Juna POV.
Januari 2020
Gue masih terdiam di ruang kerja sambil menatapi sebuah foto berbingkai sederhana yang mampu membuat gue mengingat segala hal tentangnya. Pose saling menatap dan tertawa bahagia di bawah pohon rindang mengenakan seragam sekolah putih abu-abu.
"Gue kangen," lirih gue malam ini.
Udah lama kita gak saling berbincang, gue kangen celoteh lu, kecerobohan lu, ketidak pekaan lu dan semua tentang diri lu. Ayo kita berbincang dan melakukan segala hal konyol yang selalu ada di otak lu. Ayo kita lakukan semua yang pernah kita lakuin dulu, ayo kita lakukan semuanya!
Tok tok tok, bunyi pintu ruang kerja gue diketuk.
Seketika ngebuat gue sadar akan kerinduan gue malam ini, dan bergegas menghapus air mata yang tanpa sadar mengalir deras di pipi.
"Masuk," perintah gue.
"Sudah jam 8 pak, bapak belum pulang?" tanya mang Edi office boy di kantor gue.
"Oh iya, ini saya lagi beres-beres mang, mamang mau pulang ya?"
"Hehe iya pak, tapi kalau bapak belum ingin pulang saya masih bisa menunggu kok pak?"
"Saya pulang sekarang kok mang, silahkan di bersihkan ruangannya." perintah gue sambil menuju pintu untuk pulang.
"Baiklah kalau seperti itu pak, hati-hati di jalan pak Juna."
"Iya mang terima kasih, mang Edi juga hati-hati nanti pulangnya."
Gue menekan tombol lift menuju basement lalu bersandar ke dinding lift masih dengan tatapan sendu merindu.
Bunyi dering ponsel....
Seketika gue sadar lalu menjawab telfon di handphone.
"Waalaikumsalam ma, iya ma ini baru mau pulang. Ada apa ma?"
"Oh oke ma, tunggu Juna bentar ya!" balas gue sambil menutup telfon dari mama di rumah.
Mama meminta gue buat mampir ke salah satu toko roti untuk beli cake brithday, karena hari ini ponakan gue ulang tahun. Dan mama gak sempet keluar karna lupa akan ultah cucunya, dan ponakan gue juga baru aja sampai rumah bersama orang tuanya. Jadi gue yang harus ngasih surprise ke cucu tersayang mama ini, cucu dari adik laki-laki gue yang tak lain adalah anak bungsu mama.
Gue memasuki pagar rumah bernuansa serba putih dengan taman yang indah di dalamnya. Belum sempat gue keluar mobil, udah ada anak lelaki berumur 3 tahun berdiri di depan pintu utama menunggu gue dengan wajah ceria.
"Om Juna pulang, salim salim." ucap si anak.
Gue pun langsung menggendong si anak mengemaskan ini setelah menyambut tangan munggilnya untuk minta salim.
"Varo apa kabar?"
"Baik om, itu apa om?" sambil menunjuk ke arah satu tangan gue yang membawa bingkisan.
"Ini hadiah buat Varo, Varo mau gak?"
"Mau dong om, sini sini."
"Yaudah kita ke dalam dulu ya!"
Setelah selesai dengan acara tiup lilin sederhana, Varo dan yang lainnya memutuskan untuk memasuki kamar masing-masing menyisakan gue dan adik lelaki gue.
"Ka, gimana kabar lu?" tanya adik gue.
"Baik, lu gimana? kerjaan dan rumah tangga lu baik-baik aja kan?"
"Alhamdulillah baik ka, rumah tangga gue sangat baik-baik aja. Tapi sepertinya elu yang gak baik-baik aja kak?"
"Apa muka gue keliatan gak baik-baik aja ya dek?"
"Sangat terlihat kak, gue tahu elu seperti apa kak. Walaupun dulu kita gak bertatap muka langsung tapi kita dulu saling berbagi rahasia, sekecil apapun rahasia yang kita miliki kita berdua pasti berbagi. Lu masih sayang kak sama dia?"
Gue hanya dua bersaudara, walau kita lelaki tapi kedekatan kita melebihi saudara sesama perempuan, walaupun dulu kita tidak tinggal dan besar bersama tapi kedekatan kita sangat baik.
Gue selalu berkomunikasi dengan orang tua dan adek gue di jakarta, gue memutuskan kuliah diluar negeri setelah menyelesaikan masa SMA yang sebenarnya mendapat tantangan dari keluarga.
