"Capek banget jadi gue, mau bahagia aja susah banget. Huhuhu". Unaya terus mengoceh tidak jelas sambil mengeratkan rangkulannya di leher Jeka. Sementara itu Jeka sedang memutar otak, bagaimana cara membawa Unaya pulang dalam keadaan mabuk dengan motor? Masa iya Jeka harus beli gendongan bayi biar Unaya tidak jatuh? Pemuda itu mengabaikan Unaya yang ngoceh-ngoceh tentang Guan. Curhat secara enggak langsung, kapan lagi Unaya mau keluarin unek-unek kalau bukan dalam keadaan begini.
"Bahaya banget nih cewek kalau dibawa pulang naik motor. Yang ada dia teriak-teriak di lampu merah dan gue yang dikira ngapa-ngapain dia". Gumam Jeka. kemudian satu nama mendadak muncul dalam benaknya, iya satu nama yang diingat saat butuh saja wkwk.
"Aha! Telepon Om Papa aja suruh jemput". Jeka hendak menurunkan Unaya dari gendongannya namun gadis itu menolak.
"Ya ampun bentaran aja, gue mau minta jemput Om Papa dulu".
"No! Gue tuh masih mau ada di dalam gendongan Jeka ganteng, Lo wangi banget sih. Gak kayak si Guan tuh bau banget, hueeekkkk gak suka!". Kata Unaya seperti anak kecil kemudian mendusel-dusel di dada Jeka.
"Hhhh... Gak pas sadar, gak pas mabuk Lo tuh bergantung banget ya sama gue. Lagaknya ninggalin padahal aslinya gak bisa hidup tanpa gue". Omel Jeka meski tahu Unaya tidak akan ingat dengan apa yang ia katakan. Sementara itu Unaya malah menatap Jeka yang ngomel-ngomel sambil mengangguk sok paham.
"Apa? Bener kan?". Tanya Jeka pada Unaya.
"Iya. Lo ganteng". Sahut Unaya tidak nyambung. Karena sadar kalau menanggapi ocehan Unaya tidak ada gunanya, maka Jeka lebih memilih membawa gadis itu menepi di parkiran untuk menghubungi Jun.
"Gue gak mau nikah sama Guan! Gue juga gak mau diatur sama dia! Gue gak mau pura-pura bahagia lagi. Huhuhu...".
Jeka bergegas mencari nomor Jun dan menghubunginya. Jun yang biasanya fast respon udah kayak admin online shop pun langsung mengangkat panggilannya.
"Halo what's up Bro?".
"Om, jemput di club Bang RM sekarang". Kata Jeka langsung tanpa menjawab salam gaul dari Jun.
"Wait! Lo nge club lagi? Kalau Sonia tahu, abis Lo!". Sahut Jun agak nge-gas. Jeka memang akhir-akhir ini kumat nakalnya, lebih tepatnya setelah ditinggal Unaya untuk yang kesekian kalinya. Pernah suatu hari Jeka dijemput Jun dan pulang dalam keadaan mabuk, pada saat itu tentu saja Sonia marah. Tidak suka Jeka mengalihkan patah hatinya dengan mabuk-mabukan. Sonia menangis dan down karena kelakuan anak-anaknya. Masalah dengan Unaya belum selesai, dan Jeka malah bikin ulah. Karena tidak mau mama Sonia menangis, maka Jeka berjanji tidak akan mabuk-mabukan lagi.
"Udah deh Om, Lo interogasinya ntar aja. Ini penting!". Bisik Jeka karena takut ada lambe-lambe turah disekitar mereka. Ya meski mungkin udah ada lambe-lambe turah yang ngerekam mereka sih. Tapi waspada boleh aja kan?
"Om, jemput aku dwong!". Seru Unaya centil sambil cekikikan.
"Jek? Jangan bilang Lo lagi sama Unaya, terus Unaya mabuk? Lo apain dia kambing?!". Desis Jun mulai icemosi. Ini Jeka jadi manager gak becus banget, harusnya larang lah Unaya-nya nge-club lha kok malah didukung.
"Gue gak apa-apain dia Babi! Buruan Lo kesini babi ngak-ngek-ngok!". Desis Jeka balik.
"Babi? Ngahahaha grook... Grook... Grook...". Unaya nyamber begitu saja sambil menirukan suara babi berkali-kali. Unaya kalau lagi mabuk kekaleman-nya hilang.
