アプリをダウンロード
21.42% Assassin of the Modern World / Chapter 3: The Politician of Our Times

章 3: The Politician of Our Times

Jude 1:16

These are grumblers, malcontents, following their own sinful desires; they are loud-mouthed boasters, showing favoritism to gain advantage.

Pagi di Ruby Avenue terasa berbeda. Di kompleks elit ini, tak lagi ditemukan banyak anjing buluk berkeliaran di jalanan, bahkan orang-orangnya jauh lebih sopan, jika tidak mau dibilang sombong. Yeah, untuk aku yang terbiasa memakan fish and chips, seporsi full english breakfast di sini memang terbilang sebagai sebuah kemewahan.

Aku membuka tirai di ruang tamu yang besar ini dan mengambil binoculars. Rumah Terrence hanya beberapa ratus meter jauhnya. Aku sudah melihat kebiasaannya hari-hari ini.

Walaupun sudah mempunyai istri, Mr. Golden sering sekali meniduri wanita lain – pemain tennis terkenal, istri pemain sepakbola, penyanyi country kelas menengah – you guessed it right. This lad is mad. Dia melewati pagi harinya dengan pesta seks, dipenuhi dengan banyak narkoba. Entah bagaimana caranya bisa lolos dari berbagai endusan media. Friends in high places, I guess.

Aku mengatur binocularsku, berusaha melihat blind spot para bodyguard. Mr. Golden mengambil lift ke bawah seusai mengendus pakaian dalam wanita – Shit, dia berada di luar fokus. Membunuhnya seusai tidur paginya bukanlah pilihan yang baik. – Semenit kemudian, dia turun. Ada banyak, pasang demi pasang bodyguard di sisinya. Dia mengambil cellphonenya. Dan memberikannya ke bodyguard, yang langsung mematahkan cellphone itu dan membuang SIM cardnya. Hmm, refurbished. Mungkinkah dia mempuyai banyak koneksi gelap di tempat-tempat tersembunyi?

Akhirnya Mr. Golden disambut oleh banyak wartawan di luar sisi rumahnya. Bodyguardnya yang membentuk barisan melindungi Mr. Golden akan menyulitkanku menyematkan pisau jarak dekat. Ditambah lagi, semenjak dia keluar dari rumahnya, atap rumahnya dikolongi banyak sniper. Goddammit, this lad ain't making this one easy. Mr. Golden menuju mobil Rolls-Roycenya. Mobilnya dilengkapi Kevlar-reinforced tyres, yang berarti aku tidak akan bisa menebar paku – bahkan diamond-studded drill – untuk membuatnya turun. Di bagian bawahnya dilengkapi reinforced steel, which means I also can't bomb it. Kacanya? Tebalnya sekitar 10 inci. Bahkan peluru rifle kelas militer pun tidak bisa meretakkan barang sebaris pun kaca mobil itu. Beratnya sekitar 10-11 ton, sangat berat dan sangat lambat.

"Wait a minute," kataku melepaskan binocularsku, tidak percaya dengan apa yang kulihat. Mr. Golden baru saja membuka pintu mobil bajanya itu untuk mempersilahkan seorang dengan jas mahal masuk – sepertinya untuk agenda "pribadi" Mr. Golden. Aku tersenyum. Si politisi ini, separanoid apapun dia, ternyata masih saja membuka kesempatan untuk mengucurkan beberapa dollar menuju saku pribadinya. He's greedy, and a bloodthirsty one. And it will be his downfall.

Aku menuju basement, mengambil peralatanku – sampai aku mendengar suara ketukan di pintu depan.

"Ya?" sapaku tersenyum palsu sambil mengenggam sebuah revolver di jepitan celana belakangku. "Excuse me, sir," seorang teenager berambut ginger menyapaku dengan nada Scottish yang kental, menyodorkan sebuah papan dada kepadaku. Aku melepas cengkeraman revolverku dan memegang papan dada itu.

Aku menyimak isinya. "Golden Trust Fund? What bollocks is this?" kataku melihat petisi – berisikan organisasi milik Terrence Golden untuk membantu anak yatim piatu – setidaknya begitulah klaimnya. Aku memberikan tatapan bingung kepada anak remaja ini.

"Kalau Anda bersedia mendonasikan, at least maybe a couple dollars, sir, it would mean a lot for us." Katanya tergagap-gagap, sepertinya terkejut melihat reaksiku tadi.

