Hujan yang terus menguyur kota Yogyakarta beberapa hari ini cukup lebat, seperti air yang ditumpahkan dari langit. Seperti hari ini dari selepas subuh hingga menjelang dzuhur, hujan belum juga terhenti, justru diikuti petir yang saling bersahutan dan saling menyambar.
Farhan menyadari bahwa apa yang sedang dia alami adalah buah dari perbuatannya, sebuah episode terberat dalam hidupnya jika sampai dia harus menentang keinginan orang tuanya untuk menikah dengan Hima, namun dia juga tak kuasa untuk meninggalkan kekasihnya. Tapi benar kata Hima, dia hanya manusia biasa yang tak luput dari kekhilafan.
Menatap hujan yang turun dengan derasnya, Farhan menarik nafas panjang bayangan kekasihnya berkelebat silih berganti, kenangan-kenangan bersamanya berputar silih berganti dari memori otaknya, apakah semua kenangan itu akan benar hanya tinggal kenangan? apakah sebuah keputusan yang benar jika dia memilih Hima demi orang tuanya? bagaimana perasaan Hima jika ia menikahinya tanpa cinta? Sepertinya keputusan apapun yang ia ambil tetap akan menyakiti semua orang.
"Ya Allah, kenapa Kau pertemukan aku dengan kekasihku jika akhirnya aku akan menyakitinya, dan menyakiti orang tuaku?. Ujianmu terlalu sulit ya Allah, Tolong beri hamba kemudahan dan tunjukkanlah jalan mana yang harus hamba ambil."
Puas meratapi kenyataan yang ia hadapi, Farhan beranjak ke kamar mandi, mengambil air wudhu lalu melaksanakan sholat dzuhur, dalam sholatnya dia menangis dan memohon ampun atas apa yang telah dia lakukan bersama kekasihnya, mungkin ini cara Allah mengingatkan dia bahwa hubungan yang ia jalani dengan kekasihnya telah melenceng dari jalur agama dan norma. Tiba-tiba bunyi nyaring terdengar dari ponselnya.
'Pricilia' Ucap Farhan pelan.
Tanpa melepas sarung dan koko yang ia gunakan untuk sholat, Farhan menekan tombol hijau di layar ponsel, terdengar suara merdu yang ia rindukan.
"Hallo Mas Farhan," Ucap pricilia di seberang telpon.
"hallo Lia, kamu apa kabar, kamu baik-baik saja kan?"
"Aku baik, Mas. Ehm... Lia mau memberi tahu mas sesuatu." Ucap Pricilia Pelan dan sedikit tertahan, ada setitik keraguan disana.
"Katakanlah ada apa," jawab farhan dengan lembut.
"Aku . . . Aku . . .Itu . . . Aku, Aku hamil Mas." Ucap Lia dengan nada yang cukup lemah namun masih bisa terdengar oleh telingga Farhan.
Hujan bertambah deras dan suara petir yang mengelegar, seperti menyambar jantungnya. Inilah jawab dari sebuah tanya yang selalu ia lontarkan di sepertiga malam.
"hallo. . . Hallo . . .Mas . . ." pricilia memanggil Farhan karena hanya hening tanpa ada suara balasan dari Farhan.
"I . . .Iya Lia, aku masih disini."
"Mas Farhan marah?"
"Tidak, kenapa harus marah?"
"Lia, hanya ingin memberitahu itu saja, Lia tetap akan membesarkan anak ini, meski Lia harus hidup sendiri tanpa kamu Mas, Lia tahu Mas Farhan di jodohkan oleh orang tua Mas kan?"
"Kamu bicara apa sih, Lia. Aku akan bertangung jawab, kita akan membesarkan anak kita bersama."
"Tapi orang tua Mas?"
"Aku akan bicara pada mereka."
"Lia tidak mau, Mas jadi anak yang tidak berbakti."
"Lalu mau kamu apa? menyuruhku menikah dengan pilihan orang tuaku? lalu aku harus menelantarkan mu dan anak kita?"
"Semoga Tuhan memberi jalan yang terbaik untuk kita Mas, Lia tutup dulu telponnya."
Pricilia telah menutup telponnya sebelum mendengar jawaban dari Farhan. Farhan meyakini bahwa saat ini pasti Pricilia sedang menangis. Farhan menarik nafas panjang, kemudian mengetikkan pesan pada Hima.
