Dewita POV.
Waktu itu, pemikiran gue belum bisa sampai sejauh pemikiran orang dewasa. Gue hanya mengangguk menanggapi kalimat kak Serly masih dengan deraian air mata. Karna waktu kak Serly meninggal gue masih duduk di bangku kelas 1 SMP.
Dan semakin dewasa, gue semakin tahu maksud dari kalimat kak Serly waktu itu. Dan ternyata benar, setelah papi mami mendengar berita kematian kak Serly, mereka akhirnya rujuk kembali dan sekarang menjadi orang tua yang jauh lebih baik dari dulu.
Tapi bagi gue, mereka adalah penyebab kak Serly ngelakuin hal nekad waktu itu. Terkadang gue masih suka marah jika teringat akan hal itu, terlebih tentang perceraian papi mami dulu.
Tapi gue berusaha lebih perpikiran positif dan menjadi sosok yang kak Serly inginkan dulu. Gue melewati hal buruk pasca meninggalnya kak Serly selama hampir 5 tahunan, gue menjadi introvert, sensitive, dan sangat menghindari perbincangan diantara papi dan mami.
Namun 6 bulan terakhir ini gue berusaha menjadi sosok yang baru dan lebih positif bagi papi mami dan diri gue sendiri. Gue gak ingin kak Serly bersedih karna ngeliat keadaan gue. Dan semua makin membaik setelah gue dekat dengan Ara.
Mungkin karna Ara lebih tua dan lebih dewasa dari gue. Maka, gue seakan menemukan sosok kak Serly di dalam diri Ara. Ara yang sama periangnya seperti kak Serly, Ara yang sama mengayominya seperti kak Serly, dan banyak kesamaan-kesamaan diantara mereka.
Dan gue berharap Ara gak berakhir seperti kak Serly, makannya gue sedikit shock akan perubahan Ara setelah terbangun dari rumah Dewa tadi.
"Ra, lu baik-baik aja kan?" gue mengirimkan sebuah pesan ke ponsel Ara.
Lama gue menanti tak ada jawaban dari Ara, ingin gue menelfonnya tapi akhirnya gue urungkan niat. Mungkin dia sudah tertidur lelap, karna sekarang jam dinding kamar sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
"Mungkin lebih baik gue tanyain langsung aja besok di kampus." pikir gue.
Dan akhirnya gue memutuskan untuk tertidur sambil menggenggam erat ponsel dan masih berharap dapat balasan dari Ara.
***
Ara POV.
Seperti biasa, gue terbangun di sela waktu tidur. Mengambil sebuah ponsel yang tergeletak di samping tempat tidur dan mengecek jam berapakah sekarang. Terpampang jelas bahwa jam digital di ponsel menunjukkan pukul 03.00am, dan ada sebuah notifikasi chat whatsapp dari "Dewita Kampus".
Gue memutuskan untuk tidak langsung membuka notifikasi chat tersebut. Karna ada hal yang lebih penting yang harus gue lakuin setelah bangun tidur. Seusai melakukan hal yang biasa gue lakuin disetiap terbangun dari tidur, gue memutuskan membaca chat dari "Dewita Kampus" sahabat gue di kampus saat ini.
"Ra, lu baik-baik aja kan?" bunyi pesan dari Dewita.
Gue yakin Dewita ngerasa ada yang aneh dari gue sesaat setelah gue terbangun dari rumah Dewa tadi. Kalau gue jadi dia, gue juga bakal berpikiran begitu tentang perubahan dalam diri gue tadi.
"Tapi maaf Wit, gue belum bisa ceritain ke elu tentang sisi lain gue ini." Ucap gue lirih, lalu membalas chat whatsapp Dewita.
"Gue baik-baik aja, Wit. Biasalah kalau bangun tidur disaat nyenyak kan suka lama Wit nyawanya buat kumpul." balas gue memberikan alasan.
Dan gue tahu dia pasti udah tertidur, karna chat gue gak langsung dibalas sama dia.