"One of us? You're an orphan too, aren't you?" kataku merogoh dompetku. "Tell me, mate," kataku memegang pundaknya sambil mencari selembar sepuluh dollar di dompetku, "Is this lad named Terrence really has been helping you out, eh?"

Anak remaja ini menoleh ke kanan dan kiri. But it's midday right now. I guess he's being paranoid. "Sebenarnya tidak, sir." Katanya takut, melipat kedua tangannya rapat-rapat.

Yea. Figures. Pikirku sambil menganggukkan kepalaku. "Looks like you're having a terrible day, lad. Care for a cup of tea?" Dia mengangguk dengan tergesa-gesa, mengikutiku menuju pintu depan rumahku yang sedari tadi terbuka lebar, tapi anak itu masih saja meringis ketakutan. Padahal di teras rumah hanya ada sekumpulan anak TK dan seorang nenek-nenek menyeberang jalan.

Whoever this Terrence lad truly is, he is more than just a mere dirty rat for the government, it seems. I have to dig this fella out.

"Ugh. Shite." Kataku memegangi kepalaku yang pusing. It's morning already. Dimana Terrence Golden sekarang? Pikirku mengambil binoculars di meja tidurku dengan masih mengantuk.

Hmm? Somebody's angry. Kataku melihat Terrence berargumen dengan seorang wanita dengan memegangi tangan seorang gadis keil. Must be his wife. Bodyguardnya diam seribu bahasa. Apakah jangan-jangan Nyonya Golden yang sesungguhnya berkuasa di sini? Menarik sekali untuk kukorek info darinya.

Nyonya Golden itu – mungkin saja istrinya, mungkin tidak – mengambil dengan paksa seutas pakaian dalam wanita terserak di ranjang Mr. Golden. Hmm? Apakah bodyguardnya berjaga semalaman di ruangan itu melihat Mr. Golden bercinta?

Aku memicingkan mata. I must have missed something important here. Ada terlalu banyak detail yang aku lewatkan. Shite.

Whoops, Mrs. Golden slaps his husband. Aku tertawa kecil. Senang sekali melihat bajingan ini terlihat lemah tak berdaya di depan istrinya sendiri. Aku yakin para bodyguard berpikir hal yang sama sepertiku. Aku menyingkirkan binocularsku sebentar, meraba keras keningku.

Semua hal yang terjadi pagi ini adalah akibat malam hari–saat aku sibuk tidur. Bollocks!–aku harus mengikutinya lebih intens setelah matahari tenggelam. Aku melirik ke gedungnya lagi. Aku mengambil binocularsku lagi, melihat Mr. Golden mengambil ponselnya, beberapa menit setelah wanita yang menamparnya tadi keluar.

What is he doing? Oh. He's opening something. Aku membenahi posisi dudukku. Sekarang seluruh tubuhku terfokus padanya. Wait. He is calling a service. 0400-6638. That's the high-class pub down there at Arlington Heights. Aku tersenyum licik. Sepertinya aku tahu harus memulai pengintaian malam ini dari mana. Let's take a nap and finish off.

'Riiinggg!!' Fuck me. It is night already, is it? Hmm. Dimana binocularsku? Aku meraba-raba meja tidurku. Ah, ini dia.

Aku langsung melihat apa yang dilakukan Mr. Golden. Hmm, he's dressing up. I bet she's meeting with one of her women. Yes. Yes, he's spraying perfume all over him...and smelling panties. Gross. Oke, before I lose my window, aku harus mengambil peralatanku.

Tonight, the famous North Suisse politician is going down hard.

Aku mengencangkan pengikat rompi anti-peluruku di cermin. Sepertinya sudah pas. Aku bergegas mengambil kemeja putih dan dasi hitamku di lemari. Aku harus buru-buru menyusul limousine Mr. Golden yang – sampai detik ini – masih terparkir rapi di halaman rumahnya. Aku mengancing kemejaku sembari mengambil pisau taktisku, juga pistol serta tasku. Sesekali aku menengadah ke tempatku biasa mengintai Mr. Golden untuk memastikan limousine itu masih setia menunggunya.

Aman. And, by safe, I mean about the limo and my appearance – both are equally dashing.

Right on time. Limousine itu membuka pintunya, menampakkan seorang wanita muda dengan gaunnya – one of Mr. Golden's escort, I assume. Oke, aku harus segera turun and call myself a cab.