[Dia hamil anakku, Hima] pesan itu terkirim pada Hima, dan tak lama dia membalas pesan dari Farhan.
[Nikahi dia]
Farhan memejamkan matanya setelah membaca pesan dari Hima.
[Kamu tidak marah atau kecewa?]
[Marah untuk apa? kecewa untuk apa?]
[Karena aku tidak bisa menikahimu]
[Kau tidak pernah berjanji untuk menikahiku, Farhan. Lantas kenapa aku harus sakit hati dan kecewa? mungkin ini jawaban yang kamu tunggu]
[Trimakasih Hima]
[Sama-sama Farhan]
Farhan bersyukur, wanita yang ia jodohkan dengannya adalah Hima, sosok wanita dewasa dan bijaksana. Entah bagaimana jika dia di jodohkan dengan wanita lain belum tentu dia mau menerima keputusannya dengan hati dan kepala dingin.
Lantas sekarang bagaimana dia harus menyampaikan penolakan terhadap rencana perjodohan antara dirinya dan Hima?
Sementara di tempat lain, Erlangga menatap perempuan yang duduk di hadapannya dengan penuh luka. Joko yang ada disampingnya pun hanya duduk diam dan hanya menatap bergantian wajah Erlangga dan Sari.
"Hujan sudah mulai reda, sekarang kamu bisa pulang." Ucap Erlangga datar, Joko tak menyangka bahwa sahabatnya ini bisa berkata demikian pada seseorang, dan lagi perempuan itu pernah menduduki tahta di hatinya cukup lama.
"Baiklah aku pulang." Ucap Sari sambil tertunduk lesu kemudian mengambil tas yang ada di sampingnya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Jawab Erlangga tanpa menatap pada Sari.
Sari keluar dari rumah Erlangga diikuti Joko yang mengantarkannya ketempat dimana mobilnya terparkir, tapi sebelum dia benar-benar masuk ke mobilnya, Sari menangkap sosok perempuan berhijab hitam memarkirkan motornya di depan rumah Erlangga, dan senyum yang ia harapkan dari Erlangga ternyata tersunging walau bukan untuknya, melainkan untuk perempuan yang baru saja turun dari motornya dan menghampirinya.
"Siapa itu, Jok?" Tanya Sari penuh rasa penasaran.
"Calon istri Erlangga." Jawab Joko asal.
"Oh."
"Aku Pamit Jok, makasih udah anter sampe sini."
"Ga masalah, hati-hati dijalan, Sar."
"Oke."
Sari masuk ke dalam mobilnya kemudian melajukan mobil itu dengan kecepatan sedang, ada sedikit rasa sakit hati sekaligus cemburu yang ia rasakan, karena kesalahannyalah ia kehilangan Erlangga, kini tak ada lagi harapan untuk ia kembali merajut benang cinta bersamanya.
Erlangga tersenyum setelah membalas salam dari Hima, dia tak menyangka jika perempuan yang ia temui di bengkel akan datang ke rumahnya.
"Maaf Mas, tadi saya ke bengkel, tapi ternyata bengkelnya tutup, kemudian saya diberi tahu pemilik warung samping bengkelnya Mas, kalau rumah Mas disini, karena tidak terlalu jauh jadi saya langsung mampir kesini."
"Oh, Ya ga apa-apa mba, ada apa ya mba? apa motornya rusak lagi?" Tanya Erlangga sambil mempersilahkan Hima untuk duduk di teras.
"Enggak Mas, saya cuma mau balikin ini saja." Ucap Hima sambil meletakkan bungkusan mantel di meja samping dia duduk.
"Oh, dipakai aja ga apa-apa mba, saya masih ada satu lagi kok."
"Ini sedang musim hujan, biar bisa buat ganti Mas nya."
"Nama saya Erlangga, bukan mas nya."
"Oh, ya Mas Erlangga, Maaf."
"Tidak apa-apa."
"Kalau begitu saya pamit dulu mas, terimakasih mantelnya."
Baru saja Hima bangkit dari duduknya, petir kembali menyambar disertai hujan yang tiba-tiba turun dengan deras.
"Nanti aja mbak pulangnya nunggu agak reda, mari masuk dulu mba,"
Melihat Hima kebingungan Erlangga melanjutkan bicaranya.
"Saya dirumah tidak sendirian, tuh . . . sama Joko." Lanjut Erlangga sambil menunjuk ke arah Joko yang sedang berlari menuju ke rumah.