"Laknat Lo jadi anak! Tunggu gue, jagain Unaya". Perintah Jun kemudian mematikan sambungan telepon.
"Dari tadi kek! Gak usah ngebacot aja napa". Gerutu Jeka.
"Babi, hihi babi groookkk... Grook... Grookk...". Jeka menatap Unaya sambil nyengir. Pemuda itu dengan iseng menaikkan hidung Unaya agar mirip babi beneran.
"Udah mirip banget lo sama Babi". Ledek Jeka.
"Yang babi itu Guan. Mirip banget sumpah kayak babi, hihi".
"Berani gak ngatain Guan babi di depannya langsung?". Goda Jeka. Kalau lagi sadar gak mungkin sih Unaya berani hina-hina Guan, begitu pikir Jeka.
"Enggak". Unaya menggeleng dengan sendu.
"Tapi kalau gak ada orangnya gue berani. DASAR MANUSIA BABI GUAN!". Teriak Unaya tiba-tiba hingga Jeka reflek membekap mulut gadis itu.
"Gila ya Lo? Kalau ada orang yang tahu Lo mabuk berabe". Unaya melepaskan bekapan Jeka dari mulutnya.
"Biarin aja semua orang tahu KALAU GUAN PEMILIK PERUSAHAAN GUAN CORP SAMA DOKTER DI RUMAH SAKIT XXX ITU KEK BABI! SUKA MAKSA! JAHAT! KASAR! JANGAN ADA YANG MAU SAMA DIA HAHAHHAHA". Teriak Unaya yang terlihat lebih lega. Jeka yang melihat Unaya mampu melepaskan beban di hatinya pun tersenyum kecil kemudian merangkul bahu gadis itu.
"Bagus ngomongnya di capslock. Cuma gue mau ngeralat, bukan Guan manusia babi tapi Guanjing. Tambahin tuh cowok Bangsat, beraninya maksa cewek! Ganti kelamin aja sana Lo, Anjing!". Kata Jeka mengompori.
"GUANJING! BANGSAT! GUE GAK SUKA SAMA LO, GAK SUDI JADI CEWEK LO BANCI!".
"Fuck!". Tambah Jeka sambil mengangkat jari tengahnya.
"Fuck!". Unaya mengikuti ajaran Jeka kemudian keduanya tertawa bersama.
"Bagus! Ntar kalo Lo ketemu dia, ngomong kek gitu. Gak perlu takut, Lo pantas bahagia". Nasehat Jeka. Unaya mengangguk beberapa kali kemudian tepar dipelukan Jeka.
"Baru ngumpat beberapa menit aja Lo udah teler, CK sayang... Sayang". Kekeh Jeka. Pemuda itu mengusap-usap rambut Unaya lembut hingga membuat sang gadis semakin terlelap.
***
"Pa, pokoknya Papa percaya sama Juwi aja ya. Papa gak perlu takut kehilangan rekan bisnis seperti dia". Kata Juwi meyakinkan Papanya. Saat ini ayah dan anak itu tengah menunggu kedatangan Guan di sebuah cafe. Seperti tujuan awal Juwi yang hendak memberikan efek jera pada Guan, menjadikan peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga pula menjadi kenyataan. Ia paling tidak suka dengan orang yang memanfaatkan kekuasaan untuk menindas kaum lemah. Apalagi yang jadi korbannya Jeka dan Unaya, orang yang sudah ia anggap keluarga sendiri.
"Papa selalu percaya sama kamu. Papa juga gak mau bekerja sama dengan orang jahat. Kalau benar dia melakukan hal sekeji itu, maka uang yang mengalir ke rekening Papa adalah uang haram". Sahut Papa Juwi. Papa Juwi adalah tipe orangtua yang mendengarkan pendapat anak-anaknya, juga menghargai setiap keputusan yang diambil Juwi. Misal saat Juwi memutuskan untuk melajang seumur hidup dan ingin menjadi wanita karier yang bebas. Papanya tidak mempermasalahkannya, karena menurutnya kehidupan Juwi adalah milik gadis itu sendiri, asal ia bisa mempertanggungjawabkan apa yang telah dipilih.
