik. Naara perlu waktu untuk mencerna kalimat itu dengan baik.
"Guru, aku ti–"
"Jauhkan tanganmu dari sana!" Naara memperingatkan saat Niin ingin memegang naga junior miliknya lantas berbalik dan mengusap kasar wajahnya, di sana ia benar-benar merasa panas. "Kau harus tahan," ucapnya tak mau tahu.
"Ta-tapi aku tidak tahan lagi!" Niin membungkuk sambil merapatkan pahanya, ia merasa sebentar lagi akan ngompol namun tak lama angin berhembus di dekat telinganya. "Ini ... suara sungai ...."
"Nenek itu ...." Naara berjalan sambil menggertakkan gigi dan mengepalkan tangannya. Ia tidak tahu lagi apa yang akan ia lakukan saat bertemu Nenek Lope.
"Hey kau?" Ia terkejut saat Niin tiba-tiba terbang di atasnya seperti pesawat yang menyambar, dengan cepat ia meraih tangan Niin dan menggelantung.
Kedua matanya melebar, terpukau dengan pemandangan alam yang terbentang luas di bawahnya, itu cukup untuk menggusur seluruh kekesalan yang ada di hatinya. Sangat menenangkan. Dia tidak pernah menyadari kalau sebenarnya ia merindukan semua pemandangan itu, itu benar-benar mengingatkannya pada Isura.
'Kakak ...." bayangan Isura melintas di benaknya lalu di detik berikutnya ia terkesima pada sungai di bawahnya, terlihat kuning karena memantulkan sinar matahari senja, entah kenapa ia merasa ada yang tidak wajar. Di saat itulah ia menyadari sesuatu.
Ia memerhatikan lagi sungai tersebut. Dilihat dari atas sungai itu seperti ... naga?
Apa yang dimaksud naga kuning itu adalah sungai ini? ia bertanya-tanya di benaknya.
Niin meluncur ke bawah.
Byur!
"Fiuh, leganya."
Astaga gadis itu benar-benar membuat tubuh yang ditumpanginya pipis di air. Jengkel, malu, jijik, semua bercampur aduk sampai-sampai Naara tidak tahu cara mengekspresikan perasaannya saat ini namun selang beberapa saat kemudian ia fokus dengan sungai di depannya yang terlihat berbeda.
Tanah di dasar sungai itu berwarna kuning seperti pasir tapi entahlah, itu terlihat bersinar.
Sekarang pertanyaan baru timbul di kepalanya, bagaimana sungai itu bisa begitu? Apa karena mineral tertentu? Tapi sudahlah itu tidak penting, yang penting sekarang adalah keluar dari tempat tersebut secepatnya.
Dari balik sebuah pohon, Nenek Lope, Raya dan Lily nampak mengintip dari jauh. "Bocah sialan, dia pipis di sungai suci," umpat Nenek Lope.
Niin yang baru keluar dari air samar-samar mendengar ucapan tersebut. "Sepertinya ada orang di sana." Ia menunjuk ke arah sebuah pohon dan Naara menoleh mengikutinya.
"Mha? Ki-kita ketahuan." Lily menggigit bibir bawahnya.
"Ayo kabur!" Sebuah lubang hitam mirip seperti milik Yyug terbuka dan melebar di bawah kaki mereka.
"Tidak akan kubiarkan!" Naara mencabut satu pedangnya berlari untuk menerjang Nenek Lope tapi terlambat, ketiga orang itu sudah menghilang membuat serangannya hanya mengenai angin. "Cih!" Ia mengepal kesal. Kalau saja ia memakai tubuhnya sendiri pasti nenek itu sudah habis.
Tubuh yang ditumpanginya sekarang benar-benar tidak berguna. Dengan suasana hati yang buruk ia kembali ke tempat sebelumnya dan menatap kondisi tubuhnya yang sudah setengah basah.
Ia benar-benar tidak percaya sosok pria berambut merah yang baru saja pipis di sungai itu adalah dirinya. Ke cool-an yang selama ini melekat padanya seketika musnah.