Sesaat aku sampai di gerbang depan, bodyguard Mr. Golden sudah naik di mobil mereka masing-masing. Okay, I'm out of their sights. "Oy! Cab!" kataku melambaikan tangan pada sebuah taxi yang lewat tak jauh dari tempatku berdiri.

"Follow the limo, please. And don't cause any ruckus." Kataku menunjuk ke sekumpulan mobil hitam di depan.

"You know, you don't have to order me, iWilliam." Tunggu, aku kenal suara itu. "I already know what to do." Kata supir taxi ini menolehkan kepalanya. Yup, that's Mr. Christ.

"Woah, I'm impressed." Kataku tersenyum sambil melepas safety di pistol saku bajuku. Mr. Christ hanya tersenyum kecil.

"Aku sudah menemukan tempatmu masuk, William." Kata Mr. Christ mengambil jalan berbeda dari sekumpulan mobil tadi.

"And that is?" kataku merogoh tasku dan menyelipkan sebuah revolver ke saku kakiku. "You're going through the backdoor. And by backdoor, I mean the storage room. Take all the time you need, but no sniper rifle."

"Perfect timing. I don't bring any." Kataku mengokang shotgun dan mengecangkan selempangnya di bahuku. "Marvelous. I wish you best of luck." Yeah. Like I needed any at the first place.

Mr. Christ menghentikan taxinya tepat di samping pintu besi yang berkarat. "Aku rasa di sini pemberhentianmu, William?" kata Mr. Christ dengan lagak sopannya. "You still have time to make a clown out of yourself, lad." Kataku membuka pintu mobil dan melangkah keluar.

"Oh, and William!" panggil Mr. Christ seraya membuka kaca jendelanya. "Do it up close. And see his reaction." Aku bingung. Not sure why I would want to do that. He has bodyguards swarming all over the place like a bee's nest. Tapi sudahlah, dia yang membayarku di muka.

Aku mengangguk. "Marvelous, William." Kata Mr. Christ mengganti persneling mobilnya dan melaju kencang.

Oke. Basa-basinya berakhir sekarang. It's showtime, Terrence. And this time, it will be more extravagant than your campaigns and parties. It will rain brass and blood.

Aku mengganti pose badanku dan menyiapkan shotgunku di depan dada.

Aku membuka pintu gudang. Melangkah masuk ke dalam dan meneropong melalui iron sights di shotgun.

Hmm. Semua aman. Belakang pintu aman. Aku menutup pintu dan berjalan ke depan.

Gudang dipenuhi dengan barang berserakan dan forklift yang tidak digunakan. Isn't that his limo? Tunggu. Semua mobil Mr. Golden dan kompinya terbaris rapi dalam satu deret di depanku.

Aku langsung menunduk di belakang tumpukan dus dan merogoh saku dalam kiriku. Aku mengambil silencer dan memegangnya erat-erat.

"Yeah, he sure got it on him, ain't it, mate!" sayup-sayup suara seorang laki-laki dengan aksen Cockney terdengar. "Yeah, he fucking did!" Dua. Tiga? Sulit membedakan suara mereka yang saling bersahutan.

Aku mengambil pistol dari saku bajuku dan mengecangkan silencer. Hanya ada satu jalan lurus, melewati deretan mobil tadi untuk maju. Sekitar 5 meter di depan ada sekitar 3 orang berbincang-bincang.

They haven't seen me yet. Meledakkan mobil hanya akan menggagalkan misiku. Aku tidak membawa assault rifle, let alone submachine gun.

Aku melihat isi dus. Hmm, isinya botol-botol wine. Aku mengambil salah satu botol dan melepas corknya diam-diam.

"Ey, you hear that noise over there?" kata laki-laki dengan aksen Cockney tadi. Fuck me, they heard that one. Tajam juga telinga mereka. Aku buru-buru menyumpal mulut botol tadi dengan kaos kakiku.

"Better check it out, lad. Better be curious than fucking dead." Kata suara yang berbeda. "Yea, you're right. Bruv. Cover us, Kevin!" Just as I thought. Tiga orang. Aku menyeret selempang shotgunku ke belakang dan mengambil revolver di kakiku.

Derap kaki mereka semakin dekat. Aku membuka salah satu selongsong peluru revolver dan menabur bubuk mesiunya di kaos kaki penyumpal botol wine. Aku mengisi ulang revolver. 'Click!' Oops.