Termasuk saat Juwi menceritakan soal Guan yang menjadikan Unaya jaminan bisnis, meski papa Juwi tidak tahu yang dikatakan anaknya benar atau tidak namun ia tetap mendengarkan dan akan membuktikan sendiri. Dari cerita Juwi, tentu saja lelaki itu tidak membenarkan sikap Guan. Menjadikan manusia jaminan bisnis bukankah sama saja seperti memperjual belikan manusia? Bisa diperkarakan dan ia tidak mau terlibat dalam masalah yang dilakukan Guan.
Beberapa menit kemudian, Guan datang bersama tangan kanannya. Pemuda itu berjalan dengan sombong menuju bangku Juwi dan duduk begitu saja.
"Malam Pak, maaf saya terlambat". Ujarnya sambil melirik jam yang melingkar dipergelangan tangannya. Juwi menampilkan wajah sok ramah agar Guan tidak curiga akan niat liciknya. Lagian Guan juga tidak tahu kok kalau Juwi ini kenal dengan Jeka dan Unaya.
"Oh tidak apa-apa, saya juga baru datang. Ini putri saya, Juwita Maharani". Kata Papa Juwi. Guan langsung menatap kearah Juwi dan tersenyum ramah kearah gadis itu.
"Wow, putri anda benar-benar cantik. Siapa sih yang tidak tahu Juwita Maharani putri tunggal pengusaha kaya raya asal Taiwan". Puji Guan hingga membuat Juwi hampir muntah.
"Thanks. Tapi maaf pujian anda membuat saya mau muntah". Sahut Juwi pedas namun tetap mempertahankan senyum manisnya. Guan yang tadinya berusaha bersikap ramah pada Juwi agar mendapat nilai plus dimata rekan bisnisnya langsung memasang wajah datar.
"Ekhem.... langsung saja Pak. Apa yang ingin anda bicarakan? Saya tidak punya banyak
waktu". Kata Guan mengalihkan pembicaraan. Pemuda itu mengabaikan Juwi yang sedari tadi menatapnya dengan tatapan mau nimpuk.
"Kenapa kok gak punya banyak waktu? Ah... Gadis yang anda culik kabur ya?". Tanya Juwi yang jelas tepat sasaran. Mendengar pertanyaan Juwi, Guan sontak gugup. Bagaimana bisa Juwi tahu kalau ia menyembunyikan seorang gadis di rumah? Guan dan Agus saling melempar tatapan bingung.
"Saya tidak tahu maksud perkataan anda Nona Juwi. Dan lagi urusan saya dengan Papa anda, bukan anda. Kenapa anda ikut campur dari tadi?". Kata Guan tegas. Juwi berdecak, gadis itu bersedekap dada kemudian menatap Papanya.
"Pa, langsung aja kasih tahu tujuan kita nyuruh dia datang ke sini. Juwi udah muak lihat aktingnya yang murahan!". Juwi meneguk jus yang ia pesan karena mendadak mau meledak. Pemuda di depannya ini super drama dan songong.
"Pak Guan tahu, kalau putri saya ini segala-galanya untuk saya. Dia minta saya untuk berhenti kerjasama dengan bapak karena tindakan kriminal anda. Anda menjadikan tunangan anda sendiri sebagai jaminan bisnis. Anda pasti tahu kan jika apa yang anda lakukan itu termasuk dalam tindakan kriminal dan bisa diperkarakan?".
"Tunggu sebentar Pak, ini tidak sekriminal seperti apa yang anda kira. Dia memang tunangan saya, dan saya berhak atas dirinya. Ini hanya kesalahpahaman saja". Bela Guan. Pemuda itu tentu takut kehilangan rekan bisnis seperti Papa Juwi. Apalagi tindakan jahatnya pada Unaya sudah sampai ditelinga orang lain.
"Maaf Pak, saya tidak mau bekerjasama dengan seorang kriminal". Tegas Papa Juwi. Guan kalang kabut, pemuda itu berusaha meyakinkan Papa Juwi namun hasilnya nihil. Juwi lah yang memegang kekuasaan penuh di tempat ini.
"Papa gak usah minta maaf terus sama dia, harusnya dia yang minta maaf karena dia yang salah". Sahut Juwi. Ia dan Guan saling melempar tatapan tajam.
"Saya akan mencabut saham saya segera".
