"Saya tau pasti banyak banget pertanyaan di benak kalian, terutama Gian." Dengan kaki yang disilangkan juga dengan tangan yang dilipat di depan dada, Dokter Hani menatap serius ke arah kedua remaja laki-laki di hadapannya.
Saat ini mereka tengah ada di sofa yang ada di dalam kamar Dokter Hani. Atau lebih tepatnya di dalam salah satu kamar keluarga Adhitama yang dikhususkan untuk psikiater tersebut setiap ada sesuatu terjadi dengan Gina.
"Tapi saya minta tolong jangan panik. Kendaliin emosi kalian, dan jangan pernah potong omongan saya sebelum saya selesai jelasin soal Gina," tutur Dokter Hani kepada Gian dan Gino yang sudah siap mendiskusikan semuanya.
"Mama kalian nggak bisa ikut diskusi ya? Dasar workaholic gila, padahal ini tentang anaknya sendiri." Kerlingan sinis dari Dokter Hani tak luput dari pengelihatan Gian dan Gino.
Mereka diam, meskipun Dokter Hani terkesan sangat buruk kepada Mama mereka, akan tetapi di dalam hati keduanya mereka membenarkan. Ada sedikit kekecewaan setelah mendapat jawaban terburu-buru dari sang Mama.
Mama mereka yang notabene nya sebagai satu-satunya orang tua dari Gian, Gino, dan Gina. Dengan mudahnya dan tanpa difikirkan terlebih dahulu apa yang akan disampaikan oleh Dokter Hani, menolak begitu saja diskusi penting pagi ini.
Dengan hati yang terasa terkikis juga miris, Gian dan Gino mengenyahkan segala pikiran bahwa Mama mereka tidak peduli atas apa yang terjadi dengan anak bungsunya.
Sang Mama hanya sibuk, ya sibuk untuk menafkahi ketiga anak kembarnya. Dan sudah sepantasnya Gian, Gino, dan Gina harus mengerti itu semua.
"Oke sebelum saya ngejelasin semua, biar kalian paham saya ada beberapa pertanyaan." Kedua sosok yang akan ditanya oleh Dokter Hani mengangguk, bersiap menjawab apapun yang akan dilontarkan oleh psikiater di depan mereka.
"Apa reaksi Gina pas tau kalau Gino punya pacar?" Pertanyaan pertama Dokter Hani lemparkan pada keduanya. Sorot mata menuntut jawaban berhasil membuat Gian dan Gino sedikit merasa gugup.
"Waktu itu ... " balas Gino menggantungkan jawaban.
Ia melirik Gian yang juga sedang melirik dirinya, tidak lama setelah saudara kembar itu bertatapan, anggukan kepala dari keduanya meyakini bahwa apa yang akan diucapkan mereka kepada Dokter Hani adalah sesuatu yang benar terjadi.
"Sama kayak Kak Gian waktu tau Gino punya pacar, kaget dan nggak lama dari itu dia ketawa biasa sama kami berdua. Oh, ditambah Mama juga," lanjut Gino.
Dokter Hani mengerutkan kening, punggungnya ia sandarkan ke sofa. Pandangannya mengarah ke atas. Hatinya semakin yakin atas apa yang sudah ia perkirakan sebelumnya.
"Terus apa serangan paniknya pernah kambuh pas kalian ngomongin tentang ... siapa itu? Ah, Viona."
"Pernah," jawab keduanya berbarengan. Gian dan Gino sempat melirik satu sama lain ketika hal itu lagi-lagi terjadi sebelum kembali memfokuskan atensi ke arah pertanyaan Dokter Hani.
"Berapa kali?"
"Sat---"
"Dua kali." Gino memotong jawaban yang akan Gian ucapkan. Membuat sosok yang memiliki wajah mirip dengannya itu menatap terkejut ke arah adik kembarnya.
"Dua?! Satu lagi kapan?" Kali ini Gian yang menatap Gino dengan tatapan menuntut penjelasan. Setahunya Gina hanya hampir mengalami serangan panik saat sang Mama menyuruh Gino untuk memperkenalkan Viona kepada mereka.
Lalu apa katanya? Dua kali?
"Waktu Gino bilang ke Gina kalau Viona udah tau bahwa sebenernya Kak Gian sama aku punya satu lagi adik kembar, itu yang pertama. Waktu itu Gina juga panik gara-gara krim wajahnya abis."
Raut wajah Gino berubah sendu saat mengingat pada saat itu dengan gamblang dan tanpa berpikir panjang, ia memberitahu Gina bahwa kekasihnya sudah tau semua.
"Yang kedua, waktu Mama bilang kalau minggu depannya Viona bakal diajak makan malem di sini."
Dokter Hani mengangguk paham, reaksi yang seharusnya menjadi penyebab serangan panik Gina yang 'sewajarnya' terjadi mengingat taruma masa lalu gadis itu memang sudah terlihat dari awal.
