Gina secepat kilat memutarkan tubuhnya ke belakang, ke arah pohon yang tadi berada di belakangnya. Dan pada saat itu pula matanya menangkap sosok anak perempuan yang umurnya berkisar enam sampai tujuh tahun.
Pandangannya kembali Gina edarkan ke segala penjuru taman yang bisa ia lihat. Tidak ada siapapun selain dirinya dengan anak perempuan ini di taman.
"Kakak, aku boleh minta bolanya? Nanti kesayangan aku bakal sedih kalau bola itu ilang, aku harus banyak latihan biar kesayangan aku itu seneng."
Gina membulatkan matanya saat mendengar kata 'kesayangan' terlontar dengan gamblangnya dari mulut seorang anak kecil.
Dari mana anak perempuan sepertinya tahu kata-kata seperti itu? Gina tanpa sadar menggeleng pelan, mungkin benar apa yang sering digunjingkan para orang dewasa tentang anak-anak jaman sekarang.
Tubuhnya bergidik geli, ternyata cukup mengerikan.
"Adek manis sendirian?" Gina tersenyum sebelum ia mengerjapkan mata saat menyadari apa yang tadi ia ucapkan.
Bukankah terkesan seperti orang jahat yang berniat ingin menculik seorang anak kecil untuk dimanfaatkan? Ia juga sadar saat anak perempuan di hadapannya berangsur-angsur memundurkan langkahnya.
Gina dengan cepat menggelang, kakinya ia langkahkan agar lebih dekat dengan anak itu.
"Kakak bukan orang jahat kok," ujar Gina meyakinkan agar anak perempuan manis di depannya tidak menunjukkan tatapan takut yang saat ini tengah melanda netra Asia miliknya.
"Kakak cuman mau ngembaliin bolanya, ayok sini." Gina berjongkok, mensejajarkan tingginya agar setara dengan anak perempuan tersebut. Mimik wajahnya sudah ia buat selembut mungkin agar raut ketakutan sirna di wajah sosok mungil di hadapannya.
Karena tidak kunjung mendapatkan respon positif dan malah membuat anak itu bersembunyi di belakang pohon, Gina akhirnya meletakkan bola merah muda di tangannya ke arah rerumputan dekat pohon.
Perlahan, dengan senyum lembut yang tidak luntur dari wajahnya Gina melangkah mundur. Bermaksud agar anak perempuan itu mengambil bolanya dan segera pergi. Meski di dalam hatinya Gina sangat ingin anak kecil itu menghilangkan perasaan takut kepadanya.
Entah kenapa walaupun ada orang asing berada di hadapannya saat ini, Gina tidak merasa takut sedikitpun. Hatinya lapang, dirinya yakin bahwa anak kecil sebesar itu tidak akan pernah menyakitinya.
Bahkan Gina seperti melihat sebuah sosok cerminan dirinya sendiri sewaktu kecil.
Saat sang Papa masih ada tentunya. Seluruh sikap dan gerak-gerik Gina waktu seumur anak itu bisa dikatakan mirip. Kepolosan dan keceriaan tergambar penuh di seluruh permukaan wajahnya. Masa-masa ketika dunia belum menodai hati lembutnya.
Sorot mata yang sudah redup itu semakin redup, senyum lembut yang terpatri berubah menjadi sunggingan senyum miris. Gina membalikan tubuhnya, menatap hamparan danau luas dengan harapan bisa menenangkan kembali hatinya.
"Kakak?" Sebuah panggilan serta cengkraman halus di kakinya membuat Gina tersentak. Menyadarkannya kepada realita yang ada.
Gadis remaja berumur tujuh belas tahun itu menunduk, pandangannya menatap seorang gadis kecil yang baru saja mengingatkannya akan masa lalu.
"Kakak kok nangis? Maafin aku ya, aku nggak bakal takut lagi sama kakak."
Pada awalnya Gina bingung dengan apa yang dituturkan oleh anak itu sebelum sebelah tangannya terangkat dan mendarat di pipi tirusnya. Gina tentu terkejut saat mendapati bahwa pipinya terasa basah.
Jari-jari tangannya ikut meraba kedua matanya yang ternyata sudah berlinang air mata. Gina menghapusnya dengan kasar saat melihat anak perempuan yang beberapa waktu lalu menatapnya dengan sorot takut kali ini memberikannya sebuah tatapan kekhawatiran.
"Udah diambil bolanya?" Gina kembali berjongkok agar sejajar dengan anak perempuan itu. Ia melirik ke arah bola berwarna merah muda yang terlihat sedikit kotor oleh tanah.
