Preinan POV
Kkrriiitttt..
"Prei ...,"
Aku hampir saja terperanjat ke belakang, saat melihat Raiga berdiri di balik pintu kamar mandi. Memandangiku dengan tatapan mata yang aneh.
"Kamu ... ngapain disini. Aku kira masih di dapur." sahutku tergagap. Dan buru buru keluar dari dalam ruang sempit itu.
"Kamu nggak apa apa? Dari tadi aku liat kamu bulak balik ke kamar mandi terus. Kenapa?." tanyanya dengan wajah khawatir.
Aku menggeleng pelan "Nggak apa apa. Mungkin cuma masuk angin, jadi sedikit nggak enak perut."
"Masuk angin? Yaudah, sini. Biar aku obatin." dia menarik pergelangan tanganku dan menyeretnya menuju ruang TV.
"Eh, Rai ...,"
Di sana ada Mamah Rai yang sedang duduk di sofa sembari menonton layar Televisi yang menyala. Aku mendadak gusar dan sedikit memperlambat langkahku. Tapi Raiga terus saja membawaku mendekati Mamahnya.
Bahkan sekarang, kami duduk bersebelahan.
Hhh ... Raiga! Apa kamu nggak tahu kalo sekarang aku sangat gugup!
"Mah, Preinan bilang dia nggak enak perut. Mamah bisa kan nusuk dia?." kata Raiga yang membuatku terkejut seketika.
Di tusuk?
Wanita setengah baya itu beralih menatapku dan menggeser posisi duduknya lebih dekat denganku. "Sini, biar Mamah liat."
Aku celingukan, dan melempar wajah bingung pada Raiga yang berdiri di sampingku. Tapi dia hanya diam saja. Dan hanya melempar senyuman.
"Tangan kamu." ujar Mamahnya lagi. Dan langsung ku ulurkan tanganku padanya.
Dia memijat mijat lembut telapak tanganku dan menyuruh Raiga mengambilkan kotak P3k yang ada di bawah laci TV. Dengan cepat Raiga membawa kotak berwarna kuning itu pada Mamahnya.
Sebagai pasien yang baik dan tidak tahu apa apa, aku hanya berdiam diri dan menerima semua perlakuan Rai dan Mamahnya. Sampai kotak kecil berisi puluhan jarum besar dia keluarkan lalu dia bakar ujungnya yang tajam pada lilin yang sudah Raiga siapkan. Aku meneguk ludah kasar. Apa aku benar benar akan ditusuk jarum jarum itu?...
"Tangannya lemesin dulu." ucapnya yang bersiap siap menusukkan jarum itu pada ibu jariku. "Kalo kamu tegang. Ini nggak akan bekerja, loh. Coba ... rileks aja."
Aku menarik napas dan mencoba lebih tenang agar otot tanganku ikut terurai. Dengan mata yang memejam aku mempersiapkan diri untuk menerima tusukan tusukan yang akan mendarat di kulitku. Pitp! Satu rasa perih dan panas ku rasakan di ibu jari. Dan setelahnya, aku tidak merasakan tusukan lainnya. Jadi perlahan aku membuka mataku.
"Selesai. Setelah sendawa nanti, kamu bisa tutup pake plester." seru Mamah sembari merapikan kotak jarum itu dan memberikan selembar plester padaku. "Nggak sakit, kan? Paling cuma setetes dua tetes darah yang keluar. Nanti perut kamu bakal jauh lebih baik." lanjutnya.
Aku menganggukan kepala. "Terima kasih."
"Aku tinggal sebentar ya Prei ... cucian piringnya belum aku beresin." Raiga mengusap bahuku. Aku menoleh padanya dan setalah aku memberi anggukan dia pergi dengan seutas senyuman hangat.
"Mamah juga mau ngecek kue di oven dulu. Kamu nggak apa apa kan sendiri?."
"Nggak apa apa, kok." sahutku memberi Mamah senyuman.
"Jangan lupa pake plesternya, ya." dia berdiri dan mengusap rambutku sekilas.
Setelah dia pergi, aku benar benar duduk sendirian dengan TV yang masih menyala. Aku memandangi ibu jariku yang di tusuk jarum tadi. Dan menunggu mulutku bersendawa.
