Pada saat keduanya tiba di rumah, di ruang tamu, Christine duduk bersama dengan Lyana.
"Assalamu'alaikum..." ucap Marco dan Selena bersamaan ketika masuk ke dalam rumah. Lyana dan Christine yang tadi saling berbincang pun menoleh.
"Wa'alaykumusalaam."
"Ris, kamu datang?" Selena terkejut mendapati sahabatnya datang ke rumahnya malam-malam.
Christine mengangguk, "Bukannya tadi pagi aku bilang padamu kalau aku akan datang kesini."
"Ah, aku lupa."
Lyana berdiri, pergi ke kamarnya meninggalkan ketiga orang itu di ruang tamu. "Tante istirahat dulu, Christine."
"Iya Tante."
Bersamaan dengan itu, Marco juga melirik ke arah jam di dinding.
"Kak, aku akan pulang dulu. Takut nenek membutuhkan sesuatu di rumah." Marco menyela untuk memberitahu. Hampir satu jam dia meninggalkan neneknya di rumah demi menjemput sang kakak. Sudah waktunya dia pulang.
"Hati-hati di jalan, Marc. Perlu kakak antar?"
Marco mendengus, "Aku sudah besar, tidak takut pulang sendiri." balasnya dingin lalu pergi dari sana.
Christine tertawa geli melihat Marco yang bertingkah seperti orang dewasa. Tidak tahu saja, saat bocah itu menolak, raut wajahnya tampak menggemaskan.
"Apa yang kamu tertawakan?" Selena mengambil duduk di sebelah Christine, terheran-heran dengan sahabatnya yang tampak bahagia.
"Adikmu... Sudah besar rupanya."
Selena memandang Christine dengan tatapan seakan sahabatnya itu sedang kesurupan, "Apa sih yang kamu bicarakan?"
"Hehe..." Christine nyengir.
"Kita ke kamarku saja kalau begitu. Sekalian aku mau mandi dulu, Ris."
Selena bangun dan Christine mengikutinya dari belakang. Kedua gadis itu kemudian pergi ke kamar Selena. Ruangan itu tidak terlalu besar, hanya ada lemari satu pintu, meja belajar yang sejajar dengan tempat tidur single dan kursi kayu di depan meja. Christine menarik kursi dan duduk di sana. Penuh perhatian gadis itu menatap ke sekeliling kamar sahabatnya.
Meskipun terakhir kali dia menginap disini adalah sebulan yang lalu, ruangan itu tampak sedikit berubah. Namun dia tidak tahu dimana letak perubahannya.
Seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh sahabatnya, Selena berkata, "Aku mengganti wallpaper dinding seminggu yang lalu, Ris."
Barulah saat Selena mengatakan itu, Christine menyadari apa yang berubah, "Pantas saja saat aku masuk kemari, seperti ada yang berbeda. Ternyata kamu mengganti wallpaper kamar."
"Tante Feby yang memberikannya padaku."
Christine menyentuh wallpaper dinding yang memiliki pola daun dan kelopak bunga, warnanya cantik, dia suka. Jadi ingin punya juga.
"Aku ada PR Seni Budaya dan Bahasa Inggris, bantu aku menyelesaikannya ya, Selena." Ujar Christine kemudian berbalik menghadap Selena. Gadis itu bersiap-siap untuk mandi.
Meskipun mereka berada di kelas yang berbeda dan mengambil jurusan yang berbeda pula. Kurikulum pendidikan mereka masih sama. Itu sebabnya, saat Christine berkata begitu, memiliki arti bahwa sahabatnya itu ingin mencontek pekerjaan rumahnya.
"Oke... Kamu ambil saja bukunya di meja itu, Ris. Aku akan mandi terlebih dulu." Kata Selena menunjuk pada buku-buku yang tersusun rapi dengan dagunya. "Omong-omong, kamu sudah makan?"
"Sebelum kemari aku makan dulu." Jawab Christine tanpa memalingkan muka.
Selena pergi ke kamar mandi yang ada di belakang rumahnya. Sebuah sumur juga terletak di sana dan lumbung penyimpanan hasil panen terletak tak jauh dari kamar mandi tersebut. Setiap kali dia ingin mandi, dia harus mengambil air dari sumur itu untuk kemudian di tuangkan ke pancuran khusus. Barulah setelah air penuh di dalam sana, Selena menutup pintu, dan mandi dengan cepat.
***
Christine menemukan buku yang dia cari di tumpukan tengah dari buku-buku itu. Bibirnya melengkung tersenyum begitu tahu bahwa Selena sudah selesai mempelajari materi itu. Dengan begitu dia tinggal menyalin kunci jawaban di lembar LKS milik Selena ke LKS miliknya.
Tanpa sungkan dan seakan barang-barang Selena juga miliknya, Christine mengambil bolpoin di dalam gelas dan menggunakan itu untuk menulis.
Ketika Selena datang beberapa menit kemudian, dia melihat punggung sahabatnya yang membungkuk dan tangannya bergerak-gerak di atas kertas. Christine bahkan tidak menyadari kehadiran Selena dibelakangnya karena terlalu fokus dengan LKS di atas meja.
"Ris, aku membuatkanmu susu cokelat. Mumpung masih hangat, minum dulu." Selena meletakkan nampan yang berisi dua gelas susu cokelat di atas tempat tidur.
"Hmm... Nanti aku minum. Terima kasih, Selena."
"Kamu akan menginap disini?" tanya Selena memulai obrolan. Tidak terbiasa dengan keheningan, padahal sahabatnya yang cerewet berada di sampingnya. Biasanya, dengan adanya Christine, atmosfer di sekelilingnya akan berubah ramai dan menyenangkan. Namun mungkin dikarenakan sahabatnya benar-benar sibuk dan fokus pada pekerjaan rumahnya, dia tidak mengambil inisiatif seperti biasa untuk menjahili dirinya.
"Tidak... Ayah akan datang menjemputku nanti. Besok aku harus mengumpulkan PR ini di jam pertama sekolah, jadi aku harus menyelesaikan ini dulu, Selena."
Selena berdiri, melirik tangan Christine yang terbang dengan sapuan bolpoinnya. Dengan seringai mengejek, dia pun bicara, "Bukannya Bunda terlalu membuang-buang uangnya untuk membayar guru privat, kalau kamu masih menyontek seperti ini, Ris?"
Christine tak acuh dengan ejekan Selena barusan. "Bunda banyak uang untuk aku hambur-hamburkan. Jadi diamlah, aku perlu berkonsentrasi, dasar cerewet!" balasnya terdengar kesal.
Selena tergelak, "Sepertinya, tawaran bunda untuk menjadi guru les mu, perlu aku pertimbangkan." Celutuknya dengan seringai, tidak benar-benar serius dengan perkataannya.
Tangan Christine berhenti, "Kapan bunda memintanya?" Tanyanya bingung. Dia memang tidak tahu jika bundanya sudah berkali-kali membujuk Selena supaya mau menjadi teman belajar putrinya. Namun dikarenakan tawaran Warda - memberi uang pada Selena atas jasanya - gadis cantik itu menolak dengan halus.
***
Don't forget support for this novel. Please vote, review and comment if you like this story. Thank you, guys.