Malam itu setelah Lyana baru saja pulang dari tempat Burhan; Ayah Andre. Wajah Lyana tampak sangat mengerikan. Ekspresi bengis sangat kentara di wajahnya yang cantik. Dan tatapan matanya saat menatap Selena, seakan wanita itu ingin mencincang putrinya sendiri sampai mati.
Selena yang ditatap dengan mata merah Lyana, ketakutan dan tubuh kurusnya tanpa sadar gemetar.
Ada apa dengan mamanya? tanya Selena dalam batinnya.
Lyana pergi ke arah dapur dan mengambil tongkat dari kayu jati yang biasa dipajang di dekat dapur. Selena ingat itu merupakan tongkat dari Kakeknya untuk pembelajaran setiap sang ibu berbuat masalah di masa kecilnya. Lyana seringkali memberitahu cerita-cerita masa kecilnya itu padanya. Dan hukuman menggunakan tongkat, merupakan peringatan agar supaya sang mama ingat dan patuh. Tujuannya ialah untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.
Mata kecil Selena terus mengikuti setiap langkah Lyana. Saat dia melihat Lyana memegang tongkat itu dan memandang marah padanya. Selena memiliki keinginan untuk kabur dari sana.
"Buka celana itu!" Suruh Lyana dengan nada dingin. Selena yang berdiri di hadapannya sudah gemetar takut. Bocah cilik itu dengan patuh melepas celana legging yang dipakai daan kaos tipis kebesaran menutupi setengah paha bocah tersebut. Dengan tangannya yang gemetar dia terus menarik turun kaos tersebut dengan canggung agar menutupi pahanya yang terekspos.
"Apa kamu tahu, hal memalukan apa yang sudah kamu lakukan pada keluarga kita? Jawab!" Bentak Lyana emosi. Wajahnya mengeras menahan amarah.
Selena terdiam dengan menundukkan kepalanya. Tangannya mengepal disisi kiri dan kanannya. Ia memiliki firasat tentang kesalahan yang sudah dia lakukan di rumah Novi waktu itu. Selain kejadian itu, ia tidak ingat sudah lakukan hal yang salah lainnya.
"Maaf Ma." Saat suara itu jatuh dari bibirnya, pukulan keras diterima Selena di betisnya. Selena terkesiap, kaki kecilnya yang rapuh langsung lebam.
"Hmphh!" Selena membelalak dengan mata terbuka lebar, suara kesakitan tertahan dari tenggorokannya dikarenakan kejutan dari pukulan itu membuatnya terkesiap.
Bulir air mata langsung keluar dari mata Selena, mengalir di pipi dan jatuh ke dagu bocah itu.
Sangat memalukan saat dia di tuduh tidak becus mendidik anak yang kedapatan menonton porno orang dewasa. Ketika Lyana mengingat kembali teguran dari kerabatnya serta lirikan cemooh dari tetangga yang dia temui, semakin merangsang amarahnya yang sudah tak terbendung.
Selena mencoba kabur dari tongkat yang menyakitinya, tapi tubuhnya ditekan membungkuk di atas meja, tangannya yang kecil di remat kuat oleh tangan besar Lyana. Kuku Lyana yang tajam menancap ke kulit tangan Selena dan menembus daging tangannya yang lembut.
"Ma... Kumohon, maafkan aku... Sakit!" Selena menangis kesakitan.
"Arghhh... Sakit, Ma!" Ucap gadis itu menjerit keras. Selena terengah-engah, nafasnya terdengar memburu diantara tangis dan rasa sakit yang mendera sekujur tubuhnya.
"Kamu anak memalukan. Masih kecil sudah menonton video tidak senonoh seperti itu!" Lalu pecutan di punggungnya bertambah.
Pekikan kesakitan Selena teredam dengan suara marah dari teriakan Lyana. Setiap umpatan itu terpatri jelas di telinga Selena, bersarang di otaknya yang cerdas dan menyebabkan ketakutan seumur hidup yang tidak bisa hilang dari gadis itu sendiri.
"Kalau kamu sudah penasaran hal seperti itu. Aku akan menikahkanmu saja. Kamu dengar, anak sialan!" Dan tongkat itu mendarat keras di pinggang kanan bawah dekat perut menyebabkan Selena menengadah dengan mata terbelalak, seakan perutnya melonjak naik ke tenggorokannya.
Sakit, sakit sekali!
Perutnya bergejolak seperti diaduk-aduk, lalu dia muntah empedu pahit dari mulutnya, menodai rahang Selena dan lantai di bawah tubuhnya.
"Berhenti .... Selena minta maaf .... Maaf, Ma ~" Suara lirihnya tercekat tangis. Selena dengan susah payah meremas kalimat pengampunan, tapi Lyana tidak mau mendengarkan. "Sekolah ... Selena ingin pergi ke sekolah." Bahkan jika dia tidak tahu arti kata-kata ibunya, kata menikah terdengar buruk di telinganya sekarang.
"Tidak usah sekolah. Percuma, kamu keparat tidak punya otak!" Lyana terus memecut tongkat itu ke tubuh Selena. Betis, punggung, dan pantatnya sudah mulai mati rasa. Selena tidak tahan dengan nyeri yang terus menerus dia rasakan.
"Maaf, Ma. Kumohon ~ Jangan ... Jangan pukul aku lagi ... Tidak ulangi ... Hmph!" Selena menangis dengan suara gemetar.
Pada akhirnya, Selena yang sudah dipukuli habis-habisan mulai kehilangan kesadarannya. Kepala gadis itu terkulai lemas dan tubuhnya yang tidak bertenaga merosot jatuh ke atas lantai yang dingin.
"Kalau kamu masih membuatku malu, aku akan mematahkan kakimu, cacat sekalian dan kamu tidak bisa kemana-mana lagi. Kamu dengar Selena!" Terakhir kali sebelum Lyana berhenti, ia mengancam putrinya sambil melempar tongkat itu ke lantai, Lalu dia pergi dari ruang tamu meninggalkan Selena dengan tubuh gemetaran.
Sebelum Selena pingsan, dia memaksakan diri mengangguk dan berjanji untuk mengingat peringatan sang Mama dan tidak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama.
Tidak membuat malu keluarganya.
Aku berjanji... Aku berjanji, Ma.
Rayhan yang sedari tadi berdiri di luar bergegas masuk ke dalam rumah, membopong tubuh Selena yang lemas ke dalam kamar putrinya.
"Maafkan Ayah, Selena. Maafkan ayah...ayah bersalah." Bisik Rayhan dekat telinga Selena. Rasa bersalah menjangkiti perasaannya. Sedemikian rupa hingga pria dewasa itu pun tak kuasa melihat putrinya di penuhi lebam menakutkan.
Warda yang baru saja datang bersama Cristine membeku kaku melihat Selena yang jatuh lemas dan pingsan di dalam pelukan Rayhan. Ibu Cristine itu melangkah ke dalam rumah sambil menggandeng tangan putrinya, mengikuti langkah Rayhan menuju ke kamar Selena.
***
Don't forget support for this novel. Please vote, review and comment if you like this story. Thank you, guys.