Beberapa saat sudah berlalu, tapi aku tidak kunjung mengeluarkan sendawa. Yang kurasakan hanya perih di ujung jemari karena darah yang tidak kunjung berhenti. Aku tertegun. Rasanya begitu aneh. Mengingat Mamah Raiga bilang kalau yang keluar hanya satu atau dua tetes darah, tapi ... aku pikir, ini sedikit terlalu banyak.

Suara langkah kaki terdengar dari arah dapur. Dengan terburu buru, aku mengelap semua darah menggunakan baju bagian dalam yang ku pakai. Dan menempelkan plester yang aku robek dengan gigiku.
Untungnya, semua selesai terbalut saat Raiga duduk di sampingku. Aku menyunggingkan senyum dan membiarkan dia mengusap pipiku dengan tangannya yang masih terasa basah.
"Udah enakan?." tanyanya yang kini memegangi punggung tanganku.
Aku mengangguk dengan cepat dan membalas usapan tangannya yang lembut. "Iya ...,"
Untuk pertama kalinya, dalam hubunganku dan Raiga ... aku berbohong padanya.
-----------
Raiga mengantarku pulang tepat pada jam delapan malam. Di depan pintu rumah, pak Eko terlihat berlari pelan ke arahku dan langsung mengambil alih ransel yang bertengger di punggungku.
"Tuan sudah makan? Apa perlu saya anterin makanan ke kamar?." Seru pak Eko yang kini mengikutiku menaiki tangga.
"Nggak usah, pak. Aku udah makan sama Raiga. Bapak pulang aja. Aku mau langsung tidur di kamar." sahutku yang mengambil kembali ranselku dari tangan pak Eko.
Pak Eko biasa pulang ke rumahnya saat aku benar benar sudah tidur, dia bilang dia tidak tega jika membiarkanku sendirian di rumah. Jadi bukan aku yang memintanya. Bahkan pernah sekali dia tidak pulang beberapa hari saat aku jatuh sakit atau karena aku yang kadang egois dan sengaja tidak memberinya ijin.
"Baik." sahutnya singkat dan berhenti mengikuti langkahku.
Aku membanting pintu dengan keras. Dan melempar ranselku ke sofa dengan jengah. Setelah melepas semua kancing kemeja yang ku pakai, aku menjatuhkan tubuhku keatas kasur. Dan menatap langit langit kamar yang sedikit silau karena cahaya lampu.
Aku mengacungkan tanganku ke atas dan menatap kembali balutan plester yang menempel di ibu jari. Aku mencoba berpikir ulang tentang kenapa pengobatan Mamahnya Raiga sama sekali tidak bekerja padaku.
Apa yang salah?...
Apa memang cara itu tidak selamanya membuahkan hasil atau ... memang tubuhku saja yang bermasalah?..,
Buru buru, aku tepis pemikiran pemikiran aneh di kepalaku dan merogoh ponsel yang bergetar di saku. Aku terdiam sesaat ketika mendapati nama Abi di layar ponsel.
Aku membenarkan posisiku dan duduk di tepian kasur. Setelah menarik napas dalam dalam, aku mengangkat panggilannya.
"Hallo, Bi. ada apa? ...," aku menempelkan layar ponsel di telingaku.
"Prei ... aku mau tanya. Besok, kamu sibuk nggak?." tanya Abi dari sebrang.
Aku menautkan alisku, seolah tak percaya kalau Abi sedang mengajakku bicara. Apa mungkin dia sudah tidak marah lagi sekarang. "Hari sabtu, ya ... aku nggak sibuk, kok. Kenapa?."
"Aku ... mau nonton. Katanya ada film baru yang bagus. Jadi ... aku mau ajak kamu juga. Sekaligus mau minta maaf karena aku udah marah marah nggak jelas beberapa hari terakhir. Kamu gak keberatan, kan?."
Eh? Abi serius?...
"Nggak apa apa, kok. Aku nggak keberatan. Lagian aku juga salah, jadi kamu nggak perlu minta maaf." sahutku yang kini senyum senyum sendiri karena senang sudah berbaikan dengan Abi. "Mau jam berapa?."
"Mungkin agak sore, soalnya aku ada urusan dulu. Tapi ... bener nih kamu nggak marah?." tanyanya memastikan.