"Ey, who's there!" teriak mereka. Fuck, I have to finish them off before they call their friends. Here goes nothing. Aku melempar botol wine menuju arah suara kaki mereka.

"What's that!?" teriak seseorang, sedetik sebelum mereka memberondong botol wine itu dengan senjata mereka. 'Boom! Whoosh!' suara ledakan dan cairan spiritus itu melayang ke mana-mana, menebarkan api ke sekujur tempat itu.

Aku menyeret selempang shotgunku ke depan dada. Dua orang. Fokus mereka teralih memadamkan muntahan api di lengan mereka. Aku mengokang shotgunku. 'Bang!' Mengokang lagi. 'Bang!' Well, that was easy. Tapi hanya ada dua orang. Fuck.

Aku bersembunyi dibalik salah satu SUV hitam, berlutut sembari memasukkan dua shell menuju shotgun. Aku berjongkok sambil menahan napas.

Masih tidak ada suara. Sepertinya dia lari menghubungi teman-temannya. Berarti seharusnya dia terburu-buru. Atau...

"Playtime's over, lad." Sebuah moncong pistol teracung tepat di ubun-ubun kepalaku. Aku mengangkat kedua tanganku pelan-pelan.

"Stand up. Slowly." Aku berusaha bangkit berdiri sambil merapatkan kedua tanganku dengan sangat pelan.

Lalu aku menahan badan pistol dengan tangan kiri sembari memiting lengannya dengan tangan kananku. "Fuck you!" kata bedebah ini menekan pelatuk pistol berkali-kali. Sia-sia saja. Jempol kiriku menahan safety pistol.

Aku memunting lengannya sembari mendorong badannya ke tembok semen. Aku melepas seluruh magasin di pistolnya dan mengokangnya, mengeluarkan sebiji peluru yang tersisa di chamber.

Lengannya yang masih terpunting kuputar keras, menyebabkannya terpelanting dengan keras ke tanah. Tapi dia masih baik-baik saja, aku tahu.

"Where's your radio, lad?" kataku mengarahkan shotgun menuju mukanya yang meringis kesakitan itu.

"Fuck you!" katanya meringis sampai mengeluarkan ludah dari mulutnya. Aku menamparnya keras menggunakan moncong shotgun.

"Huk! – Huk!" katanya batuk, mengeluarkan darah dari mulut dan hidungnya. Maybe I hit him a little too hard.

"Either I get it from you, or I will get it from dead you. Your choice, lad. Go on. Be a gentle lad and prove me all bluff you got in you is not all hot air, ain't it, wanker?" kataku mendekatkan badan shotgun ke mukaku, siap menembak kapan saja.

"I ain't got no bluff, mate. I rather be sleeping with them fishes than be caught wanking me dick to a mental like you, ain't it, mate?" katanya membersihkan darah dari mukanya, menatap mataku dalam-dalam.

"Have it your bloody way then." 'Bang!' Fuck, aku tidak seharusnya sedekat ini dengan shotgunku. Recoilnya nyaris membuatku terpelanting.

Aku melihat sekujur badannya yang berlubang sekarang. Walkie-talkienya bergetar. "Kevin, answer me, you fuckwad!" kata seseorang yang marah di seberang sana.

"Aye, mate." Kataku menirukan aksen Cockney. Hope this feller doesn't recognize the difference.

"Pergantian shift dimulai 10 menit lagi. Get your sorry ass to penthouse, now. I'm tired as hell babysitting this Terrence twat." Katanya sedikit berbisik.

I guess God's on my side right now. Tunggu aku, Mr. Golden. Those bubble bath of yours will soon be filled with bright red color. Way to end a night, ain't it?

Aku masuk ke dalam pub melalui pintu gudang. Mereka tidak menaruh bodyguard di pintu belakang. Genius. Aku harus "memodifikasi" sedikit tunggangan serba hitam mereka sebelum masuk ke pesta besar Mr. Terrence.

Oke, ada ratusan orang di sini. Selain pintu masukku, ada pintu masuk lain tepat di seberang sana, dijaga oleh dua bodyguard dan seorang lagi di sisi depan. Ada banyak meja dan tempat duduk serta orang-orang yang lalu lalang. They might work as a distraction. Ada lantai dua yang sepertinya khusus untuk orang-orang tertentu. Mungkin Terrence berada di sana.