***
Terkadang, kita ingin menunjukkan sisi kelemahan diri kita yang sebenarnya. Hanya saja, kita tidak cukup siap dengan pandangan orang lain. Kita hanya berharap, semoga ada seseorang yang tetap merangkul dan memeluk kita disaat mereka mengetahui tentang sisi lemah kita yang sebenarnya.
Dan mengatakan, bahwa semua yang ada di dalam diri kita adalah bagian dari kesempurnaan kita. Bahwa kelemahan yang kita miliki tak akan mengurangi cara pandang mereka terhadap kita.
Tapi, menemukan seseorang yang mampu membuat kita nyaman bercerita tentang buruk dan kekurangan kita itu tak mudah. Nyaman menceritakan tentang mimpi-mimpi, tentang kegelisahan, tentang segala hal yang menganjal hati tanpa merasa berkecil hati.
***
Gue hanya tidak ingin merepotkan dan terlalu bergantung pada orang lain. Berkat papa, gue bisa memiliki sebuah memori yang ingin gue lupa maupun ingin gue ingat, walaupun harus melakukan sesuatu hal yang lebih daripada yang dilakuin orang lain.
Tapi gue bahagia mampu bertahan sampai saat ini, hanya saja gue masih merasa bersalah karna gak bisa selalu ingat tentang papa, mama dan nenek.
Terdengar menakutkan karna disetiap bangun tidur gue merasa menjadi orang asing bagi diri gue sendiri. Terdengar menakutkan jika suatu saat gue tak mampu mengingat seseorang yang gue cinta.
Apakah dalam keadaan seperti ini gue masih pantas untuk mencintai seseorang?
Dan apakah, debaran jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya ini pantas buat Dewa ketahui?
Sedangkan disetiap gue terbangun dari tidur, sosok Dewa tak pernah gue ingat sama sekali?
Dan kenapa gue harus ingat tentang sosok Juna, yang jelas-jelas gak pernah bikin jantung gue berdetak lebih cepat seperti gue bertemu Dewa?
Kenapa harus Juna, Tuhan?
Kenapa harus dia?
Gue menderita selama 4 tahun ini karena selalu mengingat sosok seseorang yang tak pernah gue lihat lagi. Sosok yang pergi tanpa pamit dan aba-aba ke gue, sosok yang selalu buat gue menangis disetiap gue baca kenangan tentang dia, dan sosok yang membuat gue ingin menanyakan berbagai macam pertanyaan ke dia.
Pertanyaan tentang apakah gue ngelakuin kesalahan ke Juna?
Pertanyaan tentang apakah gue buat Juna kecewa?
Pertanyaan tentang apakah gue gak berarti sama sekali bagi Juna?
Dan semua pertanyaan apakah-apakah yang rasanya ingin gue utarain ke Juna langsung.
Tapi, apakah gue masih bisa menanyakan semua itu ke Juna ?
Tuhan, gue harap suatu saat nanti gue bisa mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini dari Juna langsung. Walaupun bisa jadi, gue udah gak bisa mengingat diri gue sendiri maupun orang lain lagi saat memperoleh jawaban itu dari Juna.
Tapi setidaknya, gue mampu bertahan sampai gue bisa bertemu Juna lagi. Dan gue harap, gue mampu bertahan sampai saat itu.
Dini hari ini, ingatan tentang Dewa dan Juna serasa memenuhi semua memori dalam diri gue.
Dewa yang membuat gue berdebar walau hanya berdekatan tanpa suara, Dewa yang mampu membuat gue tanpa sadar menggumamkan namanya, dan Dewa yang mampu membuat gue berimajinasi tentang dia.
Sedangkan Juna, seseorang yang dulu gue anggap sahabat dan menjadi pacar bohongan gue tapi pergi meninggalkan banyak tanya di hati.
Tentang Juna yang selalu menemani kekonyolan gue dulu, tentang Juna yang selalu mengerti akan kecerobohan gue, tentang Juna yang tak pernah berkata kasar ke gue, dan tentang Juna yang tak pernah gue tahu alasannya dia pergi.
Menurut kalian, haruskah kita jujur tentang masa lalu kita ke pasangan kita saat ini?