"Hahaha. Canda, jadi gimana masih ngambek? Masih cemburu?". Tanya Jeka setelah puas membuat wajah Unaya semerah tomat. Gadis yang digoda itu memanyunkan bibirnya sembari memukul pundak Jeka pelan.
"Ya tergantung. Hubungan lo... eh, kamu sama Juwi gimana? Statusnya apa?". Tanya Unaya kemudian. Jeka mengusak rambut Unaya lembut, pemuda itu diam saja. Justru terkekeh begitu menyebalkan.
"Tanya aja sama orangnya kalau penasaran". Sahut Jeka enteng.
"Loh gimana sih. Kan aku nanya sama kamu, kok malah suruh tanya ke Juwi?". Protes Unaya mulai kesal. Jeka terlihat santai menghadapi Unaya yang merajuk. Unaya memang gampang ngambek, tapi gampang luluh juga. Untung Jeka sudah punya kunci untuk meluluhkan hati gadis itu.
"Emang kalau aku yang jawab, kamu bakal percaya? Daripada kamu mikir yang enggak-enggak tentang aku setelahnya, mending kamu nanya ke Juwi-nya secara langsung kan?". Nasehat Jeka yang membuat Unaya terdiam. Iya sih, benar juga. Sejujur-jujurnya cowok pasti tetap saja ada sedikit rasa tidak yakin dihati cewek, termasuk Unaya. Meski nanti Jeka berani bersumpah-pun, sepertinya ia akan tetap overthingking.
"Aku capek banget hari ini. Kamu datengnya telat banget. Mau peluk!". Rengek Unaya manja yang tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan. Sepertinya gadis itu lebih memilih mendengar penjelasan secara langsung dari Juwi. Mereka kan sama-sama perempuan, Unaya pasti bisa menilai apakah gadis itu jujur atau bohong.
Jeka menjauhkan diri saat Unaya hendak memeluknya. Bukan bermaksud tidak mau dipeluk, malahan mau banget. Hanya saja luka diperutnya masih basah, pasti sakit kalau dipeluk. Dan yang penting Jeka tidak mau Unaya tahu kalau ia terluka.
"Kenapa? Gak boleh peluk?". Tanya Unaya dengan sorot sendu. Jeka menjilat bibirnya gugup, ia mencari-cari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Unaya.
"Boleh banget, tapi aku belum mandi. Masih bau. Hehe". Bohong Jeka sambil tertawa garing. Unaya memicingkan matanya curiga. Ini lho ya tanda-tanda kalau cowok lagi bohong; gak mau natap mata lawan bicara, mata bergerak gelisah, mendadak keringetan.
"Kamu habis main sama cewek ya?!". Tuduh Unaya sambil mengendus-endus tubuh Jeka. Mendadak parno kalau Jeka ternyata ada main dengan gadis lain.
"Eh?! Mana ada. Gak mungkin lah aku kayak gitu. Move on dari kamu aja susah banget. Kalaupun ada main sama cewek ya paling cuma buat iseng hehe".
"Ihhhhh... tuh kan! Fix deh, kamu ada main sama cewek lain pasti". Unaya langsung heboh meneliti pakaian Jeka. Siapa tahu ada noda bekas lipstik atau rambut rontok.
"Astaghfirullah... canda kali yang. Kamu ngapain sih? Enggak ada main, sumpah deh". Kata Jeka untuk yang kesekian kalinya.
"Kamu sengaja ya pakai baju item gini biar kalau ada bekas lipstik atau rambut rontok gak kelihatan?". Oceh Unaya. Jeka menarik nafas panjang, kudu perbanyak sabar lurrr...
"Ya Allah Na, kamu kan tahu sendiri isi lemariku emang banyakan baju warna item. Aku kan anak metal". Canda Jeka sambil bergaya ala metal🤘🏻
"Terus kenapa gak mau dipeluk? Aku kan parno, takut kamu ninggalin aku pas lagi sayang-sayangnya". Ujar Unaya dengan wajah sendu. Unaya sudah berani menentang Papa-nya dan siap menanggung resiko kedepannya demi Jeka. Jangan sampai perjuangannya sia-sia.
"Kan tadi aku udah bilang, belum mandi sayang. Sini cium aja". Jeka merangkul Unaya kemudian mendaratkan kecupan singkat di dahi gadis itu.