"Drinks on me, you beautiful ladies! You have earned this night with me, and the night after this, if you know what I mean!" teriak seseorang dengan mabuk, diikuti dengan teriakan senang dan tepuk tangan para wanita. Yup. Terrence Golden berada di standing bar tepat di sebelah kiriku.

Dia diiringi beberapa bodyguard beberapa meter jauhnya, just enough window for me to stab him. But not coming back. Lagipula, aku tidak mungkin mendekatinya jika aku bukan seorang wanita cantik berbusana ketat.

Aku bisa sedikit mendapatkan clear shot dari posisiku sekarang menggunakan pistol, tapi tidak ada garansi peluruku mengenai wanita yang mengerumuninya. Atau aku akan langsung diberondong peluru oleh para bodyguard – yang aku sangat yakin – membawa pistol di saku jas mereka.

Di lantai dua tadi, ada set tangga terletak tepat di bawahnya, di pojok kanan ruangan. Namun sayangnya, dijaga oleh seorang bouncer yang, dari mukanya, sepertinya serius dalam masalah tamu VIP. Di lantai dua terdapat balkon dengan blind spot dari perspektif bodyguard Mr. Terrence, tepat jauh di kanan, di luar penglihatan mereka.

Di kiri, standing bar dengan banyak wanita dan bodyguard, di kanan, sebuah ruangan VIP yang notabene lebih private dan eksklusif. Aku akan mendapatkan banyak kesempatan bagus menjatuhkan Mr. Terrence dari sisi kanan.

Sayangnya, jarangnya orang yang hulu-hilir di sekitar sana hanya akan menambah rasa penasaran para bodyguard apabila aku gagal masuk. Aku harus mencari cara melewati bouncer dan mengalihkan perhatian bodyguard di saat yang bersamaan.

Hanya ada banyak minuman keras dan rokok di sini. Karpet merah, furnitur kayu ek, tanaman plastik, lampu chandelier dan kertas tisu.

Apakah aku bisa menembak chandelier untuk mengalihkan perhatian, atau mungkin menghabisi Mr. Terrence? Nah. Too risky. Bodyguard akan langsung mengamankan Mr. Terrence jika hal aneh terjadi. Apakah aku bisa menaruh mesiu revolver di puntung rokok dan menaruhnya di asbak untuk alasan yang sama? Tidak. Ledakannya hanya akan menyebabkan luka ringan. Aku juga akan terlihat mencurigakan mendekati Mr. Terrence hanya untuk merokok. Fuck, I'm all out of ideas.

Shite, aku berdiri terlalu lama di sini. Aku harus duduk dan memesan sesuatu, sebelum bodyguard di sini menarget kepalaku. Aku duduk di table tepat berseberangan dengan table Mr. Terrence.

"How may I help you, sir?" seorang waiter segera menghampiriku. "A shot of whisky, please lad." Kataku mengacungkan jari telunjuk. Waiter itu menganggukkan kepalanya dan pergi ke bar. Wait. Tempat pegawainya berada di depan Mr. Terrence. Tapi semua pegawainya menggunakan seragam. Mustahil aku bisa berada di belakang mereka. Except...

Aku menunggu whiskyku, sembari melihat sekeliling. Hmm. Ada salah satu bodyguard yang pergi. Take a piss? Nah. Toilet is far away from Mr. Terrence. Tidak mungkin bodyguard profesional melakukan hal seperti itu. Wait a second. Dia kembali. Dia kembali dari pintu yang bersebelahan dengan bar. Jelas pintu itu bukan toilet. Tapi juga bukan pintu menuju ruang belakang. Bukan pintu untuk masuknya pegawai. Berarti konklusinya hanya satu. Pintu itu adalah armory. Which means semua bodyguard di sini minimal menyimpan lebih dari dua senjata dengan full ammunition. It just gets more exciting from here,ain't it?

Okay, let's recap. Total empat orang bodyguard di semua sudut ruangan ini, ditambah dua di pintu masuk dan satu di sisi lainnya. Ada pintu menuju lantai dua, pintu masuk pegawai, pintu armory dan pintu gudang. Banyak blind spot dan civilian di sini, that means I have to do it up close and personal. Para bodyguard juga dipersenjatai lengkap, berarti aku harus mencari tempat berlindung sesegera mungkin setelah menghabisi Mr. Terrence. Alright. Let's begin.