Gue pergi ke luar negeri disaat adek gue masih duduk di bangku kelas 8 atau SMP, dia menangisi kepergian gue disepanjang perjalanan menuju bandara. Dan kita pun masih tetap saling berkomunikasi sampai dia memutuskan menikahi kekasihnya yang selalu dia ceritakan semasa mereka pacaran di bangku kuliah dulu.
Dia meminta maaf karna mendahului gue untuk menikah, dan gue hanya tertawa menanggapi dan tak lupa memberikan restu ke adek gue.
Dia tahu tentang cinta pertama gue, dan dia akan selalu memaki gadis cinta pertama gue ini karna telah membuat kakaknya seperti ini.
"Sepertinya masih dek, karna nyatanya nama dia masih ada di hati dan kenangan gue."
"Secinta itukah elu sama dia kak?"
"Iya dek, gue harap bisa melakukan segala hal bersama dia dan meminta maaf ke dia."
"Gue harap dia akan segera tahu tentang hati lu kak, gue mau lu bahagia kak." ucap adek gue penuh harap.
"Aamiin, thanks dek. Yaudah sana masuk kamar! nanti Varo nyariin," pinta gue.
"Yang nyari tuh bukan Varo kak, tapi bundanya Varo." balas adek gue sambil cengengesan.
"Iya dah iya, mau pamer ke gue nih?"
"Hahaha enggak kak, damai kak." ucap adek gue berlalu sambil membuat gerakan dua jari membentuk huruf V.
Setelah adek gue hilang dari pandangan gue buat masuk ke kamar, gue pun bergegas buat memasuki kamar gue. Terasa sekali rindu ini jika sedang sendirian, gue harap elu cepet ada di sini bersama gue. Di atas tempat tidur mata gue belum mampu untuk langsung memejam, hingga tanpa sadar gue membuka sebuah history chat beberapa bulan yang lalu.
#####
"Kamu apa kabar?" tulis gue
"Maaf, siapa ya?"
"Pacar bohongan kamu?"
"Elu, ke mana aja baru ada saat ini?"
"Maaf, kamu masih ingat aku to?"
"Jelaslah, kan elu pacar pertama gue. Walau bohongan sih, hhhehee."
"Aku suka banget sama RAI."
"Maksudnya?"
"Aku suka sama penulis novel bernama RAI."
"Ooh, gue kirain apa, lu di mana? gak kangen sama gue?"
"Di jakarta."
"Besok kita ketemu yuk, gue mau cerita banyak ke elu." ajaknya
"Okey, aku tunggu di pohon belakang sekolah ya?"
"Okey." balasnya.
#####
Dan hari berikutnya kita bertemu di tempat yang sudah ditentukan, di bawah pohon rindang di belakang sekolah. Dia tidak berubah sama sekali, malah terlihat makin mempesona di mata gue. Dia bercerita banyak tentang dirinya, itulah yang ngebuat gue suka dengan pribadi dia sampai saat ini.
Jangan tanyakan bagaimana perasaan gue, karna nyatanya rasa itu masih ada. Dia menceritakan rahasianya tentang RAI yang sebenarnya ke gue, padahal dari awal gue udah tahu bahwa RAI itu adalah dia.
Dia gak tahu kalau pemilik penerbit yang menaungi karyanya adalah milik gue, gue pun tahu kalau salah satu cerita novelnya adalah cerita tentang kita. Hanya saja itu di lihat dari sudut pandang dia sendiri tanpa mau mencari tahu tentang sudut pandang si pria, yaitu fakta dari sudut pandang gue.
Dia menanyakan tentang kesibukan gue, pekerjaan gue dan kehidupan percintaan gue. Yang membuat gue terdiam lama tanpa jawaban adalah pertanyaan dia soal ini.
"Jun, dulu selama kita menjalani pacar bohongan apa lu pernah menggunakan perasaan sayang atau cinta ke gue?" tanya nya.
Gue terdiam lama sambil menyusun sebuah kalimat yang pas untuk gue lontarin ke dia.
"Pakai dong, perasaan sayang ke temen."
"Syukurlah elu gak anggap gue lebih dari temen." balasnya dengan raut wajah lega.
Gue gak tahu makna sebenarnya dari raut wajah yang dia tampakkan saat itu. Tapi, yang gue tahu saat ini adalah gue harus menunggu dia lagi untuk sekedar berkirim pesan atau berbincang mendengar ceritanya lagi.
Tuhan, berapa lama lagi gue harus menunggu?
Padahal baru beberapa bulan yang lalu kita berbincang dan tertawa, tapi kenapa sekarang harus seperti ini?
Protes gue saat ini.
Menurut kalian, cinta pertama akan berakhir bahagia atau tidak?