Kegelapan lagi-lagi mulai mendominasi langit. Naara berjalan menyisir pinggiran sungai. Sambil berjalan ia memikirkan kalimat selanjutnya yang ada di kertas 'pada pertengahan bulan dua singkirkan satu ulat dari apel merah' ia yakin kalau naga kuning yang dimaksud adalah sungai itu tapi ia tidak tahu arti kalimat yang berikutnya.
Pertengahan bulan dua? Jangan bercanda, menghabiskan waktu satu hari saja di tempat itu sudah sangat menguji kesabarannya apa lagi kalau harus menunggu sampai pertengahan bulan dua, ah, dia bisa mati karena tekanan darah tinggi dan dia belum sempat balas dendam.
Terus berpikir membuat kepalanya cenat-cenut ditambah lagi ....
"Hey, Guru! Lihat aku menangkap kodok!"
Webek. Webek.
Niin menunjukkan kodok yang ia tangkap pada Naara.
Semenjak dihinggapi jiwa Niin, wajah yang selama ini selalu datar menjadi lebih ekspresif.
Naara menatap aneh pada kodok yang meronta juga pada wajah yang tersenyum sangat lebar kepadanya. Itu terlihat seperti bocah ingusan yang kegirangan saat mengeksplorasi lingkungan.
Kalau begini terus, ia merasa benar-benar akan mati karena darah tinggi, ia tidak bisa melampiaskan kekesalannya karena tubuh yang dipakai Niin adalah tubuhnya.
Ia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan-lahan. Sabar dan tenang, itulah yang coba ia lakukan. "Niin, lepaskan kodok itu?"
"Kenapa? Aku susah payah menangkapnya. Guru, bagaimana kalau kita bertukar tubuh selamanya saja, tinggal di tubuh guru sangat menyenangkan," ungkap Niin yang ternyata senang dengan keadaan yang ada. Itu karena tubuh Naara memiliki indra-indra yang luar biasa tajam, kekuatan, kepekaan dan berbagai kelebihan lainnya. Walau tidak bisa melihat itu bukan masalah lagi.
'Enak di kau, susah di aku.' Rasanya Naara ingin mengatakan itu tapi sudahlah.
"Niin lepaskan!" Ia masih berusaha sabar.
"Tapi ... AGH!"
Naara berekspresi tegang campur kaget saat kodok itu memancarkan kencingnya tapi kemudian ia merasa lega saat Niin berhasil menghindarkan wajahnya dan melepaskan si kodok.
"Sudah kubilang lepaskan!!" omel Naara naik darah.
"Ma-maaf." Niin tertunduk.
"Haah. Kemari!" Melihat Niin, Naara membuang napas kasar, menetralkan ekspresi⁸ lalu meraih pergelangan tangan Niin dan menariknya hingga berjonggkok di tepi sungai. "Sekarang cuci tanganmu." Ia dengan baik mulai menggosok-gosok telapak tangan Niin, terlihat seperti seorang ibu sedang membersihkan tangan putranya yang bodoh dengan kasih sayang.
Hm. Sungai yang tadi ditempati pipis sekarang dipakai cuci tangan, tidak terlalu buruk. Anggaplah pipis itu sudah dibawa pergi oleh aliran air.
"Kenapa kau tersenyum?" tanyanya saat menangkap senyum tipis yang dilampirkan Niin.
"Kau seperti ayahku."
Seketika Naara bergeming menatap dalam wajah di dekatnya, mencoba melihat sosok jiwa yang ada di baliknya namun lima detik kemudian ia beralih melihat tangan yang masih ia pegang. "Apa ... kau dekat dengan ayahmu?"
"Hm, yah."
"Kau merindukannya?" Naara membolak-balik tangan yang dipegangnya, memastikan kalau tangan itu benar-benar sudah bersih.
"Sangat. Dia ayah terbaik!"
"Ayah ... terbaik ...?" Naara berucap lirih, bayangan orang itu melintas di benaknya.
hi terima kasih sudah membaca. jika kamu menyukai cerita ini silahkan vote, komen atau review ^^