"Sayangku cuma Unaya". Bisiknya yang membuat Unaya malu-malu kucing.
"Sayang kamu juga, Jekaku". Balas Unaya. Jeka mengusap pipi Unaya lembut, Duh sayang sekali dengan gadis di depannya ini. Jelas akan Jeka perjuangkan agar mereka bisa sama-sama seperti dulu.
"Lusa jadwalnya malam keakraban, jangan lupa siap-siap dan jaga kesehatan. Acaranya di Villa ku, tiga hari tiga malam". Kata Jeka memberi bocoran info terkait acara ospek. Jadi setelah pengenalan lingkungan kampus dan lainnya, kegiatan ospek akan ditutup dengan acara malam keakraban.
"Berasa flashback deh, dulu aku pingsan diatas pohon". Kekeh Unaya. Mereka akhirnya cekikikan karena mengingat masa lalu.
--Ex-Bangsat Boys--
"Shit!". Umpat Guan sambil menendang meja didepannya. Ia mendapat laporan jika para ajudannya gagal melenyapkan Jeka. Bagaimana mungkin sepuluh ajudannya gugur dibawah kaki Jeka? Benar-benar menyebalkan. Padahal ia sudah membayar mahal. Si tua bangka Suryo juga mendadak tidak ada kabar, lelaki itu kabur setelah ia ancam.
"Mau sembunyi dilubang tikus pun gue bakal temuin lo, tua bangka!". Desis Guan. Lelaki itu berjalan menuju figura besar yang terpampang foto Unaya. Ia mengelus foto itu dengan sorot pilu.
"Aku sudah berikan semuanya Unaya. Cinta, harta, hati. Tapi kenapa kamu tidak mau membuka sedikit saja hatimu untuk aku? Kenapa justru laki-laki... Akh! Sialan, gue jadi emosi kalau inget cowok itu!". Sorot pilu dimata Guan berubah menjadi sorot marah. Lelaki itu tersenyum bengis ke arah foto Unaya.
"Kalau aku gak bisa dapetin kamu, maka gak ada satu orangpun yang bisa memiliki kamu. Termasuk cowok itu. Kita lihat sejauh mana kamu bisa bertahan dengan pendirian kamu kalau nyawa cowok itu yang jadi taruhannya". Guan terkekeh sinis sebelum menghubungi seseorang. Serangan pertama gagal, namun Guan masih akan mengirim serangan-serangan berikutnya sampai dua sejoli itu menyerah.
"Halo. Kerahkan kelompok bersenjata untuk menghabisi orang yang fotonya saya kirimkan lewat pesan!". Perintah Guan mutlak. Tanpa menunggu orang diujung sana menyahut, lelaki itu langsung mematikan sambungan telepon.
Ini foto orang itu. Habisi dia segera, pastikan untuk mengirim mayatnya!
Untung saja waktu itu Guan tidak sengaja membuka buku Diary Unaya dan menemukan foto Jeka disana. Sehingga ia tidak kesulitan mencari foto pemuda itu.
"Hahahaha! Tamatlah riwayatmu, Jeka". Guan tertawa terbahak-bahak hingga menggema diseluruh ruangan. Maid dan para pekerja dirumahnya mendadak merinding dan ngeri melihat tuan muda mereka.
***
Sementara itu di kota Seoul, Suryo bak orang kebingungan. Ia melarang Irene keluar dari kamar hotel, juga melarang Helena dan suaminya yang hendak berkunjung tanpa alasan yang jelas. Sejak Guan mengancamnya, Suryo jadi paranoid. Ia bahkan membatalkan meeting dengan para client-nya. Yang dilakukan setiap hari hanyalah menatap keadaan diluar hotel dari jendela.
Irene yang sudah tidak tahan dikurung tanpa alasan pun mulai curiga pada suaminya. Kenapa Suryo setakut itu pada Guan jika ia tidak menjanjikan apapun?
"Papa, bisa jelaskan kenapa kita harus bertahan disini? Kalau memang urusan di Korea sudah selesai, kenapa kita gak pulang ke Jakarta?". Tanya Irene pada Suryo yang mondar-mandir didepan jendela.
"Mama gak ngerti apa-apa. Sudah, turuti perintah Papa aja". Sahut Suryo dengan entengnya. Irene tentu tidak akan menurut begitu saja, ia berhak tahu karena statusnya adalah istri lelaki itu.
