Kegelapan ini membuat sekujur tubuh Dian tidak bisa tenang. Bahkan tangannya mulai gemetar, dan nafasnya berangsur-angsur menjadi sulit.
Dia takut dengan kegelapan.
Bukan ketakutan yang biasa akan kegelapan, tapi trauma akan kegelapan.
Bahkan Oscar tidak mengetahui ini.
Sejak malam tujuh tahun lalu, Dian telah merasakan ketegangan dan ketakutan yang tak dapat dijelaskan terhadap kegelapan. Bahkan saat dia sedang tidur, lampu di kamar tetap dibiarkan menyala.
Begitu terjun ke dalam kegelapan mutlak ini, dia akan mengalami kesulitan bernafas, seolah-olah ada seseorang yang sedang mencubit lehernya. Dia tidak bisa melupakan malam itu, rasa lengket dari darah hangat yang menyembur di wajahnya dan menetes di pipinya sedikit demi sedikit.
Dia tidak bisa melupakan suara keras yang didengarnya malam itu. Suhu dingin dari jari-jari itu ketika menyentuh pipinya, dan kata-kata yang diucapkan Ibunya ketika dia pingsan...
Setiap kali terjatuh ke dalam kegelapan total, pikiran Dian akan peristiwa yang terjadi malam itu kembali terlintas. Dia berteriak panik, memilukan saat mencari seseorang untuk membantunya, dan takut saat dia merasakan bagaimana suhu Ibunya menghilang sedikit demi sedikit membuatnya tidak berdaya.
Secara keseluruhan, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Sejak itu, kegelapan telah menjadi mimpi buruknya, iblisnya, dan dia ... merupakan simpul terdalam di hatinya.
"Nyala! Nyala! Mengapa tidak mau menyala!" Dian mendongakkan kepalanya dengan panik. Suaranya sedikit gemetar. Tatapan matanya tampak seperti anak yang ditinggalkan.
Kalaupun elevator rusak, lampu emergency tidak mungkin putus! Meskipun listrik mati, lampu darurat akan menyala.
"Jangan berteriak, listrik sedang padam." Suara bernada dingin itu terdengar, bahkan lebih menakutkan lagi ketika berada di kegelapan!
"Siapa itu?!" Dian meringkuk, bersandar erat di pintu di belakangnya. Tubuhnya menegang. Dia melihat sekeliling dengan panik.
"Dian tampaknya tidak memiliki ingatan yang baik. Apa perlu saya kembali mengingatkanmu dengan 'ciuman panas'?"
Orang itu tak lain adalah si 'Tuan muda kedua Keluarga Adam.'
Kata 'ciuman panas' itu terdengar sangat berat, bahkan jika Dian tidak bisa melihat ekspresi Baim sekarang, dia tahu dari nada dinginnya kalau wajah pria itu jelas tidak memperlihatkan ekspresi yang enak.
Meskipun suara Baim bernada dingin, tapi munculnya dia di sana meredakan ketakutan batin Dian akan kegelapan. Meskipun dia masih tegang saat ini, tapi dengan adanya seseorang di sampingnya, rasa gugupnya berkurang.
"Kenapa kamu di sini?" Dian berkata hati-hati.
Terlepas dari apa pria itu tinggal di sini atau tidak, Dian selalu merasa kalau ada masalah dengan 'Tuan muda kedua Keluarga Adam.'
Dari kanan depan terdengar suara tanpa emosi Baim, "Aku sedang bekerja, dan aku mendengar seseorang berteriak seperti orang bodoh di luar. Jadi aku keluar dan melihat situasi."
"Kau yang seperti orang bodoh! Kapan kau keluar?"
Dian paham kalau 'Tuan muda kedua Keluarga Adam' benar-benar tidak tahu bagaimana bersikap ramah padanya ketika berbicara, dan terkesan selalu menggunakan nada dingin tiap mengobrol dengannya.
"Ketika listrik mati," Jawabannya sederhana dan rapi, tanpa kata-kata yang tidak masuk akal.
Dengan kata lain, Baim keluar ketika Dian baru saja bangun dan sadar kalau lampu darurat tidak menyala.
Pria itu berdiri di sana, melihatnya berteriak dalam waktu yang lama sebelum akhirnya angkat suara.
Dian menarik nafas dalam-dalam. Ketika dia hendak mengutuknya menggunakan beberapa kata, sesuatu yang berbeda muncul di benaknya, "Kau tadi bilang kalau sedang bekerja?"
Suara di depan kanan masih bernada dingin, "Aku tidak suka mengulanginya untuk kedua kalinya."
Heh!
Aku tidak tahu siapa tadi di kedai kopi yang menanyakan pertanyaan persis sama sampai tiga kali berturut-turut.
"Bukankah kau mengatakan kalau listrik padam?"