Bagaimana mungkin aku marah, dia itu teman satu satunya yang aku punya. Justru aku yang sempat takut kalau Abi tidak mau berteman denganku lagi.
"Nggak ...," jawabku dengan nada yang mendayu.
"Hah, bagus deh. Aku kira kamu bakal nggak mau temenan sama aku lagi." sahutnya yang terdengar menghela napas lega.
"Ya nggak lah. Justru aku yang seneng, kamu udah nggak marah lagi sekarang."
"Mm, sekali lagi maaf ya."
"Iya, aku maafin."
"Lain kali aku nggak bakal begitu lagi, deh. Aku janji."
Aku terkekeh sejenak lalu berdehem saat sesuatu melintasi benakku. "Oh, ya. Aku belum sempet kasih tahu kamu kalo ... sekarang, aku punya pacar."
"HAH?!"
Dia berteriak dari sisi lain dan buru buru aku jauhkan layar ponselku dari telinga, khawatir kalau kalau gendang telingaku akan meledak. Secara, suara Abi itu benar benar sangat melengking.
"Siapa Preinan!"
....
Akhir pekan.
Aku dan Abi sepakat bertemu di salah satu mall. Dia bilang dia akan mengajakku menonton film romance yang baru saja di luncurkan minggu lalu. Aku melirik jam di tanganku, sembari mondar mandir di tempat kami janji bertemu. Harusnya dia sudah datang. Bahkan sekarang sudah terlambat sepuluh menit.
"Preinan ...! Sorry. Jalanan bener bener macet." seru Abi yang datang dengan napas tersengal sengal.
Aku membuang napas kasar. Dan melipat kedua tangan di dada. "Kalo ngajak janjian, harusnya kamu itu dateng lebih awal. Ya ... minimal nggak telat, deh. Kan bete juga harus nungguin di sini sendirian." keluh ku.
"Iya, maaf maaf ..., yaudah langsung masuk, yuk! Nanti filmnya keburu mulai." ujarnya yang langsung memiting leherku dan menyeretku berjalan.
"Kita cuma berdua aja, nih?."
"Mm, lagian mau ngajak siapa lagi? Eh! Tunggu ..." Abi menghentikan langkahnya. "Kamu punya pacar, kan? Sekalian ajak gih. Aku penasaran dia kayak apa ... pasti cantik deh. Secara Preinan itukan ganteng plus tajir parah." ucapnya sembari meremas pipiku usil.
Cantik? Haha dia itu ganteng Abi ... Seandainya aku bisa bilang itu padanya.
Aku menyikut perutnya pelan. "Apa, sih. Dia biasa aja, kok. Kalo kamu mau, aku bisa aja sih manggil dia ke sini."
Aku juga penasaran dengan reaksinya saat tahu kalau pacarku itu seorang laki laki.
"Yaudah, telpon sekarang. Sebelum filmnya keburu mulai."
....
Di sabtu sore ini harusnya aku membantu Mamah membuat kue pesanan. Tapi sialnya si mesum Erik malah memintaku pergi ke apartemennya untuk beberes. Kalau tidak karena uang imbalan, aku tidak akan sudi datang padanya. Hah, manusia memang luluh kalau mengangkut perduitan, sama halnya denganku.
"Eh bangsul! Ngapain ngelamun disitu? buruan lap jendelanya." cerca Erik yang sedang menyapu lantai.
Aku mengambil kanebo yang tergeletak di meja balkon lalu menghampiri jendela dengan lesu. "Kenapa nggak beres beres sih. Perasaan kita kerja dari siang, deh. Cape tahu nggak!." aku mengeluh sembari menggosok kaca dengan kasar.
"Kalo kak Emi nggak bakal dateng, aku juga ogah beberes rumah kayak gini." timpalnya tak kalah ketus.
Untuk pertama kalinya, kakak Erik akan datang dan tinggal bersamanya disini. Dia bilang kakaknya akan mengurus sebuah bisnis di daerah ini. Jadi daripada menyewa tempat lain, dia lebih memilih tinggal bersama adiknya. Aku pernah melihat dia sekali waktu Erik pindah ke apartemen tahun lalu. Tapi, aku tidak terlalu ingat dengan wajahnya.