There's my whisky. "Here you go, sir." Katany menyodorkan satu shot whisky kepadaku. "Terimakasih." Kataku menyambut tangannya sembari menyenggol sedikit kakinya, sampai pemuda itu bergetar sedikit. 'Prang!' Whisky itu terjatuh. Seperti yang aku duga, tidak banyak orang menoleh karena ini. Hanya para bodyguard.

"Lad, you made me cost my drink!" kataku membentak anak itu. Para bodyguard langsung mengacuhkan aku seketika aku mengucapkannya.

"I'm terribly sorry sir. It was an honest mistake. I will not do it again." Katanya terbata-bata, kaget dengan perbuatannya.

"I need to speak with your manager, then. Perhaps I can get a new one." Kataku langsung bangkit dari kursiku. "Biar aku yang pergi menemuinya. Show me the way, please." Kataku serius. Anak muda ini masih saja ketakutan.

"Right this way, sir." Katanya memanduku menuju bar. Mr. Terrence tepat di sampingku. Aku langsung mengeluarkan pistolku dan menembak Mr. Terrence. 'Bang!' Tepat di kepalanya. Teriakan wanita yang melengking disertai dengan lari tunggang-langgang para pegawai memberikanku jeda sedikit untuk keluar dari sudut pandang bodyguard.

Aku menuju pintu pegawai sambil berjongkok. Bar ini pasti kokoh menahan semua peluru mereka. Tapi aku harus cepat.

Aku membuka pintu pegawai dan langsung menguncinya dari dalam. Aku juga menyematkan pin granat di sela-sela grendel dan pegangan pintu, lalu lari menuju lorong satu arah. Pasti ada jalan keluar.

Jalannya terbelah dua. Aku masih mendengar teriakan dari luar. Aku melihat ke kanan. Ruangan manager. Kiri. Gudang. Bingo!

'Brak!' bunyi pintu pegawai ditendang sekeras-kerasnya oleh seorang bodyguard, yang lainnya siap menyerbu dari belakangnya. 'Ting!' sesuatu terpelanting ke tanah, diikuti oleh suara lantang, "Take cover!" 'Blam!'

Aku lari secepat-secepatnya melewati kumpulan mobil hitam ini sebelum mereka menyadari rute ini. Aku punya maksimal 10 detik. 'Bang!' Fuck. I'm too late. Ada dua-tiga orang bodyguard menembak tembok di dekatku.

Aku langsung bersembunyi di balik dus-dus tinggi. Aku tidak mungkin kembali. Hanya ada sekitar jeda 10 detik sebelum mereka mulai mengejarku lagi dari sana.

Oh well, here goes nothing.

Aku mengambil strap shotgunku dan memegang pelatuk shotgun di tangan kiri. Lalu aku mengambil revolver dan memegangnya dengan tangan kanan.

"He's in there! Reload!" Aku berlari maju dan langsung menekan pelatuk semua senjataku. 'Bang!' 'Bang!' 'Bang!' Tepat di jantung mereka. Tiga peluru. Mereka berdua bersimbah darah.

Aku mendengar derap kaki di pintu tempatku masuk tadi. Aku harus segera pergi dari sini.

Aku mendekati pintu gudang yang sudah terbuka lebar. Aku bisa merasakan bodyguard di belakang sudah melihatku sekarang – they have an open clear shot, unless I can run the hell out of here.

Aku langsung membuka dan pergi ke luar, mengambil pipa di dekat pintu dan melingkarkannya di sekitar pegangan pintu. Untuk berjaga-jaga, aku mengaitkan pin granat ke lubang kunci. Fyuh. Aku mengambil napas lega sebentar.

'Vroom!' Aku refleks memegang revolverku dengan siap. Wait a minute. Ini mobil yang sama waktu Mr. Christ tiba-tiba menjemputku. Which means...

Mobil itu berhenti dengan cepat. Pintu di samping supir terbuka dan seseorang berkata sesuatu dengan nada yang datar. "Get in, William." Sure. Sure I will, Mr. Christ. Aku mengambil sebuah bongkahan remot hitam dari saku jasku dan memuat kunci yang terpatri di dalamnya. Lampu yang berpijar berubah warna dari merah menjadi hijau.

Aku masuk di mobil dan menutup pintu. Mr. Christ langsung menginjak pedal dalam-dalam dan kita meninggalkan tempat itu dengan cepat. Aku punya hadiah untuk para bodyguard menyebalkan itu.