Anak perempuan tersebut mengangguk, ia tersenyum lebar saat dengan cepat tubuhnya dapat menerima respon positif ketika berada di dekat Gina.
"Kamu ke sini sama siapa?" tanya Gina sekali lagi. Jujur, dia sedikit khawatir ketika membayangkan bahwa di taman sesepi ini anak perempuan itu sendirian. Mengingat seberapa maraknya kejahatan yang merajalela di Ibu Kota.
"Aku ke sini sama kesayangan aku, Kak!" seru sang anak senang. Binar kebahagiaan terlihat sangat jelas saat anak perempuan itu dengan kerasnya menyebut siapa yang menemaninya di taman hari ini.
Kening Gina berkerut, ia masih tidak mengerti apa makna kesayangan yang terus di lontarkan oleh anak kecil sedini sosok di hadapannya. Dan lagi, kenapa anak perempuan itu tidak sekolah?
"Adek manis, kalau boleh tau kesayangannya kamu itu siapa sih?" Gina bertanya dengan lembut.
Rasa senang juga aura positif yang dikeluarkan oleh anak kecil di depannya membuat Gina merasa tenang. Seakan seluruh beban masalah yang menimpanya kali ini musnah begitu saja.
"Kesayangannya aku itu--" Gina semakin bertanya-tanya begitu anak perempuan itu menggantungkan perkataan yang baru saja ingin diucapkan. Dirinya juga tahu ada seseorang di belakang punggungnya ketika sosok di depannya mendongak seraya tersenyum lebar.
"Nenek!" Setelah berteriak kencang untuk memanggil seseorang di belakang punggung Gina, anak perempuan itu segera berlari kencang menghampiri sosok yang ia sebut Nenek.
Pelukan erat wanita paruh baya itu terima saat sang cucu sampai di hadapannya. Sang Nenek berjongkok, balas memeluk anak perempuan itu tak kalah erat.
Beberapa menit yang lalu, hampir saja jantung tuanya ini kehilangan detaknya begitu sadar bahwa sang cucu sudah tidak berada di sampingnya.Tadi ia ada sediit urusan dengan sampah-sampah yang tergeletak di rerumputan taman.
Ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan. Akan tetapi, sedetik kemudian kepanikan melandanya saat mendapati cucu satu-satunya itu tidak berada di dekatnya.
Sampai lima belas menit lamanya ia mencari, akhirnya pengelihatan yang mulai kabur miliknya melihat sang cucu bersama dengan seorang gadis muda.
Sedangkan di sisi lain, Gina yang tetap berada di tempatnya membeku. Tubuhnya terasa mati rasa dan tidak bisa digerakan bahkan untuk mengangkat salah satu jarinya. Seketika dirinya shock saat telinganya menangkap apa yang diteriaki anak perempuan pemilik bola itu.
Ia tidak berani berbalik untuk melihat apa yang sedang terjadi di balik punggungnya. Secepat kilat dan tanpa diundang sama sekali, memori kelam itu seketika terputar di kepalanya.
"Kamu yang sekarang megang seluruh harga diri keluarga Ahitama, Gina."
"Jangan diem aja! Nggak usah ngeluarin air mata nggak guna itu lagi! Naik sekarang dan tunjukin yang terbaik sebagai seorang Adhitama!"
"Dari awal harusnya Papa-Mama kamu nggak usah susah-susah nyelametin nyawa anak nggak berguna kayak kamu!"
"Karena yang pantes hidup dan jadi kebanggaan keluarga cuman Gian sama Gino! Anak sialan kayak kamu harusnya mati!!"
"MATI!!!"
Kata-kata terakhir yang terdengar jelas di pikirannya, membuat Gina terlonjak. Seketika dadanya terasa sesak dengan leher yang dicekik kuat. Matanya berkunang-kunang, kepalanya terasa pening luar biasa yang tidak bisa dijelaskan lagi seberapa sakitnya.
Gina berusaha meraba rerumputan di depannya, berusaha menjaga agar kedsadarannya tetap terjaga. Tidak lama, tangan kanannya kembali mencengkram kuat gelang pemberian sang Papa. Berusaha mengendalikan diri dengan kekuatan yang besar dari gelang itu.
Tidak.
Jangan sekarang.
Serangan panik ini tidak boleh menyerangnya lagi.
Jangan lupa selalu tinggalin jejak buat ngedukung aku dan cerita ini ya ❤️
Makasih yang selalu setia nunggu si kembar tiga up^^ Btw, maaf buat keterlambatan updatenya ya ❤️