Aku mengelap kaca jendela dengan gesit dan cekatan agar lebih cepat usai. Setelah Erik beres menyapu lantai. Kami rasa, semua tugas sudah selesai di kerjakan. Jadi kami menjatuhkan diri ke atas kasur yang baru saja kami balut dengan sprei baru. Dan menghela napas lega.
"Akhirnya beres juga ...," ucapku penuh rasa syukur.
"Hah, gila. Beberes doang rasanya cape banget."
"Makanya jadi orang jangan jorok! Abis ngapa ngapain tuh langsung di beresin. Masa iya tadi aku nemu s*mpak bulukan di kolong lemari. Jorok banget tahu nggak!."
"Ya, aku mana tau kalo ada s*mpak ngumpet di sana." timpalnya tak mau di salahkan.
Hah, Erik itu selain mesum dan h*rny, dia juga orang yang joroknya minta ampun. Kalau aja dia nggak good looking aku yakin nggak ada yang mau pacaran dengannya.
"Terserah, deh. Aku mau mandi dulu." aku berdiri dan melepas kaos yang aku pakai. Seharian berkeringat membuat kulitku lengket.
Baru saja kakiku melenggang ke kamar mandi, panggilan masuk mengisi layar ponselku. Buru buru aku angkat telpon yang berasal dari Preinan itu dan kembali duduk di tepian ranjang.
"Hallo Prei ... ada apa?." tanyaku lebih dulu.
"Rai, kamu masih sibuk nggak?."
"Nggak, sih. Baru aja selesai beberes terus mau mandi nih. Kenapa?."
"Em, kalo kamu ada waktu ... mau nggak nemenin aku nonton? Aku sama Abi cuma berdua nih. kurang seru."
"Nonton, yah ... boleh deh. Kalo gitu aku mandi dulu. Kamu kirim lokasinya aja, ya."
"Em, oke." sahutnya singkat diikuti sambungan telpon yang di putus.
Harusnya dia bilang i love u sebelum menutup telpon. Dia benar benar tidak romantis.
"Mau nonton?." sambar Erik yang berguling ke arahku. Di lihat dari rona wajahnya, dia pasti ingin ikut menonton bersamaku juga.
"Aku nggak bakal ngajak kamu, jadi gak usah ikut ikutan."
"Rai ...," Erik merengek manja. "Ikuuuttt." mata besarnya kini ikut berbinar binar.
Aku mendecak dan mendelik padanya sekilas sebelum kembali berjalan ke kamar mandi. "Yaudah, oke. Asal kamu yang traktir popcorn."
........
--------------
Mataku menyusuri tiap tiap eskalator yang ada. Melihat ke segala arah mencari sosok Raiga yang sedari tadi aku tunggu. Aku melirik jam tangan untuk ke sekian kalinya dan kembali menghela lesu.
"Masih lama nggak Prei? Ini udah mau malem loh." keluh Abi yang sudah terlihat jengah.
Aku menyusuri sekitar sekali lagi. Dan simpulan senyum seketika tergaris di wajahku melihat orang yang kami tunggu akhirnya tiba. Aku melambaikan tangan setinggi mungkin agar dia bisa melihatku.
"Maaf ya agak lama. Masih keburu, kan?." tanya Raiga setibanya padaku.
Aku menggeleng pelan. "Nggak apa apa. Masih ada satu pemutaran lagi, kok."
"Bagus, deh. Yaudah ... kita langsung masuk aja, yuk."
Aku memalingkan wajah ke arah Abi. Dan menautkan alis saat melihat dia mematung dengan mata yang saling memandang dengan seseorang yang datang bersama Raiga.
"Bi?." aku memanggilnya. Tapi dia masih tidak bergeming.
"Prei ... kamu bilang kamu mau manggil pacar kamu." tanya Abi tanpa melepaskan pandangannya dari Erik.
"Euh, ya ini. Pacarku itu ... Raiga."
"HAH!!!" teriak Abi dan Erik secara bersamaan. Mata keduanya kini beralih padaku dan Raiga.
Aku sudah memprediksi reaksi yang akan Abi berikan. Jadi, aku tidak terlalu terkejut. Melihat dua orang yang kini terpaku menatapku. Aku hanya bisa tersenyum kecut.