"Pak, tunggu...". Ucapan Guan terpotong karena telepon dari seseorang. Telepon itu dari maid nya yang ia tugaskan untuk mengabari jika Unaya kembali ke rumah.
"Kenapa gak diangkat? Takut ketahuan kalau kamu emang penculik dan melakukan hal kriminal?". Sindir Juwi karena Guan terlihat gelisah dan tidak berani mengangkat telepon.
"Saya tidak melakukan hal kriminal. Unaya itu tunangan saya, jadi...".
Tling...
Tuan, nona Unaya sudah kembali ke rumah..
"Maaf, saya harus pergi. Untuk masalah ini bisa kita bicarakan lagi lain waktu Pak". Guan berdiri dari duduknya kemudian bergegas pergi. Unaya lebih penting dari urusan ini, ia ingin memastikan jika gadis itu tidak macam-macam.
"Lepaskan Unaya, maka saya akan minta Papa saya untuk membatalkan niatnya untuk berhenti kerjasama dengan kamu". Cegah Juwi. Guan berhenti ditempatnya, pemuda itu menoleh tanpa ekspresi.
"Saya permisi". Ujarnya sekali lagi kemudian pergi.
"Hhhh... Bandel!". Desis Juwi.
"Pa, Juwi mau ajak dia ngobrol bentar. Papa tunggu disini". Juwi pun bergegas menyusul langkah Guan. Gadis itu menarik tangan Guan kuat-kuat hingga siempunya berhenti.
"Saya serius. Saya akan batalkan niat Papa saya tadi. Asal anda lepaskan Unaya". Kata Juwi sungguh-sungguh. Guan menyentak tangan Juwi kasar, persetan dengan status gadis didepannya ini.
"Kamu itu orang suruhan Jeka, atau...". Guan menunduk untuk menatap wajah Juwi dari dekat.
"Kamu tertarik sama saya, terus lakukan hal murahan seperti ini?". Lanjut Guan hingga membuat Juwi terkekeh.
"Haha saya tertarik sama kriminal kayak kamu? Cuihhhh...". Ledek Juwi kemudian meludah tepat di samping kaki Guan.
"Gak sudi. Saya sudah berikan pertimbangan tapi kamu menolak. Oke, karma otw". Juwi mengibaskan tangannya kemudian pergi. Guan tidak terlalu mempedulikan perkataan Juwi tadi, baginya tidak penting. Yang ia ketahui Juwi hanyalah salah satu orang di pihak Jeka. Juwi hanya berusaha menekannya agar melepaskan Unaya, oh tidak semudah itu.
***
"Jek? Lo belum cerita, itu gimana bisa Unaya teler?". Tanya Jun terus menekan Jeka agar mau bercerita. Jeka dan Unaya sudah ada di dalam mobil Jun untuk perjalanan pulang. Jeka melamun sementara Unaya tidur nyenyak di bahu Jeka.
"Ceritanya panjang Om, kalau diceritain bisa sampai dua puluh bab. Mending Lo fokus nyetir dan bawa nih anak balik ke rumah si kaleng roti". Kata Jeka sambil menoleh ke arah Unaya.
"Anjir, ngiler lagi dia". Omelnya kemudian menoyor-noyor kepala Unaya.
"Yakin Lo? si doi udah ada di pelukan mau dibalikin lagi?". Tanya Jun memastikan. Jun kira Jeka akan membawa Unaya pulang ke rumah nya, bukan ke rumah Guan. Lha kok?
"Gue gak mau ketinggalan pertunjukan seru. Udah percaya aja sama gue". Kata Jeka sambil tersenyum penuh arti. Bersamaan dengan itu, Unaya bangun dari tidurnya sambil menyentuh kepalanya yang pusing.
"Ehhh... Si cantik udah bangun, enak boboknya?". Tanya Jeka lembut.
"Aw... Hhhh... SI GUAN ANJING! BANGSAT!". Teriak Unaya begitu saja.
"Uhuk... Jek, Lo ajarin apa dia?". Jun menatap Jeka horor, yang ditatap malah nyengir sambil colak-colek dagu Unaya.