"Karena Mama gak ngerti, makannya Mama tanya Pa? Ada apa? Salah ya Mama sebagai istri mau tahu?". Tanya Irene dengan mata berkaca-kaca. Suryo mulai melemah, lelaki itu mengusap wajahnya kasar kemudian menatap Irene tepat dimata.
"Guan marah karena Unaya mutusin dia Ma. Kamu tahu kan kalau Guan udah marah, dia gak akan tinggal diam. Hancur pasti bisnis Papa". Jawab Suryo jujur. Lelaki itu takut sekali jika Guan mengambil seluruh aset kekayaannya. Suryo pernah hidup miskin lalu ditinggalkan istrinya, ia tidak mau kejadian itu terulang kembali. Katakanlah Suryo takut miskin karena masa lalunya yang menyedihkan.
"Bagus! Berarti Unaya sudah punya pendirian. Papa gak usah takut bisnisnya hancur, toh sebelum kerjasama dengan perusahaan Papanya Guan, bisnis Papa udah sukses". Sahut Irene enteng. Memang benar kok, mereka sudah sukses dan berkecukupan. Namun setelah melakukan kerjasama dengan Papa Guan, bisnis Suryo meningkat pesat.
"Masalahnya perusahaan Papa sudah di akuisisi Ma, saham perusahaan dibeli delapan puluh persen oleh Guan Corp". Kata Suryo dengan lemas. Irene membulatkan matanya, kini wanita itu tahu alasan suaminya terlihat gelisah akhir-akhir ini. Guan pasti tidak akan tinggal diam karena diputuskan Unaya, lelaki itu pasti akan menjadikan perusahaan Suryo sebagai ancaman.
"Kenapa Papa gak pernah tanya pendapat Mama soal ini Pa? Kalau begini sudah pasti Guan akan menjadikan perusahaan Papa ancaman. Dia dengan bebas bisa saja mendepak Papa". Jujur Irene kecewa pada suaminya. Ia bahkan baru tahu soal akuisisi perusahaan ini. Harusnya Suryo tanya pendapatnya dulu ketika hendak memutuskan sesuatu. Apakah Ia hanya dianggap pajangan oleh Suryo hingga memutuskan hal sepenting inipun tidak dilibatkan?
"Maka dari itu Ma, kita harus pastikan Unaya kembali pada Guan. Karena Papa meminjam banyak modal dengan Unaya yang jadi jaminannya". Ujar Suryo lirih diakhir kalimatnya.
"Apa?! Papa menjadikan Unaya jaminan utang? Papa macam apa kamu?!". Bentak Irene yang jelas marah sekali. Anak-anak tidak seharusnya dilibatkan dalam masalah bisnis orangtua. Suryo memang sudah keterlaluan.
"Ma, dengarkan dulu penjelasan Papa". Mohon Suryo. Irene yang sudah berderai air mata menyentak tangan lelaki itu.
"Aku saja yang bukan Mama kandungnya tidak pernah memiliki pikiran sesempit itu. Anak-anak lebih berharga ketimbang harta, Pa. Aku tidak tahu kalau kamu bisa menjadi buta seperti ini. Lama-lama istri kamu sendiri bakal kamu jual. Aku gak habis pikir sama kamu". Ujar Irene dengan penuh kekecewaan. Wanita itu berjalan kearah lemari dan memasukan semua baju-bajunya ke dalam koper.
"Gak seperti itu Ma, Papa tahu Papa khilaf. Tolong kamu dengarkan aku dulu, ini untuk kita semua". Mohon Suryo. Irene menutup lemari dengan kencang dan menatap Suryo sambil geleng-geleng kepala.
"Untuk kita semua? Kalau Unaya tahu, dia pasti kecewa. Aku malu sudah hidup mewah dari hasil menjual Unaya". Irene melepas kalung dan perhiasan yang ia pakai lalu melemparkannya tepat diwajah Suryo.
"Lebih baik kita cerai saja, aku gak bisa hidup sama orang seperti kamu". Lanjut Irene kemudian bergegas pergi. Ia meninggalkan Suryo bukan karena tahu jika sebentar lagi lelaki itu akan jatuh miskin. Melainkan ia lelah karena tidak dianggap selama ini, ia tidak pernah dilibatkan saat mengambil keputusan tentang apapun itu. Pendapatnya seakan tidak penting, jadi untuk apa ia bertahan?