Aku menekan tombol merah di remot itu. 'BOOM!!' Ledakan spektakuler terlihat jelas di bar itu, nyaris membuat Mr. Christ kehilangan keseimbangan.

"Wow. Amazing fireworks." Katanya seperti terkesima, walaupun wajahnya terlihat sama sekali tidak terkejut. "Yeah. I know right?" kataku tersenyum bangga. Those bodyguards is crisp as a fried chicken now, I bet.

"Jadi," kata Mr. Christ tetap berjalan dengan kecepatan tinggi, "Did you do my request?" Aku bingung. Wait, what request? "Euh," kataku bingung. "Which one is it?"

"The only one I have ever requested from you." Katanya tenang. "I want you to look his face at his final moment."

Oh. Ya. Aku ingat itu. "No can do. I explode the bloody hell out of his brain." Kataku mengisi ulang shotgunku.

"Marvelous. That's even better." Katanya sama sekali tidak menoleh ke arahku. ���So, A+?" kataku mengambil peluru revolver. "More like B-." Okay. Close enough.

"So, back to my apartment?" kataku mengokang shotgun. "Kita akan berhenti di gereja." "Woodrow Church?" "Yeah. Got any problem?"

Aku menggelengkan kepala. Bayangkan muka pendeta yang melihat seseorang memasuki gereja menenteng senjata sembarikan bersimbah darah.

Mr. Christ menginjak rem. Mobil berhenti. Aku menoleh dan melihat gereja yang masih kosong melompong. Huh. Weird. Padahal sekarang hampir tengah hari.

"Confused, boy?" kata Mr. Christ mengambil sekotak Marlboro dari sakunya. Aku mengangguk.

"Gereja ini akan diruntuhkan besok." Kata Mr. Christ sambil menyalakan geretan. "That's why," katanya menyalakan rokok, "Nobody is here at first place. They're too busy finding other place to worship their God." Oke. Aneh sekali, tapi bisa diterima.

"Here's the down payment." Kata Mr. Christ mengambil sebuah tas backpack dari kursi tengah. "Mungkin kamu juga ingin menaruh senjata itu di tas ini." Katanya membuka tas. "Except you ain't afraid of these cops." Aku tertawa. "Queen's Guard, that's what I am afraid of." Kataku menaruh senjataku ke dalam tas.

"I guess I'll see you tomorrow." Kataku membuka pintu mobil. Mr. Christ mengangguk. Aku berjalan menuju apartemenku, meninggalkan Mr. Christ yang tidak membuang waktu menggeber mobilnya cepat-cepat.

Aku melewati convenience store. TV yang dipasang tiba-tiba berganti menuju saluran berita. Breaking news, I guess.

Ternyata berita tewasnya Terrence Golden. Aku sedikit tersentak melihat titel beritanya. A brave politician of our time, shot dead this night earlier. Dengarlah kata-kata news anchor yang bersemangat itu.

"An unknown assassin has murdered Sr. Terrence Golden, a politician mos notably known for his speech on woman's rights. The shooter remains unknown, but the police has been on it's way to investigate. We hope Sr. Golden families will be at peace with the passing of the loved politician of Suisse..." Huh. Ternyata dia suporter woman's rights. Ironis sekali, bukan? And people thought the assassin is the only bastard in this world. Lucu sekali, bukankah begitu, "Sir" Terrence Golden?

Aku berjalan lebih cepat menuju apartemenku. Satu hal yang aku tahu benar, semua channel TV akan menyiarkan kepergiannya di mana-mana, kepergian seorang "pahlawan" bangsa.


Load failed, please RETRY

週次パワーステータス

Rank -- 推薦 ランキング
Stone -- 推薦 チケット

バッチアンロック

目次

表示オプション

バックグラウンド

フォント

大きさ

章のコメント

レビューを書く 読み取りステータス: C3
投稿に失敗します。もう一度やり直してください
  • テキストの品質
  • アップデートの安定性
  • ストーリー展開
  • キャラクターデザイン
  • 世界の背景

合計スコア 0.0

レビューが正常に投稿されました! レビューをもっと読む
パワーストーンで投票する
Rank NO.-- パワーランキング
Stone -- 推薦チケット
不適切なコンテンツを報告する
error ヒント

不正使用を報告

段落のコメント

ログイン