Walaupun ada sedikit rasa aneh yang perlu dipertanyakan atas reaksi pertama Gina ketika kakak kembarnya memberitahukan bahwa ia sudah memiliki kekasih.
Jika ada dua reaksi yang mengaitkan Gina dengan 'orang baru' yang masuk ke dalam hidupnya, ada apa dengan reaksi pertama saat pemberitahuan kabar bahwa Gino memiliki kekasih? Apa karena saat itu pengendalian diri seorang Gina sangat kuat?
Sepertinya benar apa yang ia bicarakan kepada Gino kemarin. Bahwa serangan panik itu kemungkinan benar-benar terjadi bukan karena trauma masa lalunya, tetapi kebahagiaan si gangguan mental yang terancam.
Dan kebahagiaan Gina yang paling kuat terdapat kepada Gino dan Gian.
"Sebelum acara makan malem kemarin, apa ada sesuatu yang nunjukin kalau Gina ini nerima Viona sebagai orang baru? Atau ada gerak-gerik Gina yang nggak nyaman sebelum hari itu?"
Gian dan Gino terdiam cukup lama sembari merekam ulang saat-saat sebelum acara makan malam itu dilaksanakan. Sampai beberapa detik kemudian tubuh Gian menegang, dan hal itu tidak luput dari pengelihatan Gino yang tahu bahwa kakaknya ini mengetahui sesuatu.
"Ada dua, tapi yang paling intens cuman ada di gelang Viona." Dengan menggebu-gebu, Gian menjelaskan kepada Dokter Hani. Ia baru tahu bahwa kemarin Gina terlihat seperti mencari sesuatu di tasnya.
Gian tentu yakin bahwa yang dicari gadis itu adalah gelang yang ditujukan sebagai hadiah dan ucapan selamat datang kepada kekasih Gino tersebut.
"Gelang Viona?" Kali ini gantian Gino yang kebingungan. Sejak kapan pacarnya itu memiliki gelang?
"Iya, gelang. Gina waktu itu beli gelang buat Viona. Kalau nggak salah pas kamu bilang kalau Gina ada yang ngasih cincin." Gian bersiap beranjak dari duduknya, berniat untuk mencari benda yang adiknya ingin berikan kepada 'orang baru' di keluarga mereka.
"Itu gelang? Buat Viona?!" Gino mengerjap dengan keterkejutan yang jelas terlihat kentara di wajah tampannya. Ia tidak pernah berfikiran bahwa Gina akan membelikan sesuatu untuk kekasihnya.
"Berarti bener," gumam Dokter Hani yang dapat didengar jelas oleh orang lain temasuk Gino.
Remaja laki-laki itu masih merasa terkejut saat mengetahui fakta baru tentang adiknya. Semenjak Gina dinyatakan terkena gangguan mental, gadis itu sangat sulit untuk menerima orang baru. Akan tetapi apa ini?
Gina sudah menyiapkan gelang untuk Viona?
"Saya nggak salah kalau Gina memang udah mulai sembuh dari traumanya dan saya juga nggak salah ngira kalau sekarang yang ditakutin anak itu adalah kebahagiaan dari sumber kebahagiannya." Ucapan berbelit dari dokter Hani membuat Gino menatap lekat psikiater itu.
Melihat kebingungan Gino yang menatapnya, Dokter Hani kembali mengulang sebagian dariapa yang diucapkannya tadi.
"Kebahagiaan dari sumber kebahagiaan Gina."
"Kalian, sumber kebahagiaan anak itu, dan Gina nggak mau kalau kalian kesakitan, sedih, dan ngerasain rasanya terluka." Dokter Hani menoleh saat mendengar bahwa pintu kamarnya terbuka, memperlihatkan Gian yang berjalan lalu kembali duduk di tempat semula.
"Ini gelangnya." Sosok yang tadi berbicara menyerahkan sebuah kotak berwarna merah yang di dalamnya terdapat gelang yang amat cantik.
Dokter Hani membuka kotak yang saat ini berada digenggamannya. Saat terbuka, dalam hati psikiater itu berdecak kagum saat mengira seberapa mahalnya benda yang akan diberikan kepada kekasih Gino ini.
Sampai sebuah pikiran terlintas begitu saja di benaknya, Dokter Hani mengerjapkan mata saat menemukan titik terang dari serangan panik Gina kali ini.
Jika Gina sebelumnya menerima Viona ke dalam kehidupannya, tetapi mengapa ketika bertemu langsung dengan kekasih Gino itu, Gina mengalami serangan panik? Sedangkan Dokter Hani tahu betul bahwa Gina sudah menyiapkan mentalnya dari jauh-jauh hari.
"Gino ... " panggil Dokter Hani pelan. Dirinya mengalihkan perhatiannya ke arah sosok yang baru saja dipanggilnya. Saat Gino balas menatap matanya, psikiater itu segera melanjutkan ucapan.
"Kamu yakin kalau Viona orang baik?"