Suryo luruh dilantai kamar, ketakutannya terjadi sudah. Semua orang kecewa padanya, bahkan istrinya meminta bercerai. Ia hanya punya Unaya dan Jeni saat ini. Kalau putrinya tahu apa yang ia lakukan, apakah mereka masih sudi menganggapnya sebagai ayah?
--Ex-Bangsat Boys--
"Ayoo cepet buruan baris! Jangan lelet!". Teriak Victor melalui pengeras suara. Hari ini akhirnya acara malam keakraban dimulai. Para mahasiswa baru sudah berkumpul dihalaman vila yang luas. Mereka sampai di puncak pukul satu siang, perjalanan naik bus membuat Unaya mau muntah.
Disaat yang lain bercengkrama dengan teman-teman mereka, Unaya justru sendirian. Gadis itu belum mendapatkan teman. Tadi di bus ia ditemani Yuna, tapi karena gadis itu salah satu panitia ospek maka tidak bisa selalu bersamanya. Jeka juga belum kelihatan batang hidungnya karena lelaki itu tengah mengurus hal lain dan akan menyusul pakai motor.
"Sebentar saya bacakan kelompoknya. Nanti kamarnya dibagi sesuai kelompok...". Kata Jimi sambil membawa selebaran yang berisi daftar nama kelompok selama acara malam keakraban.
"Kelompok Satu; Angga Aldi Yunanda, Adhisty Zara, Bebi Tsabina, Jihan Fahira, Joko Purwanto, dan Unaya Salsabila". Unaya mendengus, ia tidak kenal orang-orang itu dan jujur tidak berminat mau kenal sih. Orang baru biasanya terlihat palsu, untuk itulah ia merasa muak.
"Kelompok satu disini ya!". Teriak seorang pemuda sambil mengangkat tangannya. Beberapa orang yang Unaya tebak anggota kelompok satu mulai berlari menghampiri pemuda itu. Unaya mau tak mau berjalan gontai ke arah yang sama.
"Sumpah demi apa?! Kita sekelompok sama artis?! Ehhh tunggu, kamu Mbak Unaya yang waktu itu dibully kan?". Tebak Zara sosok adik-adik yang waktu itu magang di minimarket depan sekolah dengan heboh.
"Kita pernah ketemu ya?". Tanya Unaya tidak yakin. Jujur agak lupa-lupa ingat tapi seperti tidak asing dengan sosok Zara ini.
"Mbak lupa sama saya? Saya Angga Mbak. Yang waktu itu mimisan pas lihat Mbak minum Pocari". Tambah Angga yang kini mulai kalem didepan Unaya. Kalau dulu kan nge-gas dan kentara banget sukanya, sekarang udah ada pawang soalnya.
"Ya ampun, inget-inget gue. Kalian Adek-Adek yang magang di minimarket depan sekolah gue kan? Ya ampun masih bareng aja". Kata Unaya antusias karena telah mengingat sosok Angga dan Zara.
"Biasa Mbak, dimana ada Angga disitu ada Zara. Ya gak Beb?". Kata Zara genit.
"Iyain aja deh biar cepet". Sahut Angga malas.
Perkenalan kelompok satu berjalan singkat. Bebi anaknya cuek dan gak banyak omong, Jihan kalem dan kelihatan pinter, sementara Joko agak norak dan sedari tadi natap Unaya tanpa kedip. Unaya sedikit merasa nyaman berkat Angga dan Zara. Dua manusia itu biarpun pacaran tapi hobinya gelut mulu. Tapi jujur Unaya terhibur, bikin ngakak soalnya.
Setelah semua kelompok selesai dibagi, para mahasiswa diminta berdiri karena ketua ospek akan segera memberikan sambutan. Gadis-gadis mulai berbisik, mereka menggosipkan rumor yang katanya ketua ospek tahun ini begitu tampan. Unaya yang mendengar sih cuek aja, silahkan mengagumi Jeka toh ia yang berhasil memilikinya.
"Mbak tahu gak ketua ospek-nya yang mana? Katanya ganteng, jadi penasaran". Bisik Zara karena takut Angga denger.
"Kalo baru katanya berarti masih kemungkinan. Bisa aja cuma hoax". Sahut Unaya sekenanya yang membuat Zara manyun.