Ada nada mencibir dari arah kanan depan, "Aku hanya mengatakan kalau apartemen ini padam, tetapi aku tidak bilang bahwa rumahku juga padam."
Dian mendengarnya, dan matanya berbinar. Seolah-olah dia baru saja menemukan secercah cahaya, sekujur tubuhnya pun menjadi bersemangat.
"Bolehkah aku pergi ke rumahmu?" Dian berseru tanpa memikirkannya. Semua ini hanyalah perilaku bawah sadar. Dia ingin pergi ke tempat yang ada listrik dan cahaya.
"Tidak." Sederhana, rapi, dan impersonal.
"Kenapa?" Dian berseru. Bukankah 'Tuan muda kedua Keluarga Adam' ini ingin dia menikah dengannya? Biasanya, bukankah seharusnya seorang pahlawan datang untuk menyelamatkan si wanita cantik dan membantunya?
Um ... tidak benar. Itu kan logika yang dimiliki pria normal.
Untuk seorang gay, persyaratannya tidak bisa seperti itu!
"Jika mengingat kelakuan buruk seseorang sebelumnya, demi keselamatan pribadiku, menurutku bukan keputusan yang bijak untuk mengundangmu ke rumahku."
Suara dalam kegelapan itu cukup mengganggu. Jika bukan karena dia tidak bisa melihat siapapun sekarang, Dian benar-benar ingin menendang 'Tuan muda kedua Keluarga Adam' sampai beberapa kaki jauhnya.
Namun, yang tidak diperhatikan oleh Dian adalah bahwa semua rasa gugupnya barusan sudah diusik oleh 'Tuan muda kedua Keluarga Adam.' Sekarang semua perhatiannya dipusatkan untuk mengutuk 'Tuan muda kedua Keluarga Adam' di dalam hati.
"Bukankah kau ingin aku menikahimu?"
Suara Baim terdengar agak malas. Dilihat dari suaranya sekarang, pria itu seharusnya sedang mengubah postur tubuhnya saat ini dan bersandar di dinding.
"Ya. Tapi kau menolak."
Dian berpegangan di panel pintu dan berdiri dengan enggan. Di depan matanya sekarang gelap gulita. Bahkan, sejak malam itu, dia menderita rabun senja.
Jika tidak ada cahaya dan berada dalam kegelapan, dia tidak bisa melihat apa-apa. Tanpa cahaya, dia benar-benar merasa tidak aman.
"Bahkan jika kencan buta itu tidak berhasil, kita tetap tetangga, 'kan? Mengapa kau begitu pelit sehingga kau bahkan tidak mau membantuku?"
Dian agak marah, jika dia lupa membawa kunci dan lift juga sedang rusak lagi. Dia tidak akan memohon 'Tuan muda kedua Keluarga Adam' ini kalau sedang tidak terdesak.
Sungguh memalukan karena dia baru saja menolak pria itu, dan sekarang dia ingin pria itu membantunya.
"Tetangga?" Suara Baim masih dingin, "Bagaimana aku tahu jika kau tidak mengikutiku dan ingin memata-matai rumahku?"
"Aku mengikutimu? Tempat ini adalah rumahku!" Dian merasa kalau 'Tuan muda kedua Keluarga Adam' ini sangat sulit diajak berkomunikasi.
Setelah Dian mengatakan ini, Baim tertawa kecil, "Rumahmu? Aku belum melihat siapapun pulang, dan aku masih berjaga di depan pintu rumah. Aku belum pernah melihatmu pulang ke tempat yang kaubilang rumahmu tadi. Jangan-jangan kau sebenarnya mau pulang ke rumah seorang pria lajang."
"Itu kan karena kunciku sedang dibawa teman. Tempat itu memang rumahku. Aku sudah tinggal di sana lebih dari dua tahun, sungguh!"
Dian dengan cepat menjelaskan. Selama dia bisa pergi ke sana-ke tempat terang, dia juga tidak mau peduli dengan 'Tuan muda kedua Keluarga Adam.'
"Kau tidak perlu menjelaskan terlalu banyak. Kau ingin pergi ke rumahku, tapi..." Baim berhenti bicara.
"Tapi apa?" tanya Dian.
"Gunakan tenagamu sebagai gantinya." Nada bicaranya masih dingin, seakan belum ada sentuhan aura manusia di sana.
Dian mengertakkan giginya, tapi demi cahaya, dia menahannya!
"Oke!"
Baim tampak sangat puas. Dian mendengar langkah kaki yang semakin mendekat, lalu langkah kaki itu berhenti. Meskipun dia tidak bisa melihatnya saat ini, tapi Dian dapat dengan jelas merasakan aura penindasan yang datang dari 'Tuan muda kedua Keluarga Adam.'
Tiba-tiba seseorang meraih pergelangan tangannya, dan Dian tanpa sadar berseru, "Apa yang akan kau lakukan?"
"Diam."