***
Mereka bertiga sampai di rumah Guan, Jun menanyakan sekali lagi apakah Jeka yakin ingin memulangkan Unaya di tempat ini? Dan jawaban Jeka tetap sama; yakin. Jeka tidak ragu karena kesempatan Unaya berani mencaci maki Guan hanya saat mabuk seperti ini. Jeka ingin Guan mendengar seluruh keluh kesah Unaya tentang pemuda itu. Syukur-syukur kalau Guan sadar kemudian mengembalikan Unaya ketempat yang semestinya; pelukan Jeka.
Jeka membopong Unaya kemudian memencet bel. Tak lama satpam yang sudah tak asing dimata Jeka membukakan pagar. Sudah memasang wajah tak bersahabat tapi Jeka buru-buru menjelaskan.
"Santai aja Bro. Gue cuma mau mulangin dia. Omong-omong majikan Lo mana?". Tanya Jeka.
"Tuan Guan sedang meeting. Kalau sudah tidak ada urusan silahkan pergi". Satpam itu hendak mengambil alih Unaya namun Jeka langsung menjauhkannya.
"Yahhhh... Sayang banget Om Papa, padahal gak mau ketinggalan nonton drama". Kata Jeka pura-pura sedih.
"Kalau gak mau ketinggalan, kasih yang tadi aja Jek". Kode Jun. Jeka mengangguk, pemuda itu memindahkan Unaya ke atas gendongan satpam kemudian memasangkan sebuah kalung yang ia pasangi penyadap suara. Harapan Jeka dengan penyadap suara itu ia bisa melihat keadaan Unaya.
"Kalung apa itu?".
"Kalung dia tadi jatuh, cuma mau balikin aja". Jeka mengacak rambut Unaya setelah memasangkan kalung itu.
"Baik-baik ya, gue balik dulu". Pesannya.
"Pamit dulu Pak. Jagain! Jangan modus!". Peringat Jeka sebelum pergi.
Setelah pagar ditutup, Jeka segera mengecek ponselnya. Untung saja alat penyadap itu bekerja. Jeka lega dan terus menyimak ponselnya.
"Sippp... Ada suaranya". Ujar Jeka.
"Pantes Lo gak takut Unaya balik ke sini lagi, udah punya rencana ternyata".
"Emang udah siapin dari lama tapi baru kesampaian sekarang ngejalanin nya. Udah yok buruan cabut, ntar kalau ada yang denger omongan kita, berabe". Tegur Jeka sambil menatap sekitar dengan waspada.
Lima belas menit kemudian, Guan sampai di rumah dan segera keluar dari mobil dengan tergesa.
"Dimana Unaya?!". Tanyanya emosi sambil melempar jas.
"Ada di kamar Tuan. Nona pulang dalam keadaan mabuk". Sahut si maid takut-takut.
"Apa?! Sudah berani macam-macam gadis itu". Desis Guan terlihat murka. Pemuda itu berjalan dengan langkah lebar menuju kamar Unaya dan membuka pintu dengan kasar.
Brakkkk!!
Melihat Unaya tidur dengan posisi tidak lazim karena mabuk, Guan langsung menarik tangan gadis itu dengan paksa hingga terduduk di ranjang.
"Aduh... Kepala gue sakit, bego!". Ketus Unaya sambil menjambaki rambutnya.
"UNAYA!!!". Teriak Guan semakin murka. Baru kali ini Unaya berani kurang ajar padanya.
"GAK USAH TERIAK-TERIAK! GUE ENGGAK BUDEG...". Perkataan Unaya terpotong setelah menangkap presensi Guan. Mata gadis itu memicing.
"Oh... Ini dia si anjing yang gue tungguin". Gumam Unaya kemudian turun dari ranjang dan berjalan mendekati Guan.
"Apa kamu bilang?". Tanya Guan untuk memastikan apa ia salah dengar atau tidak.
"Gue bilang anjing. ANJING DENGER ENGGAK?!".
PLAKKKKK....
Guan langsung menampar Unaya, ia tidak terima dikatai anjing oleh gadis itu.
"SAKIT BANGSAT! BABI GROKKK... GROOKKK... GROKKK...". Ledek Unaya. Gadis itu mengabaikan rasa sakit dipipinya, sakit fisik tidak terlalu berasa. Sakit dihatinya lebih perih.
"Kamu menjijikan!". Hina Guan balik. Unaya terbahak bak orang gila sambil menunjuk-nunjuk Guan.
"HAHA ENGGAK NGACA LO?! LO TUH YANG MENJIJIKAN ANJING. NGEMIS-NGEMIS CINTA KE GUE SAMPAI MANFAATIN PAPA. LO TUH MALU-MALUIN TAHU GAK SIH?! KATANYA TAJIR, TAPI PINGIN PUNYA CINTA AJA SAMPAI NGEMIS". Perkataan Unaya telak membuat Guan terluka. Apa yang dikatakan gadis itu memang fakta. Faktanya ia mengemis cinta Unaya, namun Guan sekuat tenaga menjaga harga dirinya.
"JAGA BICARA KAMU!". Guan mengangkat tangan Unaya hendak memukul gadis itu lagi, namun entah kenapa tangannya justru berhenti di udara setelah melihat sorot sendu di mata Unaya.
"APA? MAU NAMPAR GUE LAGI? CEPET TAMPAR! LO TUH PUNYA MAMA GAK SIH? MAMA LO CEWEK KAN? TAPI KENAPA LO KASAR KE GUE? GUE GAK CINTA SAMA LO, GUE CINTANYA SAMA JEKA. LEPASIN GUE...". Lirih Unaya diakhir kalimatnya. Guan menurunkan tangannya perlahan saat Unaya menyebut kata mama. Guan tidak punya mama, untuk itulah ia tidak bisa mengontrol tindakan kasarnya pada perempuan.
"Jaga dia! Jangan sampai kabur!...". Perintah Guan pada para maid yang sedari tadi menyimak pertengkaran antara Guan dan Unaya.
"Kamu aku hukum! Gak boleh keluar dari kamar, kuliah juga gak boleh. Kalau nekat kayak gini lagi, tahu akibatnya". Ancam Guan pada Unaya.
"Akibatnya apa? Mau bunuh gue? Silahkan! Gue malah seneng, mending gue mati daripada jadi istri lo". Perkataan Unaya lagi-lagi menyakiti perasaan Guan.
"Kamu itu lagi mabuk, makannya linglung...".
Hueeeeeeekkkk...
Dengan sengaja Unaya muntah di baju Guan.
"Unaya...". Desis Guan jengkel.
"Hahahaha. Makan tuh muntahan gue...". Cemooh Unaya puas sekali. Belum juga Guan sempat mengomeli Unaya, gadis itu sudah pingsan lebih dulu.
"Nonaaaa....". Teriak para maid yang lebih mengkhawatirkan Unaya ketimbang tuan muda mereka.
Sementara itu ditempat lain...
"Bravo... Bravooo... Endingnya keren banget sih". Komentar Jun sambil bertepuk tangan. Sementara Jeka diam tanpa ekspresi setelah mendengarkan pertengkaran Guan dan Unaya.
"Woy! Diem aja Lo, kasih komentar kek atau rating gitu". Tegur Jun. Jeka menatap Jun dengan rahang mengeras.
"Unaya ditampar, anjing! Lo masih nyuruh gue kasih rating?! Gue kasih pelajaran baru bener". Jeka hendak melangkah namun segera ditahan Jun.
"Tahan dulu dong Bro. Coba deh Lo mikir positif atas kejadian ini". Nasehat Jun yang membuat Jeka diam beberapa detik, mikir.
"Enggak ada, anjir". Kata Jeka kemudian.
"CK! Suara yang kita rekam tadi bisa buat nambahin bukti kejahatan Guan. Katanya Lo mau jeblosin dia ke penjara".
"Ya tapi gak bisa diem aja dong Om tahu Unaya disiksa gitu. Gue aja perlakuin dia hati-hati banget, lah si Guan malah berani pukul-pukul.. ahhh... Gak bisa bayangin gue". Jeka memejamkan matanya tidak sanggup membayangkan Unaya disiksa sampai kesakitan.
"Gue ngerti Jek. Tapi fokus kita saat ini kumpulin bukti sebanyak-banyaknya. Lebih baik besok lo jemput calon mertua Lo dan bujuk dia biar mau jadi saksi di persidangan". Kata Jun.
"Hah? Papa mertua udah bebas? Kok gue gak tahu". Tanya Jeka keheranan.
"Intinya besok Lo jemput aja dia, terus bawa pulang". Kata Jun lagi. Ada yang aneh dalam kalimat Jun, Jeka hanya mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut lagi.
--Ex-Bangsat Boys--