"Iya sih. Tapi sumpah penasaran bingit ...".
"OMG!!! KAK JEKAAAAAAAA!!!". Teriak para gadis dengan heboh. Zara langsung membekap mulutnya karena sosok ketua ospek adalah Kakak ganteng mantan gebetannya saat masih kicik dulu.
"OMG! Sumpah demi apa! Itu kan Kakak ganteng mantan gebetan gue. Yang nolak gue karena gue enggak berkontribusi dihidupnya". Kata Zara menggebu.
"Hah?". Tanya Unaya bingung.
"Biasa aja kali Ra liatnya". Celetuk Angga judes. Zara tak menggubris perkataan Angga, gadis itu mengalihkan tatapan seluruhnya kearah Jeka. Unaya juga demikian karena didepan sana Jeka sudah memulai sambutannya.
"Selamat siang semua...". Sapa Jeka datar. Biasa aja sumpah, gak yang sok akrab atau ramah. Kan dari dulu juga kalau sama orang asing pasti cuek.
"SIANG KAKAK GANTENG!". Sahut para gadis kompak. Unaya menahan tawa begitu melihat ekspresi kaget Jeka.
"Bagus! Terlalu semangat berarti siap melakukan kegiatan fisik di siang bolong". Canda Jeka.
"YAAAAAHHHHHH....". Rengek para gadis dan mendadak berakting sok lemas.
"Canda. Omong-omong selamat datang di kampus Big Hit. Santai aja kita ngobrolnya". Ujar Jeka. Pemuda itu ngomong panjang lebar namun tidak ada satupun yang protes. Maklum kalau orang ganteng yang ngomong sih sampai subuh juga betah dengerinnya.
"Kelompok satu silahkan pindah ke bawah pohon. Itu yang namanya Unaya jangan cemberut, ntar cuaca berubah jadi mendung". Unaya yang tengah mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan sontak membulatkan mata, namanya disebut oleh Jeka didepan maba? Nyari mati tuh orang. Dan benar saja seluruh mata para gadis menatap Unaya dengan tajam.
"Cepat-cepat pindah kebawah pohon". Perintah Jeka karena tahu Unaya kepanasan. Meski diprotes kelompok lain, kelompok satu pindah kebawah pohon yang teduh sesuai intruksi Jeka.
"Ihhhh Kak Jeka gak adil, mentang-mentang selebgram terus dispecial-in". Protes salah satu maba.
"Loh aset negara emang harus di special-in. Kalau gak ada Una Frozen, budaya Indonesia gak mungkin dikenal sama orang luar. Kayak boyband Korea BTS itu lho". Alibi Jeka hingga membuat para maba manggut-manggut tidak jadi protes. Juwi, Jimi, dan Victor terkekeh, bisa aja Jeka cari-cari alasannya.
"Enak ya jadi Mbak Unaya, cantik banget sih. Pantes dinotice Kak Jeka". Ujar Zara yang mendadak insecure. Emang udah takdirnya sama Angga aja yang selevel. Kalau selera Jeka kayak Unaya gini, angkat tangan deh Zara.
"Dia tuh sebenernya...". Unaya hendak mengatakan kalau Jeka sebenarnya kekasihnya, tapi Jihan buru-buru menyahut.
"Emang kalian gak tahu kalau Kak Unaya kembarannya Kak Jeka?". Semua yang ada disitu geleng-geleng kepala.
"Beritanya udah nyebar lho. Lihatin aja muka mereka mirip gitu". Tambah Jihan yang membuat semuanya menatap kearah Unaya dan Jeka bergantian.
"Jadi beneran kalian cuma saudara? Shit! Harusnya waktu itu gue gak nyerah". Gerutu Angga, begitu juga dengan Zara. Gadis itu menyesal telah mundur tanpa berperang.
"Emmmm... ya begitulah hehe". Sahut Unaya sekenanya. Untuk sekarang mungkin lebih baik status mereka disembunyikan saja, daripada bikin heboh. Toh orang-orang sudah terlanjur mengira Jeka saudara kembarnya.
"Ngga, gimana kalo kita putus tiga hari? Kalo gue gak bisa dapetin Kakak ganteng sampai acara makrab selesai, kita balikan". Bisik Zara.
"Oke, gue setuju". Sahut Angga tanpa pikir panjang.
--Ex